Nasionalisme Orde Baru Dalam Kerangka Demokrasi

Nasionalisme Orde Baru Dalam Kerangka Demokrasi 
Nasionalisme merupakan ideologi yang sifatnya universal dan tiap-tiap negara memiliki konsep tersendiri tentang nasionalisme. Nasionalisme Barat dengan faham individualismenya jelas tidak akan sama dengan nasionalisme yang ada di Indonesia misalnya. Sebagai pengantar penulis akan mengutip pendapat beberapa kalangan tentang nasionalisme. Ada kalangan melihat bahwa nasionalisme bukanlah suatu konsep atau fenomena yang lahir secara sendiri, melainkan sangat terkait dengan konsep bangsa (nation)/ negara dan kewarganegaraan/ kebangsaan. Dalam studi ilmu politik, pembahasan mengenai nasionalisme tidak lepas dari nation itu sendiri. Ernest Renan dalam tulisannya yang terkenal What is Nation? mengemukakan bahwa nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun pengorbanan. Selanjutnya dari pemikiran Ernest inilah kemudian mempengaruhi alur berpikir para pemikir-pemikir sesudahnya dalam melihat dan memaknai konsep nasionalisme. 

Salah satunya adalah Ben Anderson (1999:7), yang terkenal dengan konsep imagined communities atau komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inhern sekaligus berkedaulatan. Imagined communities menjadi cikal bakal munculnya konsep nasionalisme. Nasion atau bangsa adalah hasil dari imajinasi orang-orang yang membayangkan mereka berada dalam suatu negara dan merasakan persamaan nasib serta mitos tentang masa lampau bersama yang jaya. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa apabila nasion adalah suatu yang imagined, maka nasionalisme adalah suatu ideologi yang menyelimuti imajinasi itu. Sebagaimana halnya imajinasi itu, maka nasionalisme pun akan mengalami kemerosotan apabila terjadi distorsi yang disebabkan oleh faktor-faktor lain dalam sebuah negara-bangsa semakin meningkat.

Berangkat dari pemahaman di atas, maka konsep nasionalisme yang dikembangkan oleh Anderson akan menjadi sandaran untuk mengulas nasionalisme dalam konteks Indonesia. Penulis tidak akan memusatkan perhatian pada pembahasan mengenai sejarah munculnya nasionalisme, bahkan ikut-ikutan berpolemik tentang arti nasionalisme, meskipun memang konsep nasionalisme adalah salah satu paham yang paling banyak diperdebatkan sejak Revolusi Prancis sampai sekarang, bahkan ratusan buku sudah ditulis orang dalam berbagai bahasa mengupas arti nasionalisme. 

PERMASALAHAN
Tulisan ini akan mengkaji bagaimana ”nasib” nasionalisme yang dianggap sebagai suatu roh untuk mencapai kebebasan di tangan orde baru dalam kerangka demokrasi? bagaimana nasionalisme Indonesia mengalami kemerosotan makna akibat manipulasi yang dilakukan oleh rejim orde baru. Fenomena yang muncul sekarang dan menarik untuk dikaji lebih mendalam adalah ketika makna nasionalisme yang kita bangga-banggakan selama ini mulai melemah. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa hal ini terjadi? Apa yang telah diperjuangkan lima dasawarsa yang lalu menjadi tak lebih dari sekedar sejarah saja. Seakan-akan tidak ada usaha untuk memperjuangkan dan mempertahankan. Analoginya hampir sama dengan sebagian mahasiswa yang menyelesaikan tugas dari dosen, tiada pemahaman mendalam, penjiwaan, dan pemaknaan. Seketika nasionalisme hanya menjadi kata-kata di bibir saja.

PEMBAHASAN
A. Nasionalime sebagai Kajian Politik
Nasionalisme sebagai ideologi negara-bangsa modern sudah sejak lama menjadi kajian, utamanya dalam bidang ilmu politik. Dalam catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nasionalisme merupakan produk dari sejarah bangsa itu sendiri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (1999: 64) bahwa nasionalisme sebagai fenomena historis, timbul sebagai jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politik ekonomi, dan sosial tertentu. Kondisi-kondisi yang dimaksudkan adalah munculnya kolonialisme dari suatu negara terhadap negara lainnya. Hal ini terjadi karena nasionalisme itu sendiri muncul sebagai sebuah reaksi terhadap kolonialisme, reaksi yang berasal dari sistem eksploitasi yang selalu menimbulkan pertentangan kepentingan secara terus menerus.

Berbeda dengan nasionalisme Barat yang menjurus pada kepada pemahaman nasionalisme sempit yang membenci bangsa/sukubangsa lain, menganggap bangsa/sukubangsa sendirilah yang paling bagus dan unggul sesuai dengan individualisme Barat, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang anti kolonialis, anti penindasan satu bangsa atas bangsa lain, satu kelompok atas kelompok yang lain. Nasionalisme Indonesia bukan merupakan nasionalisme satu bangsa atau satu kaum, tapi melampaui batasan etnis, ras, suku, dan agama. Hal yang sama dikemukakan oleh Kantaprawira, menurutnya bahwa substansi nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur, pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua kesadaran bersama bangsa dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia. Kalau kita mengacu pada konsep ini, maka Semangat dari dua substansi tersebut dapat dilihat dari cerminan yang ada dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan Pembukaan UUD 1945. Dalam teks Proklamasi Kemerdekaan jelas dinyatakan bahwa “atas nama bangsa Indonesia” sedangkan dalam Pembukaan UUD1945 sangat tegas dinyatakan “segala bentuk penjajahan dan penindasan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dalam lapangan politik, nasionalisme mencapai titik puncaknya pada pernyataan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Melalui deklarasi kemerdekaan politik ini, pintu gerbang menuju kemerdekaan bidang ekonomi dan sosial budaya terbuka.

Sehubungan dengan hal itu, Sartono Kartodirjo (1999) memberikan pemahamannya tentang nasionalisme dengan mengemukakan lima prinsip nasionalisme yang perlu ditanamkan dalam jiwa, yaitu kesatuan (unity), kebebasan (liberty), kesamaan (equality), kepribadian (personality), dan prestasi (performance). Lebih lanjut Sartono mengungkapkan bahwa membudayakan yang terkandung dalam kelima prinsip nasionalisme tidak mungkin terwujud dalam satu generasi, apalagi kalau diingat bahwa titik tolak kita adalah masyarakat yang pluralistik serta multi kompleks. Prinsip kesatuan yang perlu direlaisasikan menuntut suatu proses integrasi, baik teritorial, geo-politik, sosio-ekonomi dan sebagainya.

B. Nasionalisme Soekarno dan Hatta
Untuk dapat menjelaskan nasionalisme orde baru, sebagai bahan perbandingan, berikut penulis akan menggambarkan bagaimana nasionalisme Soekarno dengan nasionalisme humanisnya yang berakar pada nation building dan Hatta dengan nasionalisme yang berakar pada state building. Soekarno mempunyai gagasan nasionalisme sebagai ideologi bangsa yang diabadikan untuk proyek nation building. Bangsa menurut Soekarno, lebih didasarkan pada nasionalisme yang longgar, luhur; nasionalisme yang mementingkan kesejahteraan manusia Indonesia dan mengutamakan persahabatan dengan semua kelompok. 

Hal ini dapat dilihat dari gegap gempita pidato akbar Soekarno yang menentang agen Neokolim. Lebih lanjut Soekarno mengemukakan bahwa nasionalisme bermakna pembangunan karakter negara-bangsa yang anti imperialisme dan kolonialisme Barat, sekaligus mencintai perdamaian. Imperialisme inilah yang diyakini oleh Soekarno sebagai penyebab masyarakat dan negara-negara dunia ketiga sulit keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan. Kritik terhadap nasionalisme Barat inilah yang kemudian memunculkan gagasan utama yang oleh Tajuddin Noer Effendi disebut sebagai nasionalisme humanis Bung Karno.

Nasionalisme humanis dibangun atas dasar prinsip, setiap bangsa mampu memberikan sumbangan dalam menegakkan harkat dan martabat manusia, serta untuk mengembangkan nilai-nilai humanisme sesuai dengan karakteristik dan sifat-sifat bangsa. Nilai humanisme yang menjadi garis besar pemikiran Soekarno dapat ditelusuri dari berbagai tulisan bahwa dasar pemikiran Soekarno sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan hakiki yang bersifat universal. Prinsip utama (asas) pemikiran bersumber pada tuntutan hati/budi nurani manusia (the social consiciense of man). Tidak mengherankan bila Soekarno muda dari awal berjuang senantiasa menegaskan tuntutan revolusi rakyat Indonesia, dalam artian tidak hanya merdeka imprealisme dan kolonialisme, tapi lebih dari itu memperjuangkan kebebasan sesuai dengan kodrat manusia (hak asasi manusia). Kutipan salah satu pidato Soekarno ini “…bahwa semboyan kita adalah freedom to be free, bebas untuk merdeka. Buat apa freedom of speech, freedom of creed, freedom from want, freedom of form fear, jikalau tidak ada kebebasan untuk merdeka”, dapat dimaknai bahwa perjuangan rakyat Indonesia tidak hanya sebatas merebut kemerdekaan dari kolonial, tetapi juga sebuah perjuangan aspirasi kemanusiaan yang di dalamnya terkandung perjuangan untuk menegakkan harkat dan martabat manusia. Sehingga tidak mengherankan kalau perjuangan Soekarno adalah pembebasan anak manusia dari segala macam bentuk penindasan dan ketidakadilan. Pendekatan humanistik ini sejalan dengan apa yang menurut Cak Nur disebut dengan upaya kemaslahatan manusia. Rujukan yang sering dipakai oleh Cak Nur adalah anjuran Arnold Toynbee, sebagai berikut : “dengan maksud untuk menyelamatkan manusia, kita harus belajar hidup bersama dalam kedamaian meskipun berbeda agama, peradaban bangsa, kelas, dan ras….” (Toynbee, dalam Ridwan, 2002: 104).

Melalui asas marhaenisme yang menjadi spirit perjuangan Soekarno, dapat dilihat bahwa marhaenisme sarat dengan nuansa untuk memperjuangkan kepentingan kaum tertindas dengan upaya menghapuskan pemerasan dan mempersatukan semua golongan yang tertindas (marhaen). Mempersatukan kekuatan semua golongan tertindas yang anti imperialis dan kapitalis diletakkan sebagai pilar utama untuk memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun pada kenyataannya sampai Soekarno lengser dari tahtanya tahun 1967, nasionalisme humanisme yang menjadi gagasan utamanya belum sepenuhnya tercapai.

Kalau Soekarno mempunyai gagasan nasionalisme nation building, Hatta malah berbeda dengan Soekarno. Hatta mempunyai gagasan tentang nasionalisme yang ingin melakukan state building dengan memanfaatkan nation state yang ditinggalkan oleh kaum kolonial dan mau diatur dengan cara-cara konstitusional. Meskipun kedua founding fathers tersebut berbeda di dalam menafsirkan nasionalisme, namun kenyataannya mereka memiliki kesamaan dalam cita-cita untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera terlepas dari kolonialisme penjajah (Barat).

C. Nasionalisme Soeharto
Arrochman (2001), berpandangan agak sulit untuk mendefinisikan nasionalisme rejim Soeharto karena dalam prakteknya rejim ini tidak menganut nasionalisme yang bisa disandingkan dengan nasionalisme versi Soekarno dan Hatta. Meskipun sama seperti rejim sebelumnya, rejim Soeharto juga mengkampanyekan tentang pentingnya nasionalisme. Namun kenyataannya, nasionalisme yang dibangun adalah nasionalisme yang jauh dariu anti imperielisme dan penindasan. Rejim ini membuat konsep nasionalisme menurut versi Soeharto. Menurut Rocky Gerung (2001) nasionalisme rejim Soeharto tidak lebih sebagai peralatan politik, semacam ”kotak politik” yang dibawa ke sana kemari. Kotak Politik yang di dalamnya ada Pancasila, dwi fungsi ABRI, P-4, konsepsi negara integralistik dan sebagainya. Semua digunakan untuk memperbaiki, merawat, dan memaksimalkan performance mesin politik rejim Soeharto. 

Untuk lebih jelasnya akan kita lihat beberapa ciri nasionalisme yang diusung oleh rejim orde baru. Pertama, ia bergerak di bawah kawalan orang-orang bersenjata, yakni militer (ABRI), sehingga kedudukan kelompok bersenjata ini lebih dominan ketimbang kelompok tidak bersenjata (sipil). Makanya bisa dikatakan bahwa nasionalisme orde baru adalah nasionalisme militeristik.

Kedua, pada masa rejim orde baru, nasionalisme direduksi sedemikian rupa menjadi sekedar kedaulatan teritorial (dari Sabang sampai Merauke). Tidak peduli apakah di dalam teritori itu, kedaulatan politik, ekonomi dan budaya misalnya telah hilang. Nasionalisme menjadi sangat sensitif apalagi ketika dikaitkan dengan isu disintegrasi dari salah satu titik wilayah republik ini. Atas nama kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak peduli jika darah harus berceceran. Tengoklah ketika rakyat Aceh, Papua, dan Timor Timur (pada waktu itu) menuntut keadilan, mereka dihadapi dengan bayonet. Melalui operasi DOM mereka diburu sampai ke hutan-hutan karena dicap sebagai pemberontak dan separatis. 

Ketiga, nasionalisme orde baru berkaitan erat dengan kepentingan dan keistimewaan elite penguasa. Segala sesuatu yang bertentangan dan menggerogoti kepentingan elit berarti mengancam keutuhan nasional. Karena di puncak piramida bercokol seorang Soeharto, maka kritik terhadap Soeharto adalah kritik terhadap nasionalisme itu sendiri. Mereka yang mengkritik disebut tidak nasionalis, anti Pancasila, dan anti pembangunan. Selanjutnya banyak diantara mereka yang dimasukkan ke dalam penjara tanpa melalui proses hukum karena dianggap sebagai penghasut rakyat dan pembangkang.

Sebagai akumulasi dari ketiga hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisme Soeharto adalah nasionalisme yang anti bangsa sendiri, nasionalisme yang anti rakyat. Ini bisa dilihat dari bagaimana rejim ini mendefinisikan tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan dari dalam sebagai sesuatu yang dominan ketimbang yang datang dari luar. Istilah yang sering digunakan adalah bahaya laten. Jadi tidak mengherankan kalau seluruh aparatur negara pada saat itu seperti, militer, birokrasi dan organisasi massa didesain untuk memata-matai dan menjadi barisan terdepan dalam melumpuhkan kekuatan rakyat. 

Selain itu nasionalisme hanya ada pada ruang-ruang kelas penataran P-4, sehingga makna nasionalisme diukur dari sertifikat P-4 yang dimiliki oleh seseorang. Semakin sering seseorang mengikuti penataran, maka otomatis dianggap memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Tafsir lain yang diajarkan dan diberikan rejim Soeharto tentang nasionalisme adalah begitu mudah orang dianggap mempunyai jiwa dan semangat nasionalisme sejati apabila selalu tunduk dan patuh serta tidak pernah menentang kebijakan pemerintah orde baru. Bagi yang tidak patuh akan dicap tidak memiliki jiwa nasionalisme dan tidak pancasilais.

D. Manipulasi Makna Nasionalisme Oleh Rejim Soeharto
Di atas telah digambarkan bahwa ada perbedaan implementasi signifikan atas makna nasionalisme oleh rejim Soekarno dengan nasionalisme humanisnya dan rejim Soeharto dengan nasionalisme elitnya. Menurut hemat penulis makna nasionalisme dengan nilai-nilai kesetaraan, kemandirian, solidaritas, dan keadilan sosial yang inhern melekat yang dibangun oleh rejim Soekarno telah mengalami distorsi ketika rejim Soeharto memegang tampuk kepemimpinan nasional.

YB. Mangunwijaya (Gusmian, 2004: 242) nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme ala Inggris, Prancis, Jepang sebelum Perang Dunia II, Italia era Mussolini atau Jerman era Hitler yang dimaknai right or wrong, my country is always right. Dengan demikian apa yang sebenarnya dimaksud dengan nasionalisme Indonesia bagi Mangunwijaya adalah keinginan untuk terlibat dalam pembebasan orang-orang kecil di Indonesia dari eksploitasi kaum kuasa-kaya dalam segala bentuk oleh siapa pun, termasuk oleh oknum bangsa Indonesia sendiri. Pembebasan dan pemerdekaan tersebut dimaknai sebagai sebuah strategi yang secara manusiawi dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan secara luas kepada seluruh rakyat tanpa membedakan ras, suku, bangsa, dan agama.

Namun potret rejim Soeharto telah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk kita telaah bersama dalam melihat distorsi makna nasionalisme yang terjadi pada masa ini. Amanat kemanusiaan yang ada dalam bangunan nasionalisme Indonesia, oleh penguasa secara politis diplintir maknanya (Gusmian, 2004: 244) untuk melanggengkan kepentingan dan kekuasaannya. Masyarakat yang berharap telah lepas dari belenggu penjajahan malah masuk pada penjajahan ”model baru” yang menempatkan masyarakat sebagai obyek yang tidak lagi terjajah secara fisik, tapi tertindas secara batin.

Kita menyaksikan bagaimana kebebasan rakyat telah dijinakkan dengan politik manipulasi demi kelanggengan kekuasaan. Kekuasaan dengan sengaja ditempatkan tidak lebih dari apa yang oleh JF. Lyotard disebut sebagai ajang permainan keadilan (justice game), hukum sebagai ajang permainan bahasa (language game), dan aturan main hukum dipermainkan (rules of play). Fasisme baru muncul dalam struktur kekuasaan. Otoriterisme dan sentralisme menjadi logika politik kekuasaan. 

Dalam hal ini, demokrasi yang menjadi titik tolak negara untuk mencapai tujuan hanyalah sekedar isapan jempol belaka. Pola-pola pemaksaan terhadap masyarakat dengan slogan ”Pancasila sebagai satu-satunya azas ideologi bangsa” menjadi alat yang ampuh untuk melakukan pemaksaan kepada masyarakat. Apa yang pernah dikemukakan oleh Karl Marx bahwa ideologi adalah alat kekuasaan yang dapat melahirkan hegemoni politik menjadi realita dalam pola kepemimpinan Soeharto.

Maraknya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi budaya dalam struktur kekuasaan dan birokrasi yang kemudian menjadi bentuk penjajahan baru di bumi Indonesia oleh orang Indonesia sendiri. Rakyat diposisikan sebagai pihak yang tidak berdaya, tidak diberi kepastian hukum, tidak ada perlindungan hak, dan tidak dihargainya aspirasi mereka. Rakyat akhirnya menjadi jinak dan tunduk kepada penguasa. Dalam hal ini, pemerintah orde baru telah melakukan praktek hegemoni negara atas rakyatnya seperti kata Gramsci. Hegemoni menurut Gramsci merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik, dalam terminologinya disebut’momen’ dimana falsafah danpraktek sosial menyatu dalam keadaan seimbang. Dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan. Pengaruh dan spirit ini berbentuk moralitas, adapt, religi,prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual. Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan Negara sebagai klas diktator. Masa inilah yang sering diklaim sebagai era tidak demokratis (bahkan anti-demokrasi). Oleh karena itu menjadi jelas bahwa sumber keretakan bangunan nasionalisme Indonesia terjadi ketika rejim orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto berkuasa.

Ada banyak anggapan bahwa ketika kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, dan kebebasan untuk memilih sudah ada, keadaan ini sudah demokratis. Namun dibalik semua itu ada beberapa hal yang tidak pernah terwujud diantaranya kesetaraan dan keadilan sosial menuju tercapainya kesejahteraan masyarakat. Meskipun dalam melihat demokrasi terdapat dua pendapat yang berbeda, yakni demokrasi sebagai tujuan dan demokrasi sebagai cara untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini penulis memposisikan diri dengan kelompok yang melihat demokrasi sebagai cara untuk mencapai tujuan. Penulis setuju dengan pendapat Robikin Emhas (dalam Arif, 2006: 81) yang menyatakan bahwa tujuan pokok dari ide demokrasi adalah walfere state atau kesejahteraan rakyat. Sehingga dalam konteks ini demokrasi bukanlah suatu tujuan, tapi merupakan cara untuk mencapai kesejahteraan (tujuan). meskipun disadari bahwa demokrasi adalah cara yang memiliki tingkat kesulitan tinggi dalam prosesnya. Anda boleh setuju atau tidak dengan pendapat ini. Namun yang jelas makna nasionalisme yang dibangun oleh rejim orde baru dengan ukuran bahwa seseorang dikatakan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi ketika ketaatan dan kepatuhan atas kebijakan pemerintah dilaksanakan tanpa upaya untuk menentangnya telah “menghancurkan” sendi-sendi demokrasi yang bermuara pada kesejahteraan rakyat. 

Dalam upaya meraih demokrasi dan kesejahteraan rakyat, nasionalisme Indonesia mesti kita pancangkan sebagai gerakan anti penjajahan dan ketidakadilan tanpa harus disekat dengan etnis, suku, dan agama. Nasionalisme seharusnya dijadikan sarana untuk memperjuangkan kepentingan nasional bukan untuk kepentingan segelintir orang. Arif Budiman dalam sebuah tulisannya pernah mengemukakan bahwa rumusan umum nasionalisme adalah tatkala semua pihak mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya.

Kalau demikian adanya, berarti inti dari nasionalisme adalah penghormatan atas hak-hak individu dan bukan atas alasan negara, agama, suku, ras, budaya dan lain-lain. Mungkin bukan musimnya lagi kita menganut nasionalisme ala class of the civilization, seperti kata Fukuyama, tapi lebih mengarah kepada the borderless nation bahwa nantinya kita tidak lagi dibatasi oleh yang namanya geografis negara sebagai bentuk nasionalisme yang berdasarkan negara, agama, suku atau apapun, tetapi lebih pada nasionalisme karena persamaan kepentingan, nasib, tujuan, kesetaraan, dan keadilan sosial yang bisa jadi lebih kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.

Dari gambaran di atas, dapat kita garis bawahi bahwa nasib nasionalisme Indonesia memang telah mengalami distorsi makna dengan upaya manipulasi ketika rejim Soeharto berkuasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Arif Budiman bahwa nasionalisme memang rentan terhadap manipulasi. Meskipun demikian dalam negara Indonesia bukan hanya nasionalisme yang rentan terhadap manipulasi, hukum, keadilan, dan demokrasi pun sarat dengan praktek manipulasi. Akhirnya kata kunci yang dapat kita tarik adalah nasionalisme merupakan sesuatu yang fleksibel yang kadang-kadang dipakai untuk diri sendiri dan kroninya (orde baru) dan bisa juga dipakai untuk kepentingan bangsa seluruhnya. Sehingga menganalisa nasionalisme harus dilihat pada situasi, tempat, waktu serta siapa yang menggunakan. Kerentanan yang terjadi harus dipandang sebagai konsekuensi atau akibat dari proses demokrasi yang belum mantap serta masih kuatnya budaya orde baru yang masih tetap eksis hampir di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

PENUTUP
Berbicara tentang nasionalisme Indonesia, maka tidak salah kalau kita kembali membuka sejarah tentang berdirinya bangsa ini. Nasionalisme humanis yang dijadikan gagasan pokok oleh Soekarno dalam upayanya membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan nilai kebebasan, keadilan sosial, dan kesetaraan yang menjadi sendi dari sebuah demokrasi untuk menciptakan perdamaian dunia serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, harus berbalik arah setelah bergantinya rejim orde lama ke orde baru.

Makna nasionalisme dalam arti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan sosial berubah menjadi nasionalisme yang dimaknai sebagai ketaatan dan ketundukan atas penguasa. Orang begitu mudah diklaim mempunyai jiwa dan semangat nasionalisme ketika memperlihatkan sertifikat P-4 yang dimilikinya. Keadaan ini membuktikan bahwa amanat kemanusiaan yang ada dalam jiwa nasionalisme diplintir oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.

Akhirnya untuk menata nasionalisme baru Indonesia diperlukan wahana untuk mengusung partisipasi kualitatif masyarakat untuk mencapai civil society. Dengan demikian, semestinya ke depan kita harus membenahi kembali anyaman sejarah bangsa yang terkoyak di beberapa bagian. Membangun kembali keindahan sejarah melalui jalinan harmonis seluruh kekuatan bangsa. Dengan mendekonstruksi keindonesia kita yang lebih baik akan menciptakan sebuah iklim demokrasi yang berpihak pada rakyat, bukan pada penguasa.

Hal ini kemudian menunjukkan betapa proses demokratisasi dalam era desentralisasi dan otonomi daerah perlu untuk diperhatikan secara serius. Jualiansyah (2007) menyebutkan bahwa dalam upaya menyukseskan proses demokrasi di daerah, maka setidaknya ada tiga pilar utama yang harus diperhatikan : (1). Kedaulatan rakyat yang menentukan legitimasi otoritas seseorang mendapat mandat untuk menyelenggarakan pemerintahan, (2) Supermasi hukum untuk memberikan kepastian dari proses kedaulatan yang diberikan oleh rakyat melalui proses seleksi, dan (3) Toleransi terhadap hasil akhir dari proses pemilihan yang sudah diselenggarakan, dengan akhirnya secara fair menerima dengan senang hati, dari proses yang telah berjalan.

Pilkada langsung sebagai suatu proses politik untuk pengisian jabatan politik di daerah pada hakekatnya diarahkan dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat, karena masyarakat yang ada di daerah tersebut lebih mengenal karakter dan kemampuan pemimpinnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pola lama dalam rekruitmen kepemimpinan yang diisitilahkan membeli kucing dalam karung. Rakyat memiliki tanggung jawab sosial terhadap jalannya pemerintahan karena apa yang telah mereka pilih telah sesuai dengan visi, misi dan program yang ada di daerah. Hal ini didasari oleh hakekat pilkada yang pada dasarnya merupakan proses sosial melalui suatu kompetisi dan proses politik, dimana rakyat lokal dapat mengetahui dan menjalankan proses tersebut. 

Otonomi daerah sebagai landasan dalam pelaksanaan pilkada pada dasarnya diarahkan pada tiga sasaran utama ; pertama, meningkatkan pelayanan kepada. Kedua, memberdayakan sumber-sumber daya yaitu sumber daya manusia, alam, dan budaya yang dimiliki oleh daerah untuk dapat dikembangkan sesuai dengan potensi yang ada di daerah. Ketiga, peran serta masyarakat sebagai objek dan subjek pembangunan. Dimana arah otonomi daerah ditujukan untuk mempercepat pembangunan nasional dengan tetap bertumpukan pada kemampuan dan kemandirian lokal termasuk dari sektor politiknya. 

Persoalan dalam pilkada langsung dewasa ini setidaknya dapat didekati melalui bebrapa pendekatan yakni ; (1) Manajemen tradisional yang mengandalkan semangat dan loyalitas kedaerahan dalam menangani dan menyelesaikan persoalan yang muncul, (2) Manajemen modern dan demokratik sebagai suatu model pendekatan menyeluruh dan memandang pilkada sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini terkait dengan kompleksitas persoalan pilkada mulai dari tahapan persiapan, pelaksanaan dan sampai tahap evaluasi seluruh proses pilkada. Karena itu untuk melaksanakan pilkada adil dan terbuka yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang berpedoman pada pedoman dan aturan baku pelaksanaannya perlu untuk diperhatikan demi tercapainya tujuan dan cita-cita dari proses demokratisasi di daerah. Pergeseran kekuatan politik sebagai implikasi dari kegiatan pilkada merupakan efek langsung yang tak terbantahkan dari penyelenggaraan aktifitas politik tersebut.

PENUTUP
Hubungan pusat-daerah perlu mendapatkan perhatian serius dalam era otonomi daerah. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah telah membawa perubahan besar dalam ranah pemerintahan pemerintahan. Hal ini terkait dengan besarnya kewenangan yang dimiliki oleh tingkatan pemerintahan yang dalam implementasinya tidak jarang memunculkan polemik dalam kegiatan pemerintahan tersebut. Hal ini terjadi karena masih sering ditemukannya tumpang tindih kewenangan dalam aktifitas pemerintahan, khususnya yang ada pada level propinsi dan kabupaten kota. Kondisi ini lebih diperparah dengan penyeragaman berbagai urusan kewenangan yang diberikan, sementara dalam beberapa kasus ternyata masih adanya pemerintah daerah yang memiliki kekurangan atau bahkan ketidakmampuan dalam mengimpelementasikan kewenangan yang dimilikinya.

Kebijakan desentralisasi memberikan pengaruh pada ranah politik, khususnya dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung. Perilaku elit politik lokal pada akhirnya akan memberikan pengaruh pada masyarakat pemilih. Kondisi ini akan memungkinkan munculnya konflik vertikal maupun horisontal jika tidak mendapatkan penanganan secara maksimal melalui suatu pola pendekatan yang tepat dan relevan. Besarnya kewenangan dalam berotonomi jangan menjadi suatu bumerang dalam katatanegaraan kita. Para elit sudah seyogyanya untuk menerapkan mekanisme dan sistem politik santun yang merupakan cerminan dalam berdemokrasi.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson