Hakikat Belajar dan Pembelajaran

Hakikat Belajar dan Pembelajaran : Belajar pada prinsipnya adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan sumber-sumber atau obyek belajar baik secara sengaja dirancang atau tanpa sengaja dirancang (Suliana,2005). Kegiatan belajar tersebut dapat dihayati (dialami) oleh orang yang sedang belajar. Selain itu kegiatan belajar juga dapat di amati oleh orang lain. Belajar yang di hayati oleh seorang pebelajar (siswa) ada hubungannya dengan usaha pembelajaran, yang dilakukan oleh pembelajar (guru). Pada satu sisi, belajar yang di alami oleh pebelajar terkait dengan pertumbuhan jasmani yang siap berkembang. Pada sisi lain, kegiatan belajar yang juga berupa perkembangan mental tersebut juga didorong oleh tindakan pendidikan atau pembelajaran. Dengan kata lain, belajar ada kaitannya dengan usaha atau rekayasa pembelajar. Dari segi siswa, belajar yang dialaminya sesuai dengan pertumbuhan jasmani dan perkembangan mental, akan menghasilkan hasil belajar sebagai dampak pengiring, selanjutnya, dampak pengiring tersebut akan menghasilkan program belajar sendiri sebagai perwujudan emansipasi siswa menuju kemandirian. Dari segi guru, kegiatan belajar siswa merupakan akibat dari tindakan pendidikan atau pembelajaran. 

Proses belajar siswa tersebut menghasilkan perilaku yang dikehendaki, suatu hasil belajar sebagai dampak pengajaran. (Dimyati & Mudjiono, 2002). Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh siswa berupa keadaan alam, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia, atau hal-hal yang dijadikan bahan belajar. Tindakan belajar tentang suatu hal tersebut tampak sebagai perilaku belajar yang tampak dari luar.

Apakah hal-hal di luar siswa yang menyebabkan belajar juga sukar ditentukan? Oleh karena itu, beberapa ahli mengemukakan pandangan yang berbeda tentang belajar.

a. Belajar Menurut pandangan Skinner
Skinner berpadangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responsnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responsnya menurun. Dalam belajar ditemukan adanya hal berikut :
(i) kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulakan respons pembelajar,
(ii) respons si pembelajar, dan
(iii) konsekuensi yang bersifat menguatkan respons tersebut. Pemerkuat terjadi pada stimulus yang menguatkan konsekuensi tersebut. Sebagai ilustrasi, perilaku respons yang baik diberi hadiah. Sebaliknya, perilaku respons yang tidak baik diberi teguran dan hukuman.

Guru dapat menyusun program pembelajaran berdasarkan pandangan Skinner. Pandangan Skinner ini terkenal dengan nama teori Skinner. Dalam menerapkan teori Skinner, guru perlu memperhatikan dua hal yang penting, yaitu (i) pemilihan stimulus yang diskriminatif, dan (ii) penggunaan penguatan. Sebagai ilustrasi, apakah guru akan meminta respons ranah kognitif atau afektif. Jika yang akan dicapai adalah sekedar “menyebut ibu kota negara Republik Indonesia adalah Jakarta,” tentu saja siswa hanya dilatih menghafal.

Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori kondisioning operan sebagai berikut :
(1) Kesatu, mempelajari keadaan kelas. Guru mencari dan menemukan perilaku siswa yang positif atau negatif. Perilaku positif akan diperkuat dan perilaku negatif diperlemah atau dikurangi.
(2) Kedua, membuat daftar penguat positif. Guru mencari perilaku yang lebih disukai oleh siswa, perilaku yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang dapat dijadikan penguat.
(3) Ketiga, memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis penguatnya.
(4) Keempat, membuat program pembelajaran program pembelajaran ini berisi urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku, dan evaluasi. Dalam melaksanakan program pembelajaran, guru mencatat perilaku dan penguat yang berhasil dan tidak berhasil. Ketidakberhasilan tersebut menjadi catatan penting bagi modifikasi perilaku selanjutnya. (Sumadi Suryabrata, 1991).

b. Belajar Menurut Gagne
Menurut Gagne, “belajar merupakan kegiatan yang kompleks”. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut adalah dari (i) stimulasi yang berasal dari lingkungan, dan (ii) proses kognitif yang dilakukan oleh pembelajar. Dengan demikian, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru. Sebagai ilustrasi, siswa kelas dua SMP mempelajari nilai luhur Pancasila. Mereka membaca berita di surat kabar tentang bencana alam gempa bumi di Flores dan banjir di beberapa provinsi di jawa. Mereka bersama-sama mengumpulkan bantuan bencana alam dari orang tua siswa SMP. Mereka mampu mengumpulkan 4 kuintal beras, 100 potong pakaian, dan uang sebesar Rp 5.000.000,00. Hasil bantuan tersebut kemudian mereka serahkan ke Palang Merah Indonesia yang mengkoordinasi bantuan di kota setempat. Perilaku siswa mengumpulkan sumbangan tersebut merupakan hasil belajar nilai luhur Pancasila. Hal ini merupakan dampak pengiring.

Menurut Gagne, belajar terdiri dari tiga komponen penting, yaitu kondisi eksternal, kondisi inernal, dan hasil belajar. 

Komponen tersebut dilukiskan dalam bagan sebagai berikut.

Kondisi internal belajar




Kondisi eksternal belajar 
Komponen Esensial Belajar dan Pembelajaran

(Adaptasi dari Bell Gredler, 1991:188).

Bagan melukiskan hal-hal berikut :
(1) Belajar merupakan interaksi antara “keadaan inernal dan proses kognitif siswa” dengan “stimulus dari lingkungan”.
(2) Proses kognitif tersebut menghasilakn suatu hasil belajar. Hasil belajar tersebut terdiri dari informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap dan siasat kognitif.

Kelima hasil belajar tersebut merupakan kapabilitas siswa. Kapabilitas siswa tersebut berupa :
(1) Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Pemilikan informasi verbal memungkinkan individu berperanan dalam kehidupan.
(2) Keterampilan intelekutal adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelek ini terdiri dari diskriminasi jamak, konsep konkret dan terdefinisi, dan prinsip.
(3) Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahakn aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
(4) Keterampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
(5) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut.

Gagne berpendapat bahwa, dalam belajar terdiri dari tiga tahap yang meliputi sembilan fase. Tahapan itu sebagai berikut : (i) persiapan untuk belajar, (ii) pemerolehan dan unjuk perbuatan (performansi), dan (iii) alih belajar. Pada tahap persiapan dilakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan dan mendapat kembali informasi. Pada tahap pemerolehan dan perfomansi digunakan untuk persepsi selektif, sandi semantik, pembangkitan kembali dan respons, serta penguatan. Tahap alih belajar meliputi pengisyaratan untuk membangkitkan, dan pemberlakukan secara umum. Adanya tahap dan fase belajar tersebut mempermudah guru untuk melakukan pembelajaran. 

Dalam rangka pembelajaran, maka guru dapat menyusun acara pembelajaran yang cocok dengan tahap dan fase-fase belajar. Pola hubungan antara fase belajar dengan acara-acara pembelajaran tersebut dapat digunakan untuk pedoman pelaksanaan kegiatan belajar di kelas. Sudah barang tentu guru masih harus menyesuaikan dengan bidang studi dan kondisi kelas yang sebenarnya. Guru dapat memodifikasi seperlunya.

c. Belajar Menurut Pandangan Piaget
Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang.

Selanjutnya menurut Piaget (Dahar, 1996) “perkembangan intelektual melalui tahap-tahap berikut. (i) sensori motor (0: 0-2; 0 tahun), (ii) pra-opterasional (2: 0-7; 0 tahun), (iii) operasional konkret (7: 0-11: 0 tahun), dan (iv) operasi format (11: 0-ke atas)”.

Pada tahap sensori motor anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sonsorik dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pengengaran, perabaan dan menggerak-gerakannya. Pada tahap pra-operasional. Anak mengembalikan diri pada persepsi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakn simbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar, dan menggolong-golongkan. Pada tahap operasi konkret anak dapat mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis. Walau kadang-kadang memecahkan masalah secara “trial and error”. Pada tahap operasi formal anak dapat berpikir abstrak seperti pada orang dewasa.

Pengetahuan dibangun dalam pikiran. Setiap individu membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk, yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial.

Belajar pengetahuan meliputi tiga fase. Fase-fase itu adalah fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Dalam fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gelaja lain lebih lanjut.

Menurut Piaget, pembelajaran terdiri dari empat langkah berikut :
(1) Langkah satu : Menentukan topik yang dapat dipelajari oleh anak sendiri. Penentuan topik tersebut dibimbing dengan beberapa pertanyaan, seperti berikut :
(a) Pokok bahasana manakah yang cocok untuk eksperimentasi?
(b) Topik manakah yang cocok untuk pemecahan masalah dalam situasi kelompok?
(c) Topik manakah yan dapat disajikan pada tingkat manipulasi secara fisik sebelum secara verbal?

(2) Langkah dua : Memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik tersebut. Hal ii dibimbing dengan pertanyaan seperti :
(a) Apakah aktivitas itu memberi kesempatan untuk melaksanakan nictode eksperimen?
(b) Dapatkah kegiatan itu menimbulkan pertanyaan siswa?
(c) Dapatkah siswa membandingkan berbagai cara bernalar dalam mengikuti kegiatan di kelas?
(d) Apakah masalah tersebut merupakan masalah yang tidak dapat dipecahkan atas dasar pengisyaratan perseptual?
(e) Apakah aktivitas itu dapat menghasilkan aktivitas fisik dan kognitif?
(f) Dapatkah aktivitas itu dapat memperkaya konstruk yang sudah dipelajari?

(3) Langkah tiga : Mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk mengemukakan pertanyaan, yang menunjang proses pemecahan masalah. Bimbingan pertanyaan berupa:
(a) Pertanyaan lanjut yang memancing berpikir seperti “bagaimana jika”?
(b) Memperbandingkan materi apakah yang cocok untuk menimbulkan pertanyaan spontan?
(4) Langkah empat : Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan melakukan revisi. Bimbingan pertanyaan berupa:
(a) Segi kegiatan apakah yang menghasilkan minat dan keterlibatan siswa yang besar?
(b) Segi kegiatan manakah yang tidak menarik, dan apakah alternatifnya?
(c) Apakah aktivitas itu memberi peluang untuk mengembangkan siasat baru untuk penelitian atau meningkatkan siasat yang sudah dipelajari?
(d) Apakah kegiatan itu dapat dijadikan modal untuk pembelajaran lebih lanjut?

Secara singkat, Piaget menyarankan agar dalam pembelajaran guru memilih masalah yang berciri kegiatan prediksi, ekperimental, dan eksplanasi (Bell Bredler, 1991 : 3001-357).

d. Belajar Menurut Rogers
Rogers menyayangkan praktek pendidikan di sekolah tahun 1960-an. Menurut pendapatnya, praktek pendidikan menitikberatkan pada segi pengajaran, bukan pada siswa yang belajar. Praktek tersebut ditandai oleh peran guru yang dominan dan siswa hanya menghafalkan pelajaran. 

Rogers mengemukakan pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan. Prinsip pendidikan dan pembelajaran tersebut sebagai berikut :
(1) Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
(2) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
(3) Pengorganisasisan bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru, sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
(4) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses-proses belajar, keterbukaan belajar mengalami sesuatu, bekerja sama dengan melakukan pengubahan diri terus-menerus.
(5) Belajar yang optimal akan terjadi, bila siswa berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam proses belajar.
(6) Belajar mengalami (experiental learning) dapat terjadi, bila siswa mengevaluasi dirinya sendiri. Belajar mengalami dapat memberi peluang untuk belajar kreatif, self evaluation dan kritik diri. Hal ini berarti bahwa evaluasi dari instruktur bersifat sekunder.
(7) Belajar mengalami menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguh-sungguh.

Rogers mengemukakan saran tentang langkah-langkah pembelajaran yang perlu dilakukan oleh guru. Saran pembelajaran itu meliputi hal berikut :
(1) Guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur,
(2) Guru menggunakan metode simulasi,
(3) Guru menggunakan metode inquiri, atau belajar menemukan (discovery learning). 
(4) Guru menggunakan metode simulasi,
(5) Guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan dan berpartisipasi dengan kelompok lain.
(6) Guru bertindak sebagai fasilitator belajar.
(7) Sebaiknya guru menggunakan pengajaran berprogram, agar tercipta peluang bagi siswa untuk timbulnya kreativitas (Snelbecker, 1974: 483-494; Skager, 1984: 33”; Bergan dan Dunn, 1976: 122-128).

Keempat pandangan tentang belajar tersebut merupakan bagian kecil dari pandangan yang ada. Untuk kepentingan pembelajaran, para guru dan calon guru masih harus mempelajari sendiri dari psikologi belajar. Di samping itu, para guru masih perlu memilih teori yang relevan bagi bidang studi asuhannya. Guru juga perlu memodifikasi secara praktis sesuai dengan kondisi perilaku siswa belajar.

Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung terhadap kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Pemahaman seorang guru terhadap pengertian pembelajaran akan mempengaruhi cara atau metode guru itu mengajar.

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh pakar-pakar, secara umum dapat diartikan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses perubahan dalam perilaku sebagai hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara lengkap, Surya, (2003 : 7) menjelaskan pengertian pembelajaran dapat dirumuskan sebagai berikut: “pembelajaran ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

1. Masalah-masalah dalam Belajar
Suryabrata (1984) mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar sebagai berikut :
1. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar, dan ini masih lagi digolongkan menjadi dua golongan, yaitu :

a. Faktor-faktor non-sosial
Kelompok faktor-faktor ini boleh dikatakan juga tidak terbilang jumlahnya, seperti misalnya : keadaan suhu, suhu udara, cuaca, waktu (pagi, siang atau malam), tempat (letaknya, pergedungannya), alat-alat yang dipakai untuk belajar (alat tulis, buku, alat peraga, dan sebagainya yang dapat kita sebut sebagai alat pelajaran). 

b. Faktor-faktor sosial
Yang dimaksud dengan faktor sosial disini adalah faktor manusia (semua manusia), baik manusia itu hadir maupun kehadirannya itu dapat disimpulkan, jadi tidak langsung hadir. Kehadiran orang atau orang-orang lain pada waktu seseorang sedang belajar, banyak kali mengganggu belajar itu; misalnya kalau satu kelas murid sedang melaksanakan ujian, lalu banyak anak-anak lain bercakap-cakap di samping kelas, atau seseorang sedang belajar di kamar, satu atau dua orang hilir mudik keluar masuk kamar belajar itu dan sebagainya.

Selain kehadiran yang langsung seperti yang dikemukakan di atas, mungkin juga orang lain itu hadir tidak secara langsung atau dapat disimpulkan kehadirannya; misalnya saja potret dapat merupakan representasi dari seseorang, suara nyanyian yang dihidangkan lewat radio maupun tape recorder juga dapat merupakan representasi bagi kehadiran seseorang.

1. Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pelajar, dan ini pun dapat lagi digolongkan menjadi dua golongan yaitu : 
a. Faktor-faktor fisiologi
Faktor-faktor fisiologi ini masih dapat lagi dibedakan menjadi dua macam, yaitu : 

1) Keadaan tonus jasmani pada umumnya
Keadaan tonus jasmani pada umumnya ini dapat dikatakan melatar belakangi aktivitas belajar, keadaan jasmani yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar, keadaan jasmani yang lelah lain pengaruhnya dari pada yang tidak lelah. Dalam hubungannya dengan hal ini ada dua hal yang perlu dikemukakan yaitu : 
(a) Nutrisi harus cukup karena kekurangan kadar makanan ini akan mengakibatkan kurangnya tonus jasmani, yang pengaruhnya dapat berupa kelesuan, lekas mengantuk, lekas lelah dan lain sebagainya. 
(b) Beberapa penyakit yang kronis sangat mengganggu belajar itu. 
2) Keadaan fungsi-fungsi fisiologi tertentu terutama fungsi-fungsi alat indra.
b. Faktor-faktor psikologi
Arden N. Frandsen (dalam S. Suryabrata, 1984) mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang untuk belajar adalah sebagai berikut:
1) Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas
2) Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman.
3) Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan kooperasi maupun kompetensi 
4) Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran
5) Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson