Pengertian dan Fenomena Globalisasi Ekonomi

Pengertian dan Fenomena Globalisasi Ekonomi 
Tidak ada definisi yang baku atau standar mengenai globalisasi, tetapi secara sederhana globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses di mana semakin banyak negara yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi global yang membuat negara-negara tersebut saling tergantung satu dengan yang lainnya. Jika dalam periode sejak perang dunia kedua berakhir hingga tahun 1970-an ekonomi dunia didominasi oleh Amerika Serikat (AS), sekarang ini walaupun produk domestik bruto (PDB) AS masih paling besar, peran dari Uni Eropa (UE), Jepang dan negara-negara industri baru (NICs) di Asia Tenggara dan Timur seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, serta Cina dan India sebagai motor penggerak perekonomian dunia jauh lebih besar, terutama lewat dua jalur yakni perdagangan dan investasi internasional. Selain itu, peran dari ekonomi-ekonomi ini sebagai sumber pendanaan pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang (NSB) juga jauh lebih besar dibandingkan 20 tahun yang lalu. 

Di Wolf (2004), disebut ada tiga aspek yang saling terkait yang menandakan sedang berlangsungnya proses globalisasi, yakni semakin terintegrasinya pasar lintas negara, semakin berkurang-/menghilangnya hambatan-hambatan yang dikenakan pemerintah terhadap arus internasional dari barang, jasa dan modal, dan penyebaran global dari kebijakan-kebijakan yang yang semakin berorientasi pasar di dalam negeri maupun internasional. Tepatnya, seperti yang dapat dikutip sebagai berikut: 

in three distinct bu interrelated senses: first, to describe the economic phenomenon of increasing integration of markets across political boundaries (whether due to political or technological causes); second, to describe the strictly political phenomenon of falling government-imposed barriers to international flows of goods, services, and capital; and, finally, to describe the much broader political phenomenon of the global spread of market-oriented policies in both the domestic and international spheres.

Jadi, proses globalisasi ekonomi adalah perubahan perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang akan semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga akan semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan ekonomi dan juga mempertajam persaingan antarnegara, tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam investasi, keuangan, dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas geografi dari kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau regional, tetapi semakin mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Globalisasi ekonomi biasanya dikaitkan dengan proses internasionalisasi produksi, perdagangan dan pasar uang. Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses yang berada diluar pengaruh atau jangkauan kontrol pemerintah, karena proses tersebut terutama digerakkan oleh kekuatan pasar global, bukan oleh kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah secara individu. 

Dalam tingkat globalisasi yang optimal arus produk dan faktor-faktor produksi (seperti tenaga kerja dan modal) lintas negara atau regional akan selancar lintas kota di dalam suatu negara atau desa di dalam suatu kecamatan. Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya pabrik di Kalimantan Barat setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Serawak atau Filipina tanpa halangan, baik dalam logistik maupun birokrasi yang berkaitan dengan urusan administrasi seperti izin usaha dan sebagainya. 

Sekarang ini dengan semakin mengglobalnya perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional bersamaan dengan semakin dominannya sistem produksi global atau internasionalisasi produksi (dibandingkan sistem produksi lokal pada era 50-an hingga awal 80-an), tidak relevan lagi dipertanyakan negara mana yang menemukan atau membuat pertama kali suatu barang. Orang tidak tau lagi apakah lampu neon merek Philips berasal dari Belanda, yang orang tau hanyalah bahwa lampu itu dibuat oleh suatu perusahaan multinasional yang namanya Philips, dan pembuatannya bukan di Belanda melainkan di Tangerang. Banyak barang yang tidak lagi mencantumkan bendera dari negara asal melainkan logo dari perusahaan yang membuatnya. Banyak produk dari Disney bukan lagi dibuat di AS melainkan di Cina, dan dicap made in China. Sekarang ini semakin banyak produk yang komponen-komponennya di buat di lebih dari satu negara (seperti komputer, mobil, pesawat terbang, dll.). Banyak perusahaan-perusahaan multinasional mempunyai kantor pusat bukan di negara asal melainkan di pusat-pusat keuangan di negara-negara lain seperti London dan New York, atau di negara-negara tujuan pasar utamanya. Sama seperti yang dibahas oleh Wolf (2004) sebagai berikut: Is a Toyota factory in the US less or more American than a

General Motors factory in China? Is Goldman Sachs in Frankfurt less or more American than HSBC in New York? (halaman 311). 

Semakin menipisnya batas-batas geografi dari kegiatan ekonomi secara nasional maupun regional yang berbarengan dengan semakin hilangnya kedaulatan suatu pemerintahan negara muncul disebabkan oleh banyak hal, diantaranya menurut Halwani (2002) adalah komunikasi dan transportasi yang semakin canggih dan murah, lalu lintas devisa yang semakin bebas, ekonomi negara yang semakin terbuka, penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara, metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang semakin efisien, dan semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seantero dunia. Selain itu, penyebab-penyebab lainnya adalah semakin banyaknya industri yang bersifat footloose akibat kemajuan teknologi (yang mengurangi pemakaian sumber daya alam), semakin tingginya pendapatan dunia rata-rata per kapita, semakin majunya tingkat pendidikan mayarakat dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang, dan semakin banyaknya jumlah penduduk dunia. 

Menurut Friedman (2002), globalisasi mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi ide atau ideologi yaitu “kapitalisme”. Dalam pengertian ini termasuk seperangkat nilai yang menyertainya, yakni falsafah individualisme, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Oleh karena itu tidak mengherankan jika demokrasi dan HAM menjadi dua isu yang semakin penting, bahkan sekarang ini sering dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama dalam membuat kesepakatan atau menjalin kerjasama ekonomi antarnegara atau dalam konteks regional seperti ASEAN, UE dan APEC atau global seperti WTO. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu pasar bebas yang artinya arus barang dan jasa antarnegara tidak dihalangi sedikitpun juga. Ketiga, dimensi teknologi, khususnya teknologi informasi yang akan membuka batas-batas negara sehingga negara makin tanpa batas. 

Dua Indikator Utama 
Derajat globalisasi dari suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat dari dua indikator utama. Pertama, rasio dari perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari negara tersebut sebagai suatu persentase dari jumlah nilai atau volume perdagangan dunia, atau besarnya nilai perdagangan luar negeri dari negara itu sebagai suatu persentase dari PDB-nya. Semakin tinggi rasio tersebut menandakan semakin mengglobal perekonomian dari negara tersebut. Sebaliknya, semakin terisolasi suatu negara dari dunia, seperti Korea Utara, semakin kecil rasio tersebut. Kedua, kontribusi dari negara tersebut dalam pertumbuhan investasi dunia, baik investasi langsung atau jangka panjang (penanaman modal asing; PMA) maupun investasi tidak langsung atau jangka pendek (investasi portofolio). 

Sebagai suatu negara pengekspor (pengimpor) modal neto, semakin besar investasi dari negara itu (negara lain) di luar negeri (dalam negeri), semakin tinggi derajat globalisasinya. Derajat keterlibatan dari suatu negara (negara lain) dalam investasi di negara lain (dalam negeri) bisa diukur oleh sejumlah indikator. Misalnya, untuk investasi langsung oleh rasio dari PMA dari negara tersebut (negara asing) di dalam pembentukan modal tetap bruto di negara lain (dalam negeri). Sedangkan dalam investasi portofolio diukur oleh antara lain nilai investasi portofolio dari negara tersebut (negara asing) sebagai suatu persentase dari nilai kapitalisasi dari pasar modal di negara tujuan investasi (dalam negeri), atau sebagai persentase dari jumlah arus masuk modal jangka pendek di dalam neraca modal dari negara tujuan investasi (dalam negeri). 

Arus Perdagangan Internasional 
Data sejarah menunjukkan bahwa sejak berakhirnya perang dunia kedua hingga saat ini, pangsa dari pengeluaran konsumsi domestik terhadap barang dan jasa yang diimpor dari negara lain, dan bagian dari produksi barang dan jasa di dalam negeri yang diekspor ke luar negeri terus mengalami peningkatan, yang dengan sendirinya memperbesar nilai atau volume perdagangan di dunia. Kenaikan ini dapat diobservasi baik secara absolut maupun relatif, yakni rasio dari perdagangan internasional (ekspor + impor) terhadap PDB dari masing-masing negara. 

Integrasi perdagangan antarnegara meningkat pesat terutama pada tahun 1970-an, pada saat banyak negara mulai menerapkan sistem ekonomi terbuka (yang disebut era keterbukaan global) dan setelah itu mengalami sedikit penurunan pada pertengahan dekade 80-an dan suatu akselerasi di tahun 90-an (Tambunan, 2004).8Tetapi tidak semua negara mengalami laju pertumbuhan perdagangan internasional yang sama jangka waktu tersebut; ada negara-negara yang mengalami laju pertumbuhan perdagangan luar negeri yang pesat, tetapi lebih banyak negara yang tidak terlalu banyak memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang muncul dari pertumbuhan perdagangan dunia. Data dari UNCTAD menunjukkan bahwa rasio dari nilai perdagangan total terhadap PDB (sebagai suatu indikator dari keterbukaan perdagangan) terus meningka hingga akhir tahun tahun 1970-an, Namun sejak itu indikator keterbukaan perdagangan dari negara-negara di Asia Timur mengalami suatu akselerasi yang sangat pesat, sedangkan indikator yang sama dari Afrika Sub-Sahara dan Amerika Latin mengalami suatu penurunan. 

Untuk perbandingan antara kelompok negara-negara maju dengan kelompok NSB, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa di dalam kelompok pertama, pangsa dari perdagangan internasional di dalam PDB mengalami suatu kenaikan dari 27% ke 39% selama periode 1980an-1990-an. Sedangkan di dalam kelompok kedua, rasio perdagangan internasional terhadap PDB naik dari 10% ke 17% dalam periode yang sama (Bank Dunia, 2000a). Perbedaan ini memberi kesan bahwa tingkat integrasi atau keterbukaan perdagangan di dalam kelompok NSB relatif masih rendah dibandingkan kelompok negara maju, walaupun di dalam kelompok NSB itu sendiri ada perbedaan antarnegara antara negara-negara Amerika Latin dan Afrika Sub-Sahara dengan negara-negara di Asia Tenggara yang derajat pembangunan ekonominya relatif lebih maju seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Filipina dan Indonesia. 

Selanjutnya, sebagai suatu ilustrasi empiris, Tabel 2 menunjukkan tingkat globalisasi ekonomi dari sejumlah negara di Asia dan kelompok negara berpendapatan rendah dan tinggi. Berdasarkan rasio dari ekspor-impor barang (tanpa jasa) terhadap PDB, hampir semua negara di dalam tabel tersebut mengalami peningkatan, terkecuali Singapura, selama periode yang diteliti. Peningkatan paling besar dialami oleh Hong Kong dengan laju lebih dari 1000% dari PDB (barang)-nya. Besarnya rasio ini dimungkinkan karena fungsi dari Hong Kong sebagai pusat distribusi (entreport) terbesar di Asia, khususnya Asia Timur, setelah Singapura di Asia Tenggara, di mana banyak barang yang diperdagangkan di pasar internasional dikumpulkan si pelabuhan di Hong Kong yang selanjutnya di ekspor ke negara-negara lain sebagai tujuan akhir. 

Tabel Tingkat Globalisasi Ekonomi dari Sejumlah Negara di Asia

Sumber: Bank Dunia (2003) 

Indonesia termasuk negara baik dalam kelompok NSB maupun kelompok negara-negara di Asia Tenggara yang perdagangan luar negerinya mengalami suatu pertumbuhan yang pesat terutama sejak tahun 1980-an, yakni sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan liberalisasi perdagangan luar negerinya, walaupun secara bertahap, dan melakukan sejumlah paket deregulasi di bidang-bidang lain termasuk sektor keuangan, yang pada waktu diharapkan dapat menghilangkan semua distorsi pasar yang ada dan dengan itu dapat menstimulasi perkembangan dan pertumbuhan ekspor non-migas. Rasio dari perdagangan internasional terhadap PDB Indonesia mulai bergerak naik menjelang akhir tahun 1970-an dan mengalami suatu akselerasi yang signifikan menjelang tahun 1998, periode di mana krisis ekonomi mencapai titik terburuknya. 

Arus Modal Internasional. 
Arus modal internasional terdiri dari modal swasta dan modal pemerintah. Arus modal swasta antarnegara dapat dibedakan antara investasi dan pinjaman komersial; sedangkan arus modal asing pemerintah adalah pinjaman resmi bukan komersial (disebut juga modal asing resmi). Misalnya pinjaman yang diterimah oleh pemerintah Indonesia setiap tahun dari negara-negara yang tergabung dalam CGI (Consultancy Group on Indonesia) atau secara bilateral dengan negara-negara donor. Modal asing resmi juga termasuk pinjaman atau dana bantuan dari badan-badan dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) kepada pemerintah dari negara penerima. 

Arus modal asing dalam bentuk investasi dapat dibedakan lagi, yakni investasi langsung (PMA) dan investasi tidak langsung (investasi portofolio). Dalam dua dekade belakangan ini semakin banyak perusahaan-perusahaan yang berbasis di suatu negara melakukan investasi langsung di luar negeri dengan cara mendirikan atau merealokasikan pabriknya atau membeli atau mengambil alih perusahaan di negara tujuan.9Perkembangan ini dengan sendirinya meningkatkan arus PMA antarnegara, yang terefleksi dalam peningkatan pangsa dari PMA sebagai suatu persentase dari investasi total dunia. Menurut data Bank Dunia pada tahun 1975 jumlah investasi langsung tercatat hanya 23 miliar dollar AS, dan pada tahun 1997 meningkat menjadi 644 miliar dollar AS (Friedman, 2002). Masih menurut Bank Dunia, pada tahun 1998 jumlah PMA dari perusahaan-perusahaan AS telah mencapai 133 miliar dollar AS, sedangkan PMA dari negara-negara lain di AS pada tahun yang sama bernilai 193 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, arus PMA di dunia meningkat sangat signifikan selama periode 1988-1998 dari 192 miliar dollar AS ke 610 miliar dollar AS. Arus PMA dari kelompok negara-negara maju ke kelompok NSB juga meningkat tajam selama periode yang sama, termasuk Indonesia, terkecuali sejak krisis ekonomi 1997/98, arus PMA neto ke Indonesia mengalami suatu penurunan (Bank Dunia 2000b). 

Menyangkut investasi jangka pendek, juga dalam dua dekade belakangan ini semakin banyak penabung-penabung, terutama di negara-negara maju yang mendiversifikasikan portofolio mereka ke berbagai macam aset-aset keuangan luar negeri seperti obligasi, saham, pinjaman atau deposito. Juga semakin banyak perusahaan-perusahaan terutama di NSB yang membiayai kegiatan produksi di dalam negeri dengan memakai dana investasi dari sumber-sumber luar, selain dari kredit perbankan dan pasar modal domestik. Indonesia juga mengalami peningkatan arus modal asing jangka pendek yang pesat sejak deregulasi di sektor perbankan pada tahun 1980-an hingga tahun 1997, pada saat krisis rupiah mencuat.

Sebagai suatu ilustrasi empiris, jumlah arus modal asing neto (swasta dan pemerintah) ke NSB mengalami peningkatan yang signifikan dari 120,8 miliar dollar AS pada tahun 1990 ke 289,3 miliar dollar AS pada tahun 2000. Diantara negara-negara ASEAN, arus modal asing neto ke Indonesia paling besar; tetapi sejak 1998 arus yang keluar lebih besar daripada yang masuk. Sedangkan, di Malaysia, Singapura dan bahkan Filipina yang juga terkena krisis ekonomi, netonya tetap positif. Tahun 1990, arus modal asing neto ke Indonesia tercatat sebesar 6,3 miliar dollar AS, atau sekitar 5% dari jumlah arus modal asing neto ke NSB, tetapi turun terus dan tahun 1997 sahamnya menjadi sekitar 3,2%. Negara Asia yang arus modal asingnya paling besar adalah Cina yang pada tahun 1998 nilainya mencapai 45,8 miliar dollar AS dan pada tahun 2000 tercatat hampir 61,1 miliar dollar AS. Dengan masuknya Cina sebagai anggota WTO, diperkirakan arus modal asing, khususnya investasi swasta ke Cina akan tumbuh lebih pesat lagi, karena memang selama ini Cina termasuk salah satu negara eksportir besar di dunia, dan juga negara itu sangat menarik bagi investasi karena upah buruh murah, infrastruktur cukup baik (terutama di wilayah pantai), dan pasar domestik sangat besar dengan jumlah penduduk lebih dari 1 miliar orang. 

Pada prinsipnya, arus modal asing resmi antarnegara tidak tergantung pada perkembangan atau liberalisasi keuangan dunia, karena transaksinya tidak lewat sistem perbankan. Namun demikian, liberalisasi keuangan dunia berbarengan dengan perkembangan pasar modal di dalam negeri mempengaruhi arus modal asing resmi karena menciptakan peluang bagi pemerintah dari suatu negara untuk mendiversifikasikan sumber-sumber pendanaan eksternalnya. 

Bagian terbesar dari arus modal swasta ke NSB adalah dalam bentuk PMA. Struktur dari arus modal swasta ke NSB ini berbeda dengan struktur dari arus modal swasta secara total di dunia. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 3, database dari IMF menunjukkan bahwa rata-rata per tahun selama dekade 90an, arus modal swasta dalam bentuk investasi portofolio lebih besar daripada arus modal swasta dalam bentuk PMA. Terkecuali setelah 1999 di mana arus investasi jangka pendek menurun dengan laju yang pesat, sedangkan arus PMA masih terus meningkat hingga tahun 2000 dan setelah itu juga menurun. 

Faktor-Faktor Pendorong 
Sebenarnya proses globalisasi ekonomi telah terjadi sejak dahulu kala dan akan berlangsung terus, walaupun prosesnya berbeda: dulu sangat lambat sedangkan sekarang ini sangat pesat dan di masa depan akan jauh lebih cepat lagi. Perbedaan ini disebabkan terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan alat-alat komunikasi dan transportasi yang semakin canggih, aman dan murah. Jadi dapat dikatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor pendorong atau kekuatan utama dibalik proses globalisasi ekonomi. Karena adanya satelit, hand phone, fax, Internet dan email maka komunikasi atau arus informasi antarnegara menjadi sangat lancar dan murah. Juga, adanya pesawat terbang yang semakin cepat terbangnya dengan kapasitas penumpang yang semakin besar membuat mobilisasi dari pelaku-pelaku ekonomi (konsumen, produsen, investor, dan bankir) antarnegara menjadi semakin cepat dan murah. Ini semua meningkatkan arus transaksi ekonomi antarnegara dalam laju yang semakin pesat. 

Peran dari kemajuan teknologi terhadap proses globalisasi juga diakui oleh Friedman yang mendapat penghargaan atas bukunya mengenai globalisasi (2002) yang menyatakan berikut ini: era globalisasi dibangun seputar jatuhnya biaya telekomunikasi – berkat adanya mikrochip, satelit, serat optik dan internet/ Teknologi informasi yang baru ini mampu merajut dunia bersama-sama bahkan menjadi lebih erat. ……. Teknologi ini juga dapat memungkinkan perusahaan untuk menempatkan lokasi bagian produksi di negara yang berbeda, bagian riset dan pemasaran di negara yang berbeda, tetapi dapat mengikat mereka bersama melalui komputer dan komperensi jarak jauh seakan mereka berada disatu tempat. Demikian juga berkat kombinasi antara komputer dan telekomunikasi yang murah, masyarakat sekarang dapat menawarkan pelayanan perdagangan secara global - dari konsultasi medis sampai penulisan data perangkat lunak ke proses data – pelayanan yang sesungguhnya tidak pernah dapat diperdagangkan sebelumnya. Dan mengapa tidak? Sambungan telepon untuk 3 menit pertama (dalam dolar, thn 1986) antara New York dan London biayanya adalah 300 dolar di tahun 1930. Sekarang hal itu hampir bebas biaya melalui Internet (halaman 20a). Friedman mengatakan bahwa globalisasi memiliki definisi teknologi sendiri: komputerisasi, miniaturisasi, digitalisasi, komunikasi satelit, serat optik dan internet. 

Friedman juga melihat bahwa sistem globalisasi yang terjadi di dunia saat ini mempunyai ciri istimewa yakni integrasi. Berkat kemajuan teknologi seperti yang disebut di atas, semua manusia dimanapun berada bisa saling berhubungan satu dengan lainnya lewat jaringan: Dunia menjadi tempat untuk menjalin hubungan, dan hari ini, apakah Anda suatu negara atau perusahaan, ancaman dan peluang anda semakin tergantung dari kepada siapa anda dihubungkan. Globalisasi ini juga digambarkan dalam satu kata: Jaringan (Web). Jadi dalam penalaran yang lebih luas, kita telah berangkat dari sistem yang dibangun seputar divisi dan tembok ke sistem yang dibangun secara bertahap seputar integrasi dan jaringan.

Besarnya pengaruh dari kemajuan teknologi terhadap perubahan kehidupan manusia di dunia yang mendorong proses globalisasi ekonomi semakin pesat sebenarnya sudah diduga sebelumnya oleh sejumlah orang, diantaranya adalah Alvin Toffler (1980). Menurutnya, akibat progres teknologi, akan terjadi kejutan-kejutan masa depan yang melahirkan revolusi baru. Kehidupan manusai atau kegiatan ekonomi dunia tidak lagi dipimpin oleh industri, namun informasi akan muncul sebagai penggerak pendulum. Revolusi informasi yang sarat dengan teknologi akan membawa perubahan-perubahan di dalam kehidupan manusia sehari-hari yang jauh lebih radikal daripada revolusi industri yang memerlukan waktu, biaya, lahan, dan pasar yang besar. Toffler mengatakan bahwa revolusi informasi yang dipicuh oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, akan membawa wajah baru, yakni masyarakat global lantaran kaburnya batas-batas wilayah dan negara. 

Pada tahun 1990-an, muncul seorang futurolog baru bernama John Naisbitt yang lebih rinci dalam memetakan wajah dunia ke depan dalam publikasinya yang sangat terkenal: Megatrend Asia 2000. Naisbitt meramalkan bahwa akibat perubahan-perubahan super cepat di Asia, yang didorong oleh kemajuan teknologi dan sumber daya manusia (SDM) di kawasan tersebut, pada abad ke 21 akan terjadi pergeseran dalam pusat kegiatan ekonomi dunia dari AS dan Eropa ke Asia, khususnya Asia Tenggara dan Timur. Walaupun dalam kenyataannya, pergeseran tersebut tidak terjadi, atau paling tidak tertunda untuk sementara waktu akibat terjadinya krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997/98. 

Secara garis besar, Toffler dan Naisbitt mempunyai beberapa kesamaan dalam meramal dunia di masa depan, diantaranya adalah bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahun merupakan motor penggerak utama proses globalisasi ekonomi. Perubahan radikal pada teknologi juga telah menciptakan perubahan pada politik, sosial dan budaya. Mereka juga sependapat bahwa masyarakat dunia dewasa ini sedang memasuki era masyarakat informasi yang beralih dari masyarakat industri. Artinya adalah bahwa masyarakat tidak bisa lagi menutup diri dari luar karena teknologi informasi mampu menembus batas-batas wilayah kekuatan negara Pengaruh radikal dari kemajuan teknologi terhadap kehidupan masyarakat saat ini terutama sangat ketara sekali pada kegiatan bisnis sehari-hari atau produk-produk yang dihasilkan. Misalnya, fitur hand phone (HP) hampir setiap saat berganti sehingga HP menjelma menjadi alat bertukar informasi melalui teknologi Internet ataupun SMS, berfungsi sebagai games, kamera digital dan fungsi-fungsi lainnya. Kemampuan komputer beserta program-programnya semakin canggih. Perubahan teknologi yang sangat pesat sekarang ini juga telah mempengaruhi agro industri yang semakin tumbuh kencang dengan varian-varian hasil produk, baik melalui rekayasa genetika maupun akibat penemuan-penemuan varietas unggul. Demikian juga dalam sektor kesehatan, produk-produknya juga mengalami revolusi dengan banyak ditemukan jenis-jenis obat (supplement) baru yang memungkinkan manusia lebih sehat atau lebih panjang usianya (Halwani, 2002). 

Pada gilirannya, perubahan di sisi suplai (produksi) tersebut telah membuat perubahan di sisi permintaan sesuai fenomena supply creates its own demand: perilaku konsumen semakin bervariatif mengikuti pilihan produk yang semakin kompetitif. Perubahan pola konsumen telah terjadi tidak hanya di negara-negara maju tetapi juga di NSB; tidak hanya di daerah perkotaan tetapi juga di daerah perdesaan atau pedalaman. Walaupun tidak ada data empiris yang bisa mendukung, tetapi dapat diduga bahwa jumlah penduduk di perdesaan di Indonesia yang sudah pernah minum coca cola sekarang ini jauh lebih banyak dibandingkan pada awal tahun 1970an; demikian juga jumlah penduduk di perdesaan yang memiliki HP saat ini jauh lebih banyak dibandingkan pada awal tahun 1990-an. Bahkan banyak orang yang membeli HP atau rutin menggantinya dengan seri baru bukan karena perlu tetapi karena mengikuti trend yang sangat dipengaruhi oleh reklame dan pergaulan. Jadi benar apa yang dikatakan oleh Anthony Giddens (2001) bahwa globalisasi saat ini telah menjadi wacana baru yang menelusup ke seluruh wilayah kehidupan baik di perkotaan maupun perdesaan. Globalisasi telah memberi perubahan yang radikal dalam semua aspek kehidupan, mulai dari sosial, budaya, politik, ekonomi, hingga gaya hidup sehari-hari. 

Dalam komunikasi juga sangat nyata sekali pengaruh dari kemajuan teknologi yang jangkauannya sudah menyebar dan melewati batas-batas negara yang semakin mempersempit dunia. Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi, semakin mudah pula masyarakat untuk mengaksesnya. Misalnya, dapat diduga bahwa saat ini jumlah orang di Indonesia yang bisa akses ke siaran CNN atau FOX jauh lebih banyak dibandingkan pada akhir dekade 80-an. Jumlah orang yang bisa melihat siaran langsung perang Irak II pada pertengahan tahun 2003 diperkirakan jauh lebih banyak dibandingkan pada saat perang Irak I (Perang Teluk) pada awal tahun 1990-an. Contoh lainnya, menurut Giddens (2001), sebelum ada teknologi Internet, diperlukan waktu 40 tahun bagi radio di AS untuk mendapatkan 50 juta pendengar. Sedangkan dalam jumlah yang sama diraih oleh komputer pribadi (PC) dalam 15 tahun. Setelah ada teknologi Internet, hanya diperlukan waktu 4 tahun untuk menggaet 50 juta warga AS. 

Faktor pendorong kedua yang membuat semakin kencangnya arus globalisasi ekonomi adalah semakin terbukanya sistem perekonomian dari negara-negara di dunia baik dalam perdagangan, produksi maupun investasi/keuangan. Fukuyama (1999) menegaskan bahwa dewasa ini baik negara-negara maju maupun NSB cenderung mengadopsi prinsip-prinsip liberal dalam menata ekonomi dan politik domestik mereka. Seperti yang dapat dikutip dari Friedman (2002), Ide dibelakang globalisasi yang mengendalikannya adalah kapitalisme bebas – semakin Anda membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan semakin Anda membuka perekonomian Anda bagi perdagangan bebas dan kompetisi, perekonomian Anda akan semakin efisien dan berkembang pesat. Globalisasi berarti penyebaran kapitalisme pasar bebas ke setiap negara di dunia. Karenanya globalisasi juga memiliki aturan perekonomian tersendiri – peraturan yang bergulir seputar pembukaan, deregulasi, privatisasi perekonomian Anda, guna membuatnya lebih kompetitif dan atraktif bagi investasi luar negeri. (halaman 9). Menurut catatan dari Friedman (2002), pada tahun 1975, di puncak Perang Dingin, hanya 8% dari negara di seluruh dunia yang mempunyai rezim kapitalis pasar bebas. Sampai tahun 1997, jumlah negara dengan rezim perekonomian liberal menjadi 28%. 

Seperti telah dibahas sebelumnya, keterbukaan ekonomi dari negara-negara dapat dilihat dari sejumlah indikator, diantaranya peningkatan rasio perdagangan luar negeri terhadap PDB, rasio produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh perusahaan multinasional terhadap jumlah output domestik, dan rasio investasi asing atau arus modal dari luar terhadap pembentukan investasi atau modal total di dalam negeri. Atau, dilihat pada skala dunia adalah peningkatan rasio perdagangan dunia terhadap PDB dunia, rasio produksi dari perusahaan-perusahaan multinasional terhadap produksi dunia total, dan rasio arus modal antarnegara terhadap pembentukan modal dunia. 

Jadi, dapat dikatakan bahwa faktor pendorong kedua ini dipicu, kalau tidak bisa dikatakan dipaksa oleh penerapan liberalisasi perdagangan dunia dalam konteks WTO atau pada tingkat regional seperti AFTA, UE dan NAFTA. Dalam kata lain, liberalisasi perdagangan dunia mempercepat laju dari proses globalisasi ekonomi. Dapat diprediksi bahwa pada tahun 2020 nanti, tahun di mana semua negara di dunia sudah harus menerapkan kebijakan tarif impor dan subsidi ekspor nol, derajat dari globalisasi ekonomi akan jauh lebih tinggi daripada saat ini. 

Faktor pendorong ketiga adalah mengglobalnya pasar uang yang prosesnya berlangsung berbarengan dengan keterbukaan ekonomi dari negara-negara di dunia (penerapan sistem perdagangan bebas dunia). Sebenarnya faktor ketiga ini dengan faktor kedua di atas saling terkait, atau tepatnya saling mendorong satu sama lainnya: semakin mengglobal pasar finansial membuat semakin mudah dan semakin besar volume kegiatan ekonomi antarnegara; sebaliknya semakin liberal sistem perekonomian dunia semakin mempercepat proses globalisasi finansial karena semakin besar kebutuhan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan produksi dan investasi. 

Semakin tinggi derajat dari globalisasi pasar finansial tercerminkan oleh semakin besarnya sumber-sumber eksternal dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan ekonomi domestik di banyak negara, tidak hanya di kelompok negara-negara maju tetapi juga di NSB. Juga perkembangan pasar saham (modal) mencerminkan perubahan tersebut: semakin banyak saham-saham dari perusahaan-perusahaan asing yang tercatat di dalam pasar bursa di suatu negara. Selain itu, semakin mengglobalnya pasar finansial juga ditunjukkan oleh semakin meningkatnya volume perdagangan mata uang asing lintas negara; kalau dulu mata uang asing hanya dipakai sebagai alat pembayaran, sekarang ini menjadi suatu komoditi yang diperdagangkan. Menurut catatan dari Lairson dan Skidmore (2000) yang dikutip dari Halwani (2002), tingkat pertumbuhan dari perdagangan mata uang asing setiap hari jauh lebih tinggi daripada total ekspor dunia. Pada tahun 1986 rasionya adalah 25:1, maka pada tahun 1995 rasionya mencapai 81:1, sedangkan pada tahun 2000 rasionya telah mencapai 107:1. 

Semakin mengglobalnya pasar finansial dengan sendirinya menimbulkan persaingan yang ketat antarnegara dalam finansial atau investasi. Jadi dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini, setiap negara menghadapi persaingan ketat di dua medan, yakni perdagangan barang dan jasa dan investasi. Seperti yang dapat dikutip dari Tjager dan Pramadi (1997) dalam studi mereka mengenai perkembangan dan kesiapan pasar modal di Indonesia dalam menghadapi era globalisasi: Dalam gelombang era pasar bebas ditandai dengan kesepakatan GATT, dan deklarasi APEC serta kemajuan teknologi informasi, menjadikan dunia dengan ciri semakin terkikisnya hambatan-hambatan perdagangan, lalu lintas keuangan internasional, dan keluar masuknya arus modal dan investasi. Era globalisasi ini akan menimbulkan persaingan yang semakin ketat, sehingga hanya negara yang memiliki daya saing kuat saja yang akan mampu bertahan. Investasi dalam bentuk financial asset seperti saham, obligasi dan surat berharga lainnya tidak dapat diproteksi lagi, sehingga Indonesia harus dapat menciptakan iklim investasi yang efisien dan memberikan hasil yang lebih baik dan menarik dibandingkan dengan negara lainnya 

Seperti halnya faktor kedua di atas, faktor ketiga ini juga tidak lepas dari pengaruh teknologi. Adanya teknologi komputer, internet, email dan satelit yang terus berkembang dalam suatu kecepatan yang semakin tinggi membuat arus finansial antarnegara semakin lancar dan sistem finansial dunia semakin mengglobal. Seperti yang ditegaskan oleh Giddins (2001), dalam ekonomi elektronik global, para manajer keuangan dan ribuan investor individual dapat memindahkan modalnya miliaran juta dollar dari belahan dunia yang satu ke belahan dunia yang lain hanya dengan meng’klik’ sebuah mouse pada komputer. Mereka dapat menggoyang ekonomi suatu negara atau regional seperti yang terjadi di Asia (krisis 1997/98) atau bahkan pada tingkat global. 

Semakin mengglobalnya keuangan dunia berbarengan dengan semakin mengglobalnya perdagangan dunia membuat saling ketergantungan dalam sistem perekonomian dan keuangan antarnegara semakin kuat. Hal ini menyebabkan sistem ekonomi dan keuangan nasional semakin menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi dan keuangan global. Berbagai hambatan, seperti proteksionisme perdagangan, pembatasan investasi asing, dan kebijakan moneter yang mengekang arus modal/devisa jadi tidak relevan lagi. Namun, di sisi lain, semakin kuat ketergantungan ini juga memperbesar resiko terjadinya goncangan atau krisis ekonomi/keuangan bagi setiap negara, seperti dalam kasus krisis keuangan di Asia Tenggara pada tahun 1997/98. Banyak yang berpendapat bahwa ulah para manajer keuangan dan investor individual yang mengakibatkan krisis Asia tersebut. Karena sistem keuangan internasional sudah sedemikian terintegrasinya membuat pemilik-pemilik modal besar setiap saat bisa memindahkan modalnya dari satu negara ke negara lain, seperti yang dialami oleh Thailand pada tahun 1997, awal dari krisis Asia tersebut. Melihat perekonomian negara tersebut sudah mulai memanas, para menanam modal asing (investasi portofolio) segera menarik uang mereka keluar, dan hal ini juga memicuh pemodal-pemodal asing di Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Akibatnya, bath dan rupiah mengalami depresiasi yang sangat besar lebih dari 100% pada tahun 1998. Won, uang Korea Selatan juga mendapat serangan yang sama dari para spekulan global yang akhirnya membuat tiga negara tersebut mengalami suatu krisis ekonomi yang besar, dan disusul kemudian oleh Filipina. Ekonomi Singapura juga sempat terpukul walaupun tidak separah yang dialami oleh ke empat negara di atas, akibat merosotnya secara drastis kunjungan warga Indonesia ke Singapura baik untuk berlibur, berobat maupun maksud lain. 

Karena kegiatan ekonomi dan keuangan di dunia sudah sangat terintegrasi maka krisis di Asia Tenggara dan Timur itu dalam waktu singkat juga mempengaruhi ekonomi dari banyak negara di luar wilayah Asia tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam beberapa bulan setelah krisis tersebut meletus, dampaknya mulai muncul terhadap berbagai harga komoditas di seluruh dunia. Asia, khususnya negara-negara di bagian Tenggara dan Timur yang ekonominya sebelum krisis tumbuh sangat pesat, merupakan motor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi dunia. Negara-negara ini mengkonsumsi bahan mentah dalam jumlah yang sangat besar setiap tahunnya. Ketika motor tersebut mulai tersendat-sendat, harga emas, tembaga, aluminium dan yang paling penting minyak mentah mulai jatuh. Kejatuhan harga komoditas-komoditas ini di pasar dunia ternyata menjadi mekanisme untuk transmisi penyebaran krisis Asia tersebut ke Rusia, karena negara besar ini sangat tergantung pada ekspor minyak mentah, emas dan beberapa komoditas primer lainnya, yang sebagian besar masuk ke pasar di Asia. 

Akhirnya ekonomi Rusia runtuh dan memberi dampak negatif terhadap negara-negara lain seperti Brazil, yang mekanisme transmisi penyebarannya lewat sistem finansial dunia. Teori domino ini dijelaskan oleh Friedman (2002) sebagai berikut: …runtuhnya perekonomian Rusia seharusnya tidak memiliki banyak dampak pada sistem global. Perekonomian Rusia lebih kecil daripada Belanda. Akan tetapi sistem tersebut sekarang lebih global dari sebelumnya, dan seperti halnya minyak mentah yang merupakan mekanisme transmisi dari Asia Tenggara ke Rusiah, dana pencagar – cadangan investasi yang sangat besar dari modal swasta yang menjelajahi dunia untuk mencari tempat investasi terbaik – merupakan mekanisme penghubung dari Rusia kesemua pasar lainnya yang baru tumbuh di dunia. Khususnya di Brazil. Dana pencagar dan perusahaan perdagangan lainnya menumpuk kerugian besar di Rusia, beberapa dari mereka digandakan lima puluh kali lipat dengan menggunakan uang pinjaman, kini secara mendadak harus mengumpulkan uang tunai untuk membayar kembali para bankir mereka. Jadi mereka mulai menjual aset-aset yang bagus secara finansial untuk mengkompensasikan kerugian mereka di tempat yang buruk. Brazil misalnya, secara mendadak melihat semua saham dan obligasi dijual investor yang panik………..Mereka mencairkan saham dan obligasi mereka di Brazil, Korea, Mesir, Israel, dan Meksiko.

Faktor keempat adalah semakin besarnya keinginan orang untuk melakukan perjalanan antarnegara atau pindah dari satu negara ke negara lain, baik untuk tujuan bisnis maupun lainnya. Keinginan ini didorong oleh peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat dunia ditambah dengan peningkatan kepadatan penduduk di suatu wilayah/negara, dan kemajuan teknologi yang memungkinkan terjadinya mobilisasi orang antarnegara secara lebih cepat, aman dan lebih murah. 

Dampak dari Globalisasi Ekonomi 
- Jenis Dampak 
Dampak dari globalisasi ekonomi terhadap perekonomian suatu negara bisa positif atau negatif, tergantung pada kesiapan negara tersebut dalam menghadapi peluang-peluang maupun tantangan-tantangan yang muncul dari proses tersebut. Secara umum, ada empat (4) wilayah yang pasti akan terpengaruh, yakni : 
1. Ekspor. Dampak positifnya adalah ekspor atau pangsa pasar dunia dari suatu negara meningkat; sedangkan efek negatifnya adalah kebalikannya: suatu negara kehilangan pangsa pasar dunianya yang selanjutnya berdampak negatif terhadap volume produksi dalam negeri dan pertumbuhan PDB serta meningkatkan jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan. Dalam beberapa tahun belakangan ini ada kecenderungan bahwa peringkat Indonesia di pasar dunia untuk sejumlah produk tertentu yang selama ini diunggulkan Indonesia, baik barang-barang manufaktur seperti tekstil, pakaian jadi dan sepatu, maupun pertanian (termasuk perkebunan) seperti kopi, cokelat dan biji-bijian, terus menurun relatif dibandingkan misalnya Cina dan Vietnam. Ini tentu suatu pertanda buruk yang perlu segera ditanggapi serius oleh dunia usaha dan pemerintah Indonesia. Jika tidak, bukan suatu yang mustahil bahwa pada suatu saat di masa depan Indonesia akan tersepak dari pasar dunia untuk produk-produk tersebut. 

2. Impor. Dampak negatifnya adalah peningkatan impor yang apabila tidak dapat dibendung karena daya saing yang rendah dari produk-produk serupa buatan dalam negeri, maka tidak mustahil pada suatu saat pasar domestik sepenuhnya akan dikuasai oleh produk-produk dari luar negeri. Dalam beberapa tahun belakangan ini ekspansi dari produk-produk Cina ke pasar domestik Indonesia, mulai dari kunci inggris, jam tangan tiruan hingga sepeda motor, semakin besar. Ekspansi dari barang-barang Cina tersebut tidak hanya ke pertokoan-pertokoan moderen tetapi juga sudah masuk ke pasar-pasar rakyat dipingir jalan. 

3. Investasi. Liberalisasi pasar uang dunia yang membuat bebasnya arus modal antarnegara juga sangat berpengaruh terhadap arus investasi neto ke Indonesia. Jika daya saing investasi Indonesia rendah, dalam arti iklim berinvestasi di dalam negeri tidak kondusif dibandingkan di negara-negara lain, maka bukan saja arus modal ke dalam negeri akan berkurang tetapi juga modal investasi domestik akan lari dari Indonesia yang pada aknirnya membuat saldo neraca modal di dalam neraca pembayaran Indonesia negatif. Pada gilirannya, kurangnya investasi juga berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan produksi dalam negeri dan ekspor. Seperti telah di bahas sebelumnya, sejak krisis ekonomi 1997/98, arus PMA ke Indonesia relatif berkurang dibandingkan ke negara-negara tetangga; bahkan di dalam kelompok ASEAN, Indonesia menjadi negara yang paling tidak menarik untuk PMA karena berbagai hal, mulai dari kondisi perburuan yang tidak lagi menarik investor asing, masalah keamanan dan kepastian hukum, hingga kurangnya insentif, terutama insentif fiskal bagi investasi-investasi baru. Sebaliknya, Vietnam, sebagai suatu contoh, menjadi sangat menarik bagi investor asing karena tidak hanya tenaga kerjanya sangat disiplin dan murah, juga pemerintah Vietnam memberikan tax holiday bagi investasi-investasi baru. 

4. Tenaga kerja. Dampak negatifnya adalah membanjirnya tenaga ahli dari luar di Indonesia, dan kalau kualitas SDM Indonesia tidak segera ditingkatkan untuk dapat menyaingi kualitas SDM dari negara-negara lain, tidak mustahil pada suatu ketika pasar tenaga kerja atau peluang kesempatan kerja di dalam negeri sepenuhnya dikuasai oleh orang asing. Sementara itu, tenaga kerja Indonesia (TKI) semakin kalah bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara lain di luar negeri. Juga tidak mustahil pada suatu ketika TKI tidak lagi diterima di Malaysia, Singapura atau Taiwan dan digantikan oleh tenaga kerja dari negara-negara lain seperti Filipina, India dan Vietnam yang memiliki keahlian lebih tinggi dan tingkat kedisiplinan serta etos kerja yang lebih baik dibandingkan TKI. 

Keempat jenis dampak tersebut secara bersamaan akan menciptakan suatu efek yang sangat besar dari globalisasi ekonomi dunia terhadap perekonomian dan kehidupan sosial di setiap negara yang ikut berpartisipasi di dalam prosesnya, termasuk Indonesia. Lebih banyak pihak yang berpendapat bahwa globalisasi ekonomi akan lebih merugikan daripada menguntungkan NSB. Seperti misalnya pendapat yang pesimis mengenai globalisasi dari Khor (2002) sebagai berikut: Globalisasi adalah suatu proses yang sangat tidak adil dengan distribusi keuntungan maupun kerugian yang juga tidak adil. Ketidakseimbangan ini tentu saja akan menyebabkan pengkutuban antara segelintir negara dan kelompok yang memperoleh keuntungan, dan negara-negara maupun kelompok yang kalah atau termajinalisasi. Dengan demikian, globalisasi, pengkutuban, pemusatan kesejahteraan dan marjinalisasi merupakan rentetan peristiwa menjadi saling terkait melalui proses yang sama. Dalam proses ini, sumber-sumber investasi, pertumbuhan dan teknologi moderen terpusat pada sebagian kecil (terutama negara-negara Amerika Utara, Eropa, Jepang dan negara-negara industri baru (NICs) di Asia Timur). Majoritas NSB tidak tercakup dalam proses globalisasi atau ikut berpartisipasi namun dalam porsi yang sangat kecil dan acapkali berlawanan dengan kepentingannya, misalnya liberalisasi impor dapat menjadi ancaman bagi produsen-produsen domestik mereka dan liberalisasi moneter dapat menyebabkan instabilitas moneter dalam negeri (hal.18). Masih menurut Khor, Manfaat dan biaya liberalisasi perdagangan bagi NSB menimbulkan persoalan yang kian kontroversial. Pandangan kontroversial bahwa liberalisasi perdagangan merupakan sesuatu yang penting dan secara otomatif atau pada umumnya memiliki dampak-dampak positif bagi pembangunan dipertanyakan kembali secara empiris maupun analitis. Kini saatnya meneliti sejarahnya dan merumuskan berbagai pendekatan yang tepat bagi kebijakan perdagangan di NSB. 

Dengan demikian, Khor (2002) berpendapat bahwa globalisasi ekonomi mempengaruhi berbagai kelompok negara secara berbeda. Secara umum, menurutnya, dampak dari proses ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga grup negara. Grup pertama adalah sejumlah kecil negara yang mempelopori atau yang terlibat secara penuh dalam proses ini mengalami pertumbuhan dan perluasan kegiatan ekonomi yang pesat, yang pada umumnya adalah negara-negara maju. Grup kedua adalah negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sedang dan fluktuatif, yakni negara-negara yang berusaha menyesuaikan diri dengan kerangka globalisasi ekonomi atau liberalisasi perdagangan dan investasi. Misalnya negara-negara dari kelompok NSB yang tingkat pembangunan/kemajuan industrinnya sudah mendekati tingkat dari negara-negara industri maju, seperti NICs. Grup ketiga adalah negara-negara yang termarjinalisasikan atau yang sangat dirugikan karena ketidakmampuan mengatasi tantangan-tantangan yang muncul dari proses tersebut dan persoalan-persoalan pelik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan globalisasi ekonomi seperti harga-harga komoditas primer yang rendah dan fluktuatif serta hutang luar negeri. Grup ini didominasi oleh NSB terutama di Afrika, Asia Selatan (terkecuali India) dan beberapa negara di Amerika Latin (tidak termasuk negara-negara yang cukup berhasil seperti Brazil, Argentina, Chile dan Meksiko).

- Perkiraan dampak terhadap Indonesia: Beberapa hasil simulasi 
Sudah banyak laporan mengenai ketidakmerataan pendapatan antarnegara yang dikaitkan dengan proses globalisasi ekonomi. Diantaranya adalah laporan pembangunan dan perdagangan dari UNCTAD tahun 1997. Di dalam laporan tersebut ditunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan antara NSB, khususnya dari kategori least developed countries, yang sering disebut negara-negara Selatan dengan negara-negara maju, atau negara-negara Utara (terutama negara-negara industri yang tergabung dalam kelompok G-7, yakni AS, Kanada, Australia, Perancis, Jerman, Inggris, dan Jepang) meningkat secara signifikan sejak awal tahun 1980-an. Pada tahun 1965 rata-rata pendapatan per kapita dari negara-negara G-7 tersebut mencapai 20 kali lebih tinggi dari tujuh (7) negara termiskin di dunia; dan pada pertengahan dekade 90-an perbandingannya meningkat menjadi 39 kalinya. Menurut laporan tersebut, ketimpangan itu berakar pada seperangkat kekuatan yang ditimbulkan oleh pesatnya liberalisasi perdagangan dunia yang akhirnya mengarah pada semakin besarnya ketimpangan pendapatan karena hanya negara-negara yang lebih kuat atau lebih siap yang menikmati keuntungan dari era tersebut, sedangkan NSB yang pada umumnya masih sangat lemah dalam segala bidang terutama pendidikan dan teknologi adalah pihak yang dirugikan. 

Di dalam laporan UNCTAD tahun 1999 dikatakan bahwa liberalisasi perdagangan dunia menyebabkan peningkatan yang tajam dalam impor NSB yang tidak diimbangi oleh peningkatan ekspor mereka dalam laju yang sama. Struktur dari pertumbuhan perdagangan luar negeri ini tidak saja membuat banyak NSB mengalami defisit yang besar dari saldo transaksi berjalan mereka, tetapi juga membuat tingkat ketergantungan NSB terhadap impor dari negara-negara Utara semakin tinggi. Terkecuali beberapa negara seperti Cina, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura yang pertumbuhan ekspornya rata-rata per tahun tinggi.

Gambaran yang sama juga dijumpai oleh Nayyar (1997) dari penelitiannya mengenai fenomena pembangunan yang tidak adil antara NSB dan negara-negara maju yang disebabkan oleh globalisasi ekonomi dunia. Menurut hasil studinya, keuntungan-keuntungan dari liberalisasi perdagangan menumpuk hanya di sebagian kecil NSB, yakni dari kategori developing countries.. Hanya terdapat sebelas (11) NSB yang menjadi bagian integral dari globalisasi ekonomi di akhir abad ke-20. Negara-negara tersebut mencakup sekitar 60% dari total ekspor NSB di awal 1990-an, yang meningkat sekitar 100% dari 30% selama 1970-an; dan sekitar 66% dari PMA yang mengalir ke NSB pada tahun 1981-1991. 

Menurutnya, kelemahan dari NSB berakar dari sejumlah faktor. Posisi NSB secara ekonomi lemah untuk memulai integrasi dengan pasar dunia karena rendahnya kapasitas ekonomi dalam negeri dan infrastruktur sosial yang belum berkembang baik sebagai warisan masa penjajahan. Negara-negara tersebut yang sangat tergantung pada ekspor komoditi-komoditi primer semakin diperlemah oleh harga dunia dari komoditi-komoditi tersebut yang rendah dan berfluktuatif serta dasar tukar perdagangan (ToT) dari ekspor mereka yang terus menurun yang membuat negara-negara tersebut kekurangan devisa yang berbuntut pada krisis utang luar negeri (Bora dkk, 2002). 

Selain itu, Nayyar (1997) berpendapat bahwa kelemahan NSB juga dikarenakan lemahnya daya tawar dan kemampuan negosiasi mereka dalam hubungan internasional. Dengan jumlah utang luar negeri yang besar, dan tingginya ketergantungan mereka pada bantuan donor bilateral dan organisasi-organisasi dunia pemberi pinjaman multilateral seperti Bank Dunia dan IMF, ditambah lagi dengan ketergantungan impor yang juga tinggi, NSB kehilangan kemampuan untuk bernegosiasi. Akhirnya, NSB hanya bisa menerima apa saja yang dituntut oleh negara-negara maju yang berkaitan dengan tata cara perdagangan internasiona seperti penghapusan tarif impor dan subsidi ekspor terhadap komoditi-komoditi pertanian, yang bagi sebagian NSB masih merupakan komoditi-komoditi ‘sensitif’.

Sudah cukup banyak penelitian empiris dengan pendekatan simulasi mengenai dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap negara-negara yang terlibat, misalnya terhadap perubahan output (PDB) dan ekspor. Diantaranya yang menarik untuk dibahas di sini secara garis besar adalah dari Satriawan (1997), Ingco (1997), UNCTAD (1999), Scollay dan Gilbert (1999a,b, 2000, 2001), Gilbert dkk (1999), Feridhanusetyawan (1997), Feridhanusetyawan dkk. (2002), dan Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003). 14Secara umum, kesimpulan dari hasil-hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia adalah bagian dari kelompok negara yang tidak terlalu diuntungkan dengan perdagangan bebas atau globalisasi ekonomi.Tentu semua hasil simulasi tersebut hanya merupakan perkiraan-perkiraan yang didasarkan pada kondisi sebenarnya pada tahun tertentu sebagai tahun dasar dan di run melalui suatu model ekonomi global (CGE). Hasil-hasil tersebut bisa berbeda tetapi juga bisa sama seperti yang akan terjadi dalam kenyataan, tergantung pada apakah asumsi-asumsi yang digunakan di dalam analisa-analisa tersebut memang sesuai dengan realitas, misalnya mengenai nilai-nilai dari elastisitas tarif dari impor dan koefisien output agregat-impor, khususnya untuk periode jangka panjang, di mana banyak faktor-faktor yang sangat berpengaruh yang berubah terus sepanjang waktu seperti teknologi, cuaca, dan selera masyarakat 

Meskipun demikian, hasil dari suatu simulasi bisa memberikan suatu perkiraan yang mungkin sekali bisa menjadi suatu kenyataan mengenai pengaruh dari liberalisasi perdagangan dunia terhadap ekspor dan produksi dalam negeri suatu negara. Misalnya, hasil-hasil simulasi dari studi-studi di atas tersebut yang menunjukkan bahwa Indonesia tidak termasuk kelompok negara yang sangat diuntungkan oleh liberalisasi perdagangan memberi suatu kesan bahwa daya saing global Indonesia tergolong rendah.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson