Hubungan Pusat-Daerah Dan Konstelasi Demokrasi Di Daerah

Hubungan Pusat-Daerah Dan Konstelasi Demokrasi Di Daerah 
Pergeseran paradigma pemerintahan dari sistem sentralisasi ke desentralisasi membawa perubahan dan tatanan baru dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sentralisasi dan desentralisasi dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu kontinum yang tidak dapat ditempatkan secara terpisah dan bebas tanpa adanya suatu mekanisme dan sistem yang secara gamblang mengaturnya. Desentralisasi dan otonomi daerah sebagai suatu pendekatan dalam penyelenggaraan pemerintahan tentunya tidak lepas dari plus-minus yang menjadi perdebatan publik dalam mengimplementasikannya.

Isu desentralisasi dan otonomi daerah menjadi salah satu wacana yang paling banyak dikupas dalam forum–forum akademis dan pemerintahan sejalan dengan reformasi sistem politik negara Indonesia. Betapa tidak, harapan tentang sistem pemerintahan yang demokratis melalui daerah otonom sampai saat ini belum mampu direalisasikan secara optimal. Otonomi daerah yang diharapkan mampu menampung pluralisme masyarakat demi mewujudkan cita-cita penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan mayarakat. Dimensi perubahan yang diharapkan dari otonomi daerah sebagaimana ditawarkan oleh Syaukani pada dasarnya dapat kita golongkan dalam tiga hal yakni : (1) Adanya upaya untuk mengubah struktur pemerintahan/ tatanan politik yang dianggap membungkam kebebasan hak asasi manusia. (2). Adanya upaya yang lebih konkrit untuk memberdayakan lembaga/organisasi sosial politik yang dimarginalkan bisa mengurus kelangsungan bangsa, dan (3). Adanya upaya untuk memfungsikan kembali peran-peran komponen masyarakat yang semasa pemerintahan terdahulu belum difungsikan. 

Sementara itu dalam parktiknya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ternyata masih menyisakan berbagai persoalan terhadap penyelenggaraan pemerintahan nasional. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sebagai realisasi kebijakan desentralisasi ternyata memberikan implikasi pada hubungan pusat dan daerah. Ketersediaan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah ternyata belum mampu memberikan ketenangan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk menyelenggarakan berbagai urusan dan kewenangan yang dimiliki secara bebas karena masih sering munculnya klaim kewenangan dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Revisi Undang-Undang No 22 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang 32 Tahun 2004 dan terakhir menjadi Undang-Undang No 12 Tahun 2008 ternyata masih belum menyelesaikan berbagai persoalan desentralisasi dan otonomi daerah. Posisi pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah masih memunculkan perdebatan dalam tataran praktisnya. Munculnya konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah masih merupakan suatu yang tidak asing ditelinga kita. Masalah-masalah tersebut diantaranya persoalan kewenangan dan urusan terhadap suatu bidang pekerjaan, dimana berbagai keluhan yang dilontarkan pemerintah daerah baik yang ada di level propinsi maupun pada level kabupaten/kota yang menyebutkan bahwa berbagai urusan benar diserahkan oleh pusat tetapi kewenangannya tetap ada ditangan pusat. Selain itu persoalan penguasaan terhadap aset-aset yang ada di daerah juga masih menjadi perdebatan tentang siapa yang menjadi pemilik dari aset tersebut, pusat atau daerah. Sehingga penyerahan urusan semestinya juga diikuti dengan penyerahan kewenangan yang melekat pada urusan tersebut sehingga semua unsur yang ada merasa puas karenanya.

Hubungan pusat-daerah menjadi salah satu isu sentral dalam sistem ketatanegaraan kita. Hal ini terutama karena faktor sosio-demografi Indonesia dimana kehidupan penduduk yang secara sosial maupun heterogenitas akan mempengaruhi pola penghidupan suatu wilayah. Pengalaman pasca reformasi menunjukkan bahwa fokus hubungan pusat-daerah pada aspek politik ternyata berimplikasi pada mekanisme dan pola-pola demokrasi yang tumbuh dan berkembang di daerah. Kebebasan berpolitik bagi masyarakat di daerah menjadi suatu efouria tersendiri bagi ranah politik di daerah. Pemilihan Kepala daerah secara langsung menjadi bukti nyata dimana figur yang selama ini jauh dari hiruk pikuk politik bisa menghiasi kancah perpolitikan di daerah.

Kondisi dilapangan menunjukkan bahwa ternyata kancah perpolitikan lokal dapat mewarnai proses pilkada yang menjadi ajang perebutan dari berbagai kepentingan yang timbul dari tarik menarik kepentingan dari berbagai pihak demi suatu legitimasi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Suseno (2003) membagi legitimasi dalam dua pertanyaan yakni : legitimasi wewenang dan subjek wewenang. Legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsinya, sedangkan legitimasi subjek wewenang mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau kelompok orang untuk membuat suatu undang-undang dan peraturan bagi masyarakat untuk melaksanakan kekuasaannya. Dalam legitimasi subjek wewenang dibagi menjadi tiga macam legitimasi subyek kekuasaan ; (1). legitimasi religius, (2) legitimasi eliter, (3) legitimasi demokratis. Dalam konteks pilkada yang menjadi penekanan adalah legitimasi demokratis melalui perolehan suara terbanyak yang telah ditentukan sebelumnya.

Harapan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dalam bidang politik ditujukan pada upaya mendorong demokrasi melalui : Pertama, Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam aktifitas presure group dan sebagai tambahan kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan suaranya melalui pemilihan-pemilihan lokal. Kedua, Sebagai suatu proses pembelajaran sistem domokrasi kepada elit-elit politik lokal melalui pola-pola pendekatan dan kesempatan yang luas dalam melaksanakan aktifitas poilitiknya yang dibarengi dengan tanggungjawab dibandingkan dengan politisi yang ada dari pusat. Ketiga, Memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk memahami dan mengidentifikasi sendiri berbagai potensi konflik yang muncul dari aktifitas politik lokal dengan alternatif pemecahannya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat. Keempat, Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk merumuskan kebijakan-kebijkan yang inovatif sesuai dengan tuntutan kebutuhan daerah dengan berlandaskan identifikasi terhadap berbagai aspek yang ada di daerah. 

PERMASALAHAN
Kekuatan desentralisasi dan otonomi daerah pada dasarnya akan terlihat dari keberhasilan mengelola dan mengembangkan potensi yang ada daerah dengan tetap menjaga keseimbangan hubungan pusat-daerah. Kemandirian lokal yang selama ini didengunkan oleh berbagai kalangan tidak justru menjadi suatu bumerang bagi pemerintah daerah untuk kemudian serta merta bebas tanpa adanya koordinasi dengan pemerintah pusat. Pelimpahan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat seharusnya dinilai sebagai suatu kesempatan untuk mengembangkan kemampuan daerah dengan mengoptimalkan berbagai potensi yang ada di daerah. Pentingnya kejelasan dalam hal kewengan yang dimiliki oleh pusat dan daerah kemudian menjadi suatu hal menarik dalam lapangan pemerintahan di daerah. Posisi pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten kota sebagai titik berat otonomi menjadi perhatian serius dalam pengelolaan pemerintahan daerah dewasa ini. Karena bukan hal yang baru ketika pemerintah kabupaten/kota dewasa ini mulai enggan untuk patuh kepada pemerintah propinsi. Kejelasan fungsi dan wewenang antara tingkatan pemerintahan menjadi kunci dalam penanganan hubungan pusat dan daerah dewasa ini. 

PEMBAHASAN
A. Pembagian Kewenangan (Urusan) Pusat-Daerah
Dalam hubungan pemerintahan pusat-daerah maka pembagian kewenangan (urusan) antara tingkatan pemerintahan merupakan suatu faktor yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena, konsep sentralisasi maupun desentralisasi dalam kerangka sistem pemerintahan akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh dan jelas kewenangan tersebut didistribusikan secara adil. Konsep pembagian kewenangan ini bermakna bahwa dalam tingkatan pemerintahan terdapat kejelasan dalam hal penanganan kewenangan tersebut. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa setiap negara memiliki mekanisme penyerahan kewenangan sesuai dengan kebutuhan pemerintahannya. Perbedaan itu disebabkan oleh cara yang dipergunakan dan jenis kewenangan yang dibagi antar level pemerintahan. Luas wilayah dengan potensi daerah yang beragam mau tidak mau memberikan implikasi terhadap jenis kewenangan yang nantinya akan diserahkan kepada pemerintah daerah.

Pemerintah pusat pada dasarnya membuat standar dan kebijakan nasional, sedangkan pemerintah daerah menurunkannya dalam standar dan kebijakan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Pada sisi lainnya, seringkali juga terjadi kesulitan dalam praktek siapa melaksanakan apa dengan biaya siapa, oleh karena intervensi pemerintah menyebabkan kekaburan kewenangan yang sudah diserahkan. Sikap pemerintah pusat yang terlalu jauh mencampuri urusan yang telah diberikan kepada pemerintah propinsi, kabupaten/kota melalui berbagai intervensi telah mengakibatkan ketergantungan pemerintahan pada level propinsi dan kabupaten/kota kepada pusat. Salah satu aspek adalah tidak disertainya aspek pembiayaan pada beberapa kewenangan yang diberikan sehingga pemerintah propinsi dan atau kabupaten/kota pada akhirnya tidak dapat melepaskan diri ketergantungan kepada pemerintah pusat.

Pada dasarnya kewenangan pemerintahan dalam negara kesatuan adalah milik pemerintah pusat. Dengan kebijakan desentralisasi pemerintah pusat menyerahkan wewenang pemerintahan tersebut kepada pemerintah daerah. Penyerahan wewenang tersebut terdiri dari : materi wewenang, manusia yang diserahi wewenang, dan wilayah yang diserahi wewenang. Dalam matra wilayah harus terdapat kejelasan pembagian wewenang mengatur dan mengurus di wilayah yurisdiksi tingkatan pemerintahan yaitu yurisdiksi pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Tidak boleh terdapat tumpang tindih kewenangan antara wilayah tersebut. Wewenang mengatur dan mengurus harus dibagi habis dan jelas antar tingkatan pemerintahan. Wewenang mengurus berdasarkan azas sentralisasi diletakkan di pemerintah pusat. Sedangkan titik berat wewenang mengurus berdasarkan azas desentralisasi dan tugas pembantuan diletakkan pada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat. 

Dari sisi sumber daya manusia, pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memiliki kejelasan siapa yang akan melaksanakan wewenang tersebut. Apakah wewenang tersebut akan dilaksanakan oleh aparat pemerintahan daerah, aparat pemerintahan pusat, atau aparat pemerintah pusat yang ada di daerah melalu azas pembantuan. Meskipun dalam azas pemerintahan baik sentralisasi, desentralisasi maupun dekonstrasi telah dikemukakan secara jelas apa tugas dari masing-masing aparat pemerintahan, namun dengan sistem pemerintahan Indonesia dewasa ini kejelasan tugas bagi aparatur negara akan menentukan arah dan tujuan pemerintahan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya konflik kewenangan antara pusat-daerah. Pemerintah daerah dengan asas desentralisasinya merasa begitu leluasa dan bebas untuk mengatur dan melaksanakan kewenangannya sendiri sementara pusat juga masih mengklaim terhadap wewenang tersebut.

Dilihat dari dimensi cara, penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : (1). Ultra vires doctrine yaitu pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada daerah otonom dengan cara merinci satu persatu. Daerah otonom hanya boleh menyelenggarakan wewenang yang diserahkan tersebut. Sisa wewenang dari wewenang yang serahkan kepada daerah otonom secara terperinci tersebut tetap menjadi wewenang pusat. Cara penyerahan wewenang inilah yang dianut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Pemerintah pusat menyerahkan urusan-urusan tertentu kepada daerah. Pemerintah pusat menyerahkan urusan-urusan pemerintahan setahap demi setahap, dengan memperhatikan keadaan dan kemampuan daerah yang bersangkutan. (2). Open end arrangement atau general competence yaitu daerah otonom boleh menyelenggarakan semua urusan diluar yang dimiliki pusat. Artinya pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada daerah untuk menyelenggarakan kewenangan berdasarkan kebutuhan dan inisiatifnya sendiri diluar kewenangan yang dimiliki pusat, disini pusat tidak menjelaskan secara spesifik kewenangan apa saja yang akan diserahkan ke daerah, tapi hanya menyatakan “ Di luar kewenangan pusat semuanya adalah kewenangan daerah. Silahkan diselenggarakan dengan baik dan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan”. Cara penyerahan inilah yang kemudian dianut oleh dua undang-undang pemerintah daerah yakni ; UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 ( Nucholis, 2005).

Kedua cara tersebut tentu memiliki sisi kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Dari cara pembagian open errangement, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang relatif besar dan kemandirian yang kuat oleh karena kewenangan yang diberikan bersifat terbuka. Kewenangan-kewenangan yang secara enumeratif tidak dimiliki oleh pemerintah pusat, diberikan kepada pemerintah daerah. Karena itu dilihat dari luasnya kewenangan yang diberikan, cara pembagian kewenangan dengan open errangement memberikan derajat otonomi yang lebih luas kepada daerah. Sebaliknya, dengan cara ultra vires pembagian kewenangan dilakukan secara enumeratif dan rinci kepada pemerintah daerah. Hal-hal yang tidak disebutkan dalam Undang-Undang dan atau peraturan pemerintah sebagai kewenangan pemerintah daerah tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya dapat menyelenggarakan kewenangan yang secara enumeratif dan limitatif diberikan oleh Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Jika dilihat dari pembagian kewenangan dengan ultra vires relatif membatasi otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Jika cara open arrangement yang dijadikan sebagai basis pembagian kewenangan, maka pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah haruslah secara ketat, karena jika tidak hal ini akan menimbulkan dampak terjadinya fragmentasi administrasi dan pembangunan yang tidak terkoordinasi.

a. Kewenangan Pemerintah Pusat 
Pemerintah pusat terdiri atas presiden beserta para menteri yang memegang kekuasaan pemerintahan negara. Kewenangan pemerintah pusat adalah semua kewenangan pemerintahan sebagai akibat pelimpahan dari rakyat. Tapi karena pemerintahan harus diselenggarakan secara terdesentralisasi maka sebagaian kewenangan tersebut harus diserahkan kepada daerah. Pemerintah pusat memiliki kewenangan di dalam dan di luar urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan (5) UU No. 32 Tahun 2004.

Urusan Pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat yakni ; politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional ; dan agama. Sedangkan dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di luar urusan pemerintahan adalah ; pertama, menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, kedua, melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil pemerintah dan ketiga, menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Meskipun dalam pelaksanaan kewenangan pemerintahan telah disebutkan proporsi yang seharusnya dimiliki oleh pemerintah pusat, namun dalam implementasinya masih sering tumpang tindih antara tingkatan pemerintahan tersebut.

Dengan demikian pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan 6 bidang urusan pemerintahan. Sedangkan kewenangan selain 6 bidang tersebut menjadi kewenangan daerah. Kewenangan yang dipegang oleh pusat adalah kewenangan yang bersifat nasional. Sedangkan kewenangan yang diserahkan adalah kewenangan yang bersifat lokal yakni yang merupakan kepentingan masyarakat setempat baik dalam hal pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Dalam UU No. 32/2004 jelas telah digambarkan bahwa kewenangan pemerintah pusat sedikit tetapi mendasar. Sedangkan daerah kabupaten/kota akan menerima kewenangan dalam porsi yang lebih besar karena pelaksanaan tugas dan fungsi mereka yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat. Sementara itu untuk daerah propinsi diberi kewenangan koordinasi antar kabupaten/kota maupun yang lintas sektoral sehingga pelaksanaan fungsi administratif dapat dijalankan. 

Pembagian kewenangan pusat-daerah dikemukakan Nurcholis (2005) dapat digambarakan sebagai berikut :

Gambar Kewenangan Pusat dan daerah 

Kewenangan pemerintah pusat lebih menekankan pada kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria, dan prosedur. Sedangkan kewenangan pelaksanaan hanya terbatas pada kewenangan yang bertujuan ; menjaga dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara, menjamin kualitas pelayanan publik baik dari efektifitas maupun efesiensi pelayanan dengan mengutamakan aspek kesetaraan dan keadilan bagi setiap warga negara, menjamin supermasi hukum sehingga setiap warga negara memiliki posisi yang setara di muka hukum, dan menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai salah satu tujuan pembangunan nasional.

Pelaksanaan kewenangan pemerintah pusat dilaksanakan dalam konteks sentralisasi dan asas dekonsentrasi. Pemerintah pusat menjalankan kewenangan yang bersifat mengatur sehingga tugas-tugas pemerintah secara umum dapat dikoordinasikan dan dijalankan sesuai dengan tujuan umum pemerintahan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kewenangan yang bersifat mengatur dapat dijalankan secara bersamaan antara pemerintah pusat dan daerah namun tetap dalam konteks aturan main yang berlaku. Dalam hal ini pusat tetap memberikan pengaturan umum, sedangkan daerah menurunkannya dalam berbagai peraturan dan aturan main di daerah. 

b. Kewenangan Pemerintah Propinsi 
Pemerintah propinsi dalam melaksanakan urusan-urusannya selain menjalankan asas desentralisasi juga menjalankan asas dekonsentrasi. Implikasi struktural dari diterapkannya asas dekonsentrasi dan sekaligus desentralisasi membuat propinsi menjadi wilayah administratif sekaligus daerah otonom.

Sebagai wilayah adminsitratif, propinsi dikepalai oleh kepala wilayah sebagai wakil pemerintah pusat dan secara langsung mempertanggungjawabkan berbagai aktifitasnya kepada pemerintah pusat. Dalam hal ini tanggung fungsi koordinatif antara pemerintah pusat dengan propinsi. Berbagai urusan dan kewenangan yang melekat sebagai indikator dalam pelaksanaan kegiatan ini jelas tanggung jawab pemerintah propinsi kepada pemerintah pusat. Sedangkan sebagai daerah otonom, propinsi dikepalai oleh kepala daerah otonom. Oleh karena itu, ia bertanggungjawab kepada DPRD. Hal ini kemudian memunculkan gambaran dimana perbedaan antara daerah otonom dengan daerah adminsitratif perlu untuk diberikan batasan. Berbagai kewenangan yang ada dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pada dua posisi yang berbeda tersebut perlu untuk diberikan batasan secara jelas sehingga wilayah abu-abu yang ada dalam ranah ini dapat dipetakan.

Sebagai wilayah adminsitrasi propinsi hanya menerima kewenangan dalam bidang administrasi, bukan kewenangan politik dari pemerintah pusat. Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi, kewenangan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat adalah :
  1. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 Serta sosialisasi kebijakan nasional di daerah, 
  2. Koordinasi wilayah, perencanaan, pelaksanaan, sektoral, kelembagaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian. 
  3. Fasilitas kerjasama dan penyelesaian perselisihan antar daerah dalam wilayah kerjanya. 
  4. Pelantikan bupati/walikota. 
  5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah dengan daerah otonom di wilayahnya dalam rangka memlihara dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
  6. Fasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan. 
  7. Pengkoordinasiaan terselenggaranya pemerintahan daerah yang baik, bersih, dan bertanggungjawab, baik yang dilakukan oleh badan eksekutif daerah maupun badan legislatif daerah. 
  8. Penciptaan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum, 
  9. Penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas insatansi lain, 
  10. Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota, 
  11. Pengawasan refresif terhadap peraturan daerah, keputusan kepal daerah, dan keputusan DPRD, serta keputusan pimpinan DPRD kabupaten/kota, 
  12. Pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian dan karir pegawai diwilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan 
  13. (m). Pemberian pertimbangan terhadap pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah. 
Sementara sebagai daerah otonom propinsi mempunyai wewenang mengatur dan melaksanakan urusan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Adapun urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah propinsi dalam skala propinsi sebagaimana yang termaktub dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah : 
  1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan, 
  2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, 
  3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, 
  4. Penyediaan sarana dan parasarana umum, 
  5. Penanganan bidang kesehatan, 
  6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial, 
  7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/ kota, 
  8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota, 
  9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota, 
  10. Pengendalian lingkungan hidup, 
  11. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota, 
  12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil, 
  13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan, 
  14. Pelayanan adminsitrasi penanman modal termasuk lintas kabupaten/kota, 
  15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota dan 
  16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh undang-undang. 
Hal lain yang membedakan pelimpahan kewenangan dalam UU No 22 tahun 1999 maupun UU No 32 tahun 2004 adalah adanya urusan pemerintahan yang dilimpahakan dan bersifat pilihan. Urusan propinsi yang bersifat pilihan tersebut meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Berbagai urusan dan kewenangan yang diberikan baik dalam bentuk tugas administrasi maupun otonom tidak lain adalah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan roda pemerintahan. Sejalan dengan hal tersebut kondisi dilapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan asas desentralisasi maupun dekonsentrasi pada tataran pemerintahan propinsi ternyata juga tidak terlepas dari berbagai persoalan dimana tumpang tindih kewenangan menjadi hal yang memerlukan perhatian serius. Kejelasan urusan dan wewenang yang dimiliki oleh pemerintah propinsi perlu untuk kembali dipertegas dengan memberikan penekanan pada lingkup sektoral sehingga perebutan lahan antara kabupaten/kota dengan propinsi dapat diselesaikan.

c. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/ Pemerintah Kota
Pemerintah kabupaten kota melaksanakan kewenangan yang merupakan sisa kewenangan dari pemerintah pusat dan pemerintah propinsi (recidual power). Mengenai kewenangan yang menjadi kompetensi kabupaten/kota, baik undang-undang maupun pemerintah tidak mengatur secara spesifik tentang kewenangan yang harusnya dilaksanakan oleh pemerintah kota. Meskipun dalam undang-undang pemerintahan daerah baik UU No 22 Tahun 1999 maupun UU No 32 Tahun 2004 pada dasarnya meletakkan semua kewenangan pada kabupaten/kota. Kewenangan yang dibuat sendiri oleh kabuapten/kota termasuk bukan berdasarkan pendekatan sektor, departemen, dan non departemen yang ada, tapi berdasarkan pembidangan kewenangan.dalam konteks ini kabupaten/kota dapat membuat rincian kewenangan yang diagregasikan sehingga menjadi kewenangan yang setara/setingkat antar bidang. 

Dalam UU No 32 Tahun 2004 terdapat 16 urusan wajib yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota. Sementara itu juga diberikan urusan pilihan yang dikondisikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Hanya saja kondis masyarakat yang ada dalam wilayah kabupaten/kota terkadang memunculkan berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan kewenangannya, khususnya yang terkait langsung dengan kewenangan pemerintah propinsi. Dengan kata lain baik propinsi maupun kabupaten/kota keduanya melaksanakan sub bidang kewenangan yang sama. Sebaliknya, untuk tugas-tugas yang menimbulkan biaya dan tidakmenghasilkan sumber penerimaan, tidak ada level pemerintahan yang bersedia melaksanakannya. Dalam kasus ini terjadi kekosongan dalam pelaksanaan kewenangan.

Tumpang tindih pelaksanaan kewenangan di daerah tidak saja terjadi secara vertikal antara level pemerintahan, tetapi juga secara horizontal antara dinas dengan dinas lainnya. Kesemrawutan dan tumpang tindih kewenangan antara propinsi dan kabupaten/kota juga dipicu oleh kebijakan di tingkatan pemerintah pusat yang seringkali mengambil kebijakan dan perubahan secara cepat, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan implementasi di daerah. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kemampuan daerah dalam menerima dan mengimpelementasikan suatu kewenangan yang diberikan. Hal yang nyata kita lihat dari kasus di beberapa daerah yang meskipun secara finansial dan sumber daya manusia belum siap atau atau bahkan tidak siap untuk melaksanakannya akan tetapi tidak ada satupun daerah kabupaten/kota yang mengembalikan kewenangan yang telah mereka terima kepada pemerintah propinsi. Arogansi dari pemerintah kabupaten/kota untuk mendapatkan pengakuan kemampuan sekaligus untuk mendapatkan keuangan dari aspek sektoral /dekonsentrasi menjadi alasan yang utama mengapa daerah kemudian memaksakan untuk menerima kewenangan tersebut.

Pemberian kewenangan yang besar kepada daerah kabupaten/kota pada satu sisi merupakan kemenangan dalam penyelenggaraan asas desentralisasi. Namun disisi lain lemahnya pengawasan dan peran dari pemerintah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat telah menyebabkan menurunnya komitmen kabupaten/kota untuk melaksanakan koordinasi dengan pemerintah propinsi maupun dengan pemerintah pusat. Kondisi ini muncul karena anggapan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan perwujudan dari kekuasaan pemerintah kabupaten/kota yang begitu besar, sementara tanggung jawab secara vertikal kepada pemerintah gubernur sudah tidak dapat begitu penting. Dalam beberapa kasus dapat disebutkan bahwa sulitnya koordinasi antara pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota merupakan implikasi dari tidak patuhnya pemerintah daerah yang merupakan dampak dari kewenangan otonomi yang dimilikinya.

B. Demokratisasi dalam Bingkai Otonomi Daerah 
Sebagai sebuah negara kesatuan yang ditopang oleh berbagai daerah propinsi dan kabupaten/kota yang juga merupakan pilar pembentukan negara kesatuan republik Indonesia, maka proses pembangunannya juga tidak boleh dilepaskan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pembangunan daerah adalah pembangunan secara menyeluruh baik dari aspek sosial kemasyarakatan, maupun aspek politiknya. Pembangunan politik sebagai suatu wacana dalam penyelenggaraan pembangunan nasional tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pusat tentang pola dan aktifitas demokrasi di daerah. 

Dari persfektif demokrasi di daerah, hal yang penting untuk dicermati adalah bagaimana masing-masing pihak yang terlibat didalam dinamikanya bersedia untuk tunduk pada aturan main yang telah disepekati bersama. Meskipun pelaksanaan demokratisasi di daerah yang dibingkai melalui Pilkada langsung, akan tetapi persoalan lama kembali menjadi suatu ancaman yaitu konflik. Bentuk konflik yang adapun juga beragam baik dari aspek horisontal maupun vertikal. Ketidakpuasan dan kekurang dewasaan berpolitik dari elit politik secara langsung berimplikasi pada masyarakat pemilih tentang sikap dan prilaku mereka sebagai pemilih dalam menentukan sikap politiknya. Kedewasaan berpolitik di daerah sudah seyogyanya untuk terus ditumbuh kembangkan guna mendorong pembangunan dan proses pemerintahan di daerah.

Besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah berimplikasi pada semakin serunya pertarungan dalam memperebutkan kursi kepemimpinan di daerah. Hal ini kemudian menunjukkan betapa proses demokratisasi dalam era desentralisasi dan otonomi daerah perlu untuk diperhatikan secara serius. Jualiansyah (2007) menyebutkan bahwa dalam upaya menyukseskan proses demokrasi di daerah, maka setidaknya ada tiga pilar utama yang harus diperhatikan : 
  1. Kedaulatan rakyat yang menentukan legitimasi otoritas seseorang mendapat mandat untuk menyelenggarakan pemerintahan, 
  2. Supermasi hukum untuk memberikan kepastian dari proses kedaulatan yang diberikan oleh rakyat melalui proses seleksi, dan 
  3. Toleransi terhadap hasil akhir dari proses pemilihan yang sudah diselenggarakan, dengan akhirnya secara fair menerima dengan senang hati, dari proses yang telah berjalan.
Pilkada langsung sebagai suatu proses politik untuk pengisian jabatan politik di daerah pada hakekatnya diarahkan dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat, karena masyarakat yang ada di daerah tersebut lebih mengenal karakter dan kemampuan pemimpinnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pola lama dalam rekruitmen kepemimpinan yang diisitilahkan membeli kucing dalam karung. Rakyat memiliki tanggung jawab sosial terhadap jalannya pemerintahan karena apa yang telah mereka pilih telah sesuai dengan visi, misi dan program yang ada di daerah. Hal ini didasari oleh hakekat pilkada yang pada dasarnya merupakan proses sosial melalui suatu kompetisi dan proses politik, dimana rakyat lokal dapat mengetahui dan menjalankan proses tersebut. 

Otonomi daerah sebagai landasan dalam pelaksanaan pilkada pada dasarnya diarahkan pada tiga sasaran utama ; pertama, meningkatkan pelayanan kepada. Kedua, memberdayakan sumber-sumber daya yaitu sumber daya manusia, alam, dan budaya yang dimiliki oleh daerah untuk dapat dikembangkan sesuai dengan potensi yang ada di daerah. Ketiga, peran serta masyarakat sebagai objek dan subjek pembangunan. Dimana arah otonomi daerah ditujukan untuk mempercepat pembangunan nasional dengan tetap bertumpukan pada kemampuan dan kemandirian lokal termasuk dari sektor politiknya. 

Persoalan dalam pilkada langsung dewasa ini setidaknya dapat didekati melalui bebrapa pendekatan yakni ; 
  1. Manajemen tradisional yang mengandalkan semangat dan loyalitas kedaerahan dalam menangani dan menyelesaikan persoalan yang muncul, 
  2. Manajemen modern dan demokratik sebagai suatu model pendekatan menyeluruh dan memandang pilkada sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 
Hal ini terkait dengan kompleksitas persoalan pilkada mulai dari tahapan persiapan, pelaksanaan dan sampai tahap evaluasi seluruh proses pilkada. Karena itu untuk melaksanakan pilkada adil dan terbuka yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang berpedoman pada pedoman dan aturan baku pelaksanaannya perlu untuk diperhatikan demi tercapainya tujuan dan cita-cita dari proses demokratisasi di daerah. Pergeseran kekuatan politik sebagai implikasi dari kegiatan pilkada merupakan efek langsung yang tak terbantahkan dari penyelenggaraan aktifitas politik tersebut.

PENUTUP
Hubungan pusat-daerah perlu mendapatkan perhatian serius dalam era otonomi daerah. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah telah membawa perubahan besar dalam ranah pemerintahan pemerintahan. Hal ini terkait dengan besarnya kewenangan yang dimiliki oleh tingkatan pemerintahan yang dalam implementasinya tidak jarang memunculkan polemik dalam kegiatan pemerintahan tersebut. Hal ini terjadi karena masih sering ditemukannya tumpang tindih kewenangan dalam aktifitas pemerintahan, khususnya yang ada pada level propinsi dan kabupaten kota. Kondisi ini lebih diperparah dengan penyeragaman berbagai urusan kewenangan yang diberikan, sementara dalam beberapa kasus ternyata masih adanya pemerintah daerah yang memiliki kekurangan atau bahkan ketidakmampuan dalam mengimpelementasikan kewenangan yang dimilikinya.

Kebijakan desentralisasi memberikan pengaruh pada ranah politik, khususnya dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung. Perilaku elit politik lokal pada akhirnya akan memberikan pengaruh pada masyarakat pemilih. Kondisi ini akan memungkinkan munculnya konflik vertikal maupun horisontal jika tidak mendapatkan penanganan secara maksimal melalui suatu pola pendekatan yang tepat dan relevan. Besarnya kewenangan dalam berotonomi jangan menjadi suatu bumerang dalam katatanegaraan kita. Para elit sudah seyogyanya untuk menerapkan mekanisme dan sistem politik santun yang merupakan cerminan dalam berdemokrasi.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson