Paradigma Pembangunan Dan Kapabilitas Aparatur

Paradigma Pembangunan Dan Kapabilitas Aparatur 
1. Paradigma : Diartikan sebagai pola atau model atau cara pandang terhadap suatu persoalan yang di dalamnya terdapat sejumlah asumsi tertentu, teori tertentu, metode tertentu dan pemecahan masalah tertentu. Paradigma yang satu dengan paradigma yang lain tidak dapat disamakan maupun dipersatukan, tetapi dapat diperbandingkan. Asumsi berkaitan dengan persoalan keyakinan dan kepercayaan (meta teori), sehingga tidak dapat diuji. Teori, metode dan solusi dapat diuji, ditest dan dikritik, dikembangkan dan disempurnakan. 

2. Pembangunan : 
a. Pembangunan sebagai proses yang memungkinkan anggota masyarakat meningkatkan kapasitas personal dan institusional dalam memobilisasi dan mengelola sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan kualitas yang sesuai dengan aspirasi mereka sendiri, berkelanjutan, adil dan merata (David Korten : 1990) ; 

b. Pembangunan yang dilakukan negara-negara berkembang secara umum merupakan suatu proses kegiatan yang direncanakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan modernisasi bangsa untuk mencapai peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan rakyat (diadaptasi dari Agus Suryono:2001) 

c. Pembangunan dapat dimaknakan :
 Sebagai proses perubahan sosial menuju ketataran kehidupan masyarakat yang lebih baik; 
 Sebagai upaya manusia yang sadar, terencana dan melembaga; 
 Sebagai proses sosial yang bebas nilai (value free); 
 Memperoleh sifat dan konsep transendental, sebagai meta-diciplinary phenomenon, bahkan memperoleh bentuk sebagai ideologi (the idology of develommentalism); 
 Sebagai konsep yang sarat nilai (value loaded), menyangkut proses pencapaian nilai yang dianut suatu bangsa secara makin meningkat; 
 Pembangunan menjadi culture specific, situation specific dan time specific (Tjokrowinoto : 1987) 

d. Pembangunan seharusnya merupakan suatu proses yang saling terkait antara proses pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan demokrasi politik yang terjadi dalam lingkaran sebab akibat kumulatif (circular cumulative causation) (Myrdal, 1956, dari Agus Suryono, 2001: 56) 

3. Teori Pembangunan 
Dalam pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang tidak terlepas pula dari teori-teori pembangunan yang dipergunakan sebagai acuan dalam perencanaan, pelaksanaan maupun menilai dan mengukur kinerjanya. Teori pembangunan yang diterapkan adalah teori pembangunan yang berusaha memecahkan masalah yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang yang tentunya berbeda dengan teori pembangunan di negara yang telah maju, karena berbagai faktor yang mempengaruhi, salah satunya misalnya untuk negara miskin (sedang berkembang) menghadapi persoalan bagaimana mempertahankan hidup (survival) sedangkan di negara yang sudah maju (adi kuasa) yang telah mencapai kemapanan sosial ekonominya (establish) persoalan yang dipikirkan adalah bagaimana mengembangkan politik prestisenya atau bahkan bagaimana benar-benar menjadi “polisi dunia” dalam semua aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, maupun militer dari bangsa-bangsa di dunia (diadaptasi dari Agus Suryono:2001). 

PERKEMBANGAN PARADIGMA PEMBANGUNAN 
Berdasarkan berbagai pengertian dan makna pembangunan, maka pembangunan dapat dipandang : 
1. Sebagai Sistem, terdapat tiga (3) unsur yaitu unsur masukan (input), unsur proses dan unsur keluaran (output). 
- Unsur Masukan (inputs) meliputi sumber daya yang digunakan baik manusia, alam, budaya, lembaga kemasyarakatan, nilai-nilai yang ingin dicapai; 
- Unsur Proses, mencakup kompetensi organisasi dan manajemen pemerintahan dalam pelaksanaan program-program pembangunan; 
- Unsur Keluaran (outputs) baik berupa fisik maupun non fisik. 

2. Sebagai Metode, pembangunan berorientasi pada upaya mencapai peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat yang didukung oleh pengorganisasian dan partisipasi masyarakat selaku subyek pembangunan. 

Teori pembangunan yang dipergunakan sebagai landasan dalam perencanaan pembangunan, perumusan strategi, pelaksanaan dan evaluasi kinerja pembangunan menurut Agus Suryono (2001) terdapat tiga (3) kelompok teori pembangunan yang dipandang penting, yaitu : 
1. Kelompok Teori Modernisasi; 
2. Kelompok Teori Ketergantungan (dependencya theory); 
3. Kelompok Teori Pembangunan yang lain (another development). 

Dalam perkembangannya, pembangunan bangsa-bangsa di dunia mengalami beberapa pergeseran pola atau model atau paradigma pembangunan mulai dari paradigma pertumbuhan, paradigma kesejahteraan, paradigma neo - ekonomi, paradigma dependencia sampai paradigma pembangunan manusia. Dalam tulisan ini secara terbatas dilakukan pengkajian pada tiga paradigma saja yang dipandang cukup dominan, khususnya di negara kita, yaitu : 
1. Paradigma Pertumbuhan (Growth Paradigm); 
2. Paradigma Kesejahteraan (Welfare Paradigm); 
3. Paradigma Pembangunan Manusia (People Centered Development Paradigm) 

Paradigma Pertumbuhan (Growth Paradigm) 
Pelaksanaan pembangunan dinegara berkembang (developing countries), penekanannya pada upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan pendapatan nasional. Penerapan paradigma pertumbuhan dalam pelaksanaan pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Dalam hubungan ini PBB mencanangkan dasawarsa pembangunan pertama berlangsung pada dasawarsa 1960-1970 dengan strategi pertumbuhan ekonomi negara berkembang sebesar 5% pertahun. Pada periode ini ternyata mengabaikan masalah distribusi pendapatan nasional, sehingga timbul masalah kemiskinan, penganguran dan kesenjangan pembagian pendapatan, urbanisasi dan kerusakan lingkungan. 

Melihat kenyataan itu terjadilah pergeseran dari strategi pertumbuhan ekonomi menjadi strategi pertumbuhan dan pemerataan pembangunan Selanjutnya timbul pemikiran paradigma baru yaitu paradigma kesejahteraan (welfare paradigm) 

Paradigma Kesejahteraan (welfare paradigm): 
Pada awal dasawarsa 1970 – an muncul pemikiran baru dalam pelaksanaan pembangunan yaitu paradigma kesejahteraan (welfare paradigm) yang orientasinya ingin mewujudkan peningkatan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial dalam waktu sesingkat mungkin. 

Pada periode dasawarsa pembangunan kedua (1971-1980) pelaksanaan pembangunan dengan strategi pertumbuhan ekonomi bergeser menjadi orientasi pertumbuhan dan pemerataan pembangunan (growth and equity of strategy development) menuju industrialisasi dengan strategi pertumbuhan ekonomi sebesar 6% pertahun dengan tujuan pemerataan pembangunan di bidang pendapatan, kesehatan, keadilan, pendidikan, kewirausahaan, keamanan, kesejahteraan sosial termasuk pelestarian dan penyelamatan lingkungan dari kerusakan. Dalam dasawarsa ini ternyata juga belum mampu merubah ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju ditandai dengan ketergantungan investasi, bantuan dan pinjaman luar negeri. 

Penerapan paradigma kesejahteraan ini cenderung pelaksanaan pembanagunan bersifat sentralistik (top down) sehingga cenderung menumbuhkan hubungan ketergantungan antara rakyat dan proyek-proyek pembangunan (birokrasi pemerintah) yang dilakukan oleh pemerintah. Pada gilirannya dapat membahayakan keberlanjutan proyek pembangunan itu, karena pembangunan sifatnya tidak menumbuhkan pemberdayaan (disempowering) rakyat agar mampu menjadi subyek dalam pembangunan. 

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan pembangunan dengan orientasi pada pertumbuhan ekonomi menjadikan paradigma pertumbuhan menjadi semakin dominan. Akan tetapi keberhasilan itu tidak terlepas dari berbagai resiko negatif yang terjadi. Sebagaimana dinyatakan oleh Tjokrowinoto (1999:10) bahwa paradigma pertumbuhan cenderung menciptakan efek negatif tertentu yang akibatnya menurunkan derajat keberlanjutan pembangunan. Selanjutnya muncul gagasan baru dalam strategi pembangunan untuk menjamin keberlanjutan pembangunan yaitu pembangunan berkelanjutan (sustained development). 

Strategi pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) ini belajar dari pengalaman pelaksanaan pembangunan pada dasawarsa ketiga dengan munculnya konsep tata ekonomi dunia baru sebagai upaya perbaikan sosial ekonomi negara berkembang dengan strategi pertumbuhan ekonomi sebesar 7% pertahun. Pada dasawarsa ini pusat perhatian proses pembangunan berkaitan dengan masalah kependudukan yang meningkat pesat (population boom), urbanisasi, kemiskinan, kebodohan, partisipasi masyarakat, organisasi sosial politik, kerusakan lingkungan dan masyarakat pedesaan. Dalam dasawarsa ini masih manghadapi masalah yakni pelaksanaan pembangunan tidak berdemensi pada pembangunan manusia, sehingga pada gilirannya berpengaruh pada timbulnya masalah ketidak adilan, kelangsungan hidup dan ketidak terpaduan pembangunan. 

Paradigma Pembangunan Manusia (People Centered Development Paradigm) : 
Belajar dari pengalaman pada dasawarsa ketiga pada awal 1980-an di negara berkembang penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) didukung dengan pendekatan pembangunan manusia (human development) yang ditandai dengan pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada pelayanan sosial melalui pemenuhan kebutuhan pokok berupa pelayanan sosial di sektor kesehatan, perbaikan gizi, sanitasi, pendidikan dan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu juga diarahkan pada upaya mewujudkan keadilan, pemerataan dan peningkatan budaya, kedamaian serta pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development) dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat (public empowerment) agar dapat menjadi aktor pembangunan sehingga dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, kemandirian dan etos kerja. Fokus perhatian dari paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia ini (people centered development paradigm) ini adalah perkembangan manusia (human-growth), kesejahteraan (well-being), keadilan (equity) dan berkelanjutan (sustainability). Dominasi pemikiran dalam paradigma ini adalah keseimbangan ekologi manusia (balanced human ecology), sumber pembangunannya adalah informasi dan prakarsa yang kreatif dengan tujuan utama adalah aktualisasi optimal dari potensi manusia (diadaptasi dari Korten, 1984:300 dalam Tjokrowinoto, 1999:218) . Dalam paradigma pembangunan manusia yang mendapatkan perhatian dalam proses pembangunan adalah : 

a. Pelayanan sosial (social service); 
b. Pembelajaran sosial (social learning); 
c. Pemberdayaan (empowerment); 
d. Kemampuan (capacity); 
e. Kelembagaan (institutional building).(Diadaptasi dari Agus Suryono: 2001:58) 

KAPABELITAS APARATUR PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN 
Pelaksanaan pembangunan tidak terlepas dari perubahan dan perkembangan kondisi ekologi administrasi publik, terutama yang terjadi di Indonesia saat ini sebagai tantangan yang perlu mendapatkan perhatian dan penyesuaian-penyesuaian dalam penerapan strategi pembangunan. Dalam hubungan ini, tantangan yang dimaksudkan meliputi : 

a. Penerapan Otonomi Daerah; 
b. Globalisasi informasi; 
c. Netralitas Pegawai Negeri; 
d. Penerapan multi partai dalam sistem politik; 
e. Perdagangan bebas dan 
f. Semangat reformasi dengan segala implikasinya. 

Dalam hubungan ini kualitas perencanaan pembangunan diharapkan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut dengan tetap berpijak pada strategi pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan konsep pembangunan manusia. Perencanaan pembangunan menghasilkan rencana pembangunan dengan strategi untuk menjawab segala tantangan serta sasaran yang diinginkan yang didukung oleh tingkat kemampuan (capabelity) aparat birokrasi pemerintah mengantisipasi faktor-faktor yang berpengaruh baik internal berupa kekuatan dan kelemahan maupun eksternal berupa berbagai peluang maupun ancaman yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan. 

Penerapan paradigma pembangunan, tidak terlepas pula dari paradigma baru Administrasi Publik terutama di Indonesia dengan agenda reformasi administrasi yang perlu diarahkan pada tujuh (7) wilayah penyempurnaan utama (Tjokroamidjojo: 1985 dalam Islamy: 1998) yaitu : 

1. Penyempurnaan dalam bidang pembiayaan pembangunan; 
2. Penyempurnaan dalam bidang penyusunan program-program pembangunan di berbagai bidang ekonomi dan non-ekonomi dengan pendekatan integratif (integrative approach); 
3. Reorientasi kepegawaian negeri ke arah produktivitas, prestasi dan pemecahan masalah; 
4. Penyempurnaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah; 
5. Administrasi partisipatif yang mendorong kemampuan dan kegairahan masyarakat; 
6. Kebijaksanaan admninistratif dalam rangka menjaga stabilitas dalam proses pembangunan; 
7. Lebih bersihnya pelaksanaan administrasi negara. 

Reformasi administrasi publik salah satunya adalah mengagendakan terwujudnya Good Governance yaitu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bertanggungjawab dan profesional yang ditandai adanya aparat birokrasi pemerintah yang senantiasa mengedepankan terpenuhinya public accountability and responsibility (diadaptasi dari Islamy: 1998). 

Dalam hubungan ini setiap aparat birokrasi pemerintah perlu senantiasa mengembangan rasa kepekaan (responsiveness) terhadap kepentingan masyarakat (public interest) maupun masalah-masalah masyarakat (public affairs) yang harus dipecahkan, bertanggungjawab (responsibility) dalam pelaksanaan tugas pekerjaan apapun pada level manapun dan representatif (representativeness) dalam pelaksanaan tugas yang berarti tidak menyalahgunakan wewenang (power abuse) ataupun melampaui wewenang (excessive power) yang dimiliki baik ditinjau dari berbagai peraturan yang berlaku maupun dari nilai-nilai etika pemerintahan. Lebih lanjut perlu ditekankan bahwa Good Governance dapat terwujud apabila setiap aparat birokrasi pemerintah dalam pelaksanaan tugas senantiasa dilandasi pertimbangan-pertibangan ekonomi (economy), senantiasa berupaya menghasilkan sesuatu yang tepat (effectiveness) dan melakukan tindakan dengan cara yang tepat (efficiency) sebagai perwujudan tanggung jawab yang bersifat obyektif (objective responsibility). Di samping adanya tanggung jawab yang bersifat subyektif (subjective responsibility) yaitu sikap tidak membedakan (equality) kelompok sasaran (target group) pembangunan dan senantiasa berupaya mewujudkan keadilan (equity) serta adanya keterbukaan/kejujuran (fairness) (diadaptasi dari Islamy: 1998). 

Dalam perencanaan pembangunan perlu adanya penekanan orientasi pada tugas pokok atau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah yaitu yang pada dasarnya mencakup kewajiban melindungi rakyat (to protect the people), mengatur rakyat (to regulate the people) dan melayani rakyat (to serve the people). 

Tugas pokok pemerintah tersebut dapat dijabarkan kedalam berbagai urusan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah yaitu : 

a. Pemenuhan kepentingan msyarakat (public interest) maupun mengatasi masalah-masalah masyarakat (public affairs); 
b. Pemberdayaan masyarakat (public empowerment); 
c. Peningkatan kemampuan finansial pemerintah (revenue improvement); dan 
d. Kewenangan mengatur (regulate). 

Keberhasilan pelaksanaan kewajiban pemerintah tersebut dapat diukur dari keberhasilan pelaksanaan urusan-urusan tersebut, terlebih dalam mengukur eksistensi kewenangan penyelenggaraan otonomi daerah bagi setiap “daerah”. Dalam hubungan ini pengukuran kinerja pemerintah daerah dengan didasarkan pada standard pengukuran yang mencakup : 
1. Standard Normatif : yaitu ketataatan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UUD 1945, Ketetapan MPR, UU, PP dan lain sebagainya; 
2. Standard Substantif : yaitu penilaian publik terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang menjadi pendapat umum. (diadaptasi dari Muchayat : – ceramah ilmiah dalam Orientasi Good Governance pada tgl 31 Oktober 2001 di Surabaya). 

Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) berarti pula penerapan nilai-nilai demokrasi yang mantap. Untuk mendukung terwujudnya Good Governance, diperlukan pula adanya keseimbangan aktualisasi peran dari elemen-elemen “Trias Politica” yang artinya tidak ada dominasi dari salah satu elemen apakah itu eksekutif – legislatif maupun yudikatif. Ketiganya memiliki dan mengaktualisasikan fungsinya secara seimbang, serasi, terpadu dan proporsional serta terbuka. Sebagaimana Mayo (1960) diadaptasi dari Agus Suryono (2001: 96) menjelaskan bahwa untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi diperlukan adanya beberapa hal sebagai berikut : 
1. Pemerintahan yang bertanggungjawab (accountabelity); 
2. Dewan Perwakilan Rakyat yang berkualitas; 
3. Organisasi politik yang mencakup dua atau lebih partai politik; 
4. Pers dan media masa yang bebas untuk menyatakan pendapat; 
5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak azasi dan mempertahankan keadilan. 

Di samping tersebut di atas diperlukan pula penerapan “desentralisasi” secara proporsional yang artinya adanya kemampuan pemerintah daerah mengembangkan “potensi daerah” untuk kepentingan publik.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson