Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Bank Muamalat Indonesia

Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Bank Muamalat Indonesia 
Perbankan syariah adalah salah satu representasi aplikasi dari ekonomi Islam yang melarang penggunaan sistem bunga dalam perekonomian khususnya perbankan, karena sistem tersebut dianggap riba yang dilarang oleh agama. Bahkan pelarangan riba ini tidak hanya dari agama Islam saja tetapi juga dari agama-agama lainnya. Hal ini disebabkan karena penerapan sistem ribawi akan membawa kerusakan moral di masyarakat. Perkembangan perbankan syariah terhadap perbankan nasional di Indonesia sampai dengan Desember 2006 menunjukkan pertumbuhan yang positif. Jumlah aset di perbankan syariah secara nominal menunjukkan kenaikan. Sampai saat ini (Desember, 2006) aset yang dimiliki sebesar Rp. 26,68 triliun atau 1,58% dari total aset perbankan nasional. Memang apabila dibandingkan dengan total aset perbankan nasional, aset perbankan syariah masih sangat kecil. Tetapi dengan pertumbuhan aset yang positif ini mengindikasikan perbankan syariah dapat mengelola manajemen likuiditasnya sehingga jumlah asetnya terus bertambah. Begitu pula dana pihak ketiga (DPK) yang terkumpul sebanyak Rp. 20,67 triliun, atau 1,61% dari total dana pihak ketiga perbankan nasional. Dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang positif ini mengindikasikan bahwa perbankan syariah dapat memaksimalkan produk yang ditawarkan, berarti masyarakat mulai melihat keuntungan dari produk yang ditawarkan. Selain dari produk yang ditawarkan kenaikan DPK sampai saat ini dikarenakan juga oleh fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional (DNS) mengenai haramnya bunga bank. Dan jumlah pembiayaan perbankan syariah mencapai 20,44 triliun atau 2,58% dari total pembiayaan/kredit yang disalurkan perbankan nasional. Dengan pertumbuhan pembiayaan yang positif mengindikasikan perbankan syariah dapat melakukan fungsi sebagai lembaga intermediasi dengan baik.

Dengan makin maraknya perkembangan perbankan syariah sangat dirasakan adanya persaingan yang semakin tajam dalam dunia perbankan di Indonesia. Bank Umum Syariah di Indonesia dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992, kemudian diikuti oleh berdirinya beberapa bank umum syariah lain dan unit-unit usaha syariah (hingga Desember 2006, terdapat 3 bank umum syariah, 20 Unit Usaha Syariah, dan 105 Bank Perkreditan Syariah). Posisi BMI dibanding dengan bank syariah lainnya adalah sebagai leader bila ditinjau dari tahun berdiri, dan image yang telah tertanam di benak masyarakat tentang bank syariah di Indonesia. Munculnya Bank Syariah Mandiri (BSM) pada tahun 1999 merupakan sinyal bahwa BMI mulai memasuki era persaingan perbankan dengan sistem bagi hasil. Hal tersebut jika tidak diantisipasi dapat mengancam kinerja BMI. Keberadaan bank syariah di Indonesia telah diakui secara formal dengan diberlakukannya Undang-undang No. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perbankan. Menurut Undang-undang tersebut, terdapat dua jenis bank syariah di Indonesia yaitu Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Sementara itu dalam Undang-undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia memiliki peran yang sangat strategis yaitu sebagai pengatur sekaligus pengawas bank, guna mendorong praktek perbankan yang sehat dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Ketiga Undang-undang tersebut juga memperkenalkan konversi cabang bank umum konvensional untuk membuka cabang/unit usaha syariah. 

Penelitian ini bertujuan mengukur kinerja suatu bank. Sebagai pelaksanaan salah satu fungsi pengawasan, Bank Indonesia telah menerapkan standar tingkat kesehatan yang berdasarkan pada lima komponen utama yaitu permodalan (Capital), kualitas aset (Asset Quality), kualitas manajemen (Management), profitabilitas (Earning), dan tingkat likuiditas (Liquidity) atau lebih dikenal dengan istilah CAMEL. Metode ini merupakan sistem peringatan dini yang dapat menggambarkan risiko operasional untuk menjamin kesinambungan perbankan yang berhati-hati, serta konsep pelaporan yang transparan. 

Di Indonesia terdapat dua sistem perbankan, pertama bank yang beroperasi secara penuh syariah, ataupun yang masih merupakan unit dari suatu korporat. Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Syariah Mega Indonesia merupakan bank yang beroperasi secara penuh syariah, sedangkan bank-bank seperti BNI, BII, BRI, Bank Bukopin, Bank Danamon, dsb merupakan unit yang beroperasi secara syariah dari induknya (korporat). Dengan perkembangan perbankan syariah yang cepat ini, maka diperlukan pengukuran kinerja agar dapat bersaing secara sehat. Bank Muamalat Indonesia merupakan salah satu bank umum syariah yang pertama di Indonesia harus dapat mempertahankan kinerjanya yang baik seperti saat berdiri sendiri tanpa adanya pesaing. Melihat dari perkembangannya inilah penting untuk mengetahui perbandingan kinerja Bank Muamalat Indonesia sebelum dan sesudah memiliki pesaing.

A. Bank Syariah
Berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.10 Tahun 1998, jenis bank di Indonesia terdiri dari dua kelompok yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam menjalankan kegiatan usahanya bank umum dapat memilih satu dari tiga pilihan yaitu seluruhnya beroperasi secara konvensional, seluruhnya beroperasi secara syariah, atau melakukan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah (dual system bank). 

Perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional terutama pada produk dan jasa perbankan yang ditawarkan. Bank syariah memiliki karakteristik antara lain tidak menggunakan instrumen bunga, menggunakan metode bagi hasil dan jual beli, hanya memberikan pembiayaan pada kegiatan usaha yang halal, dan bank syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS). Sejak tahun 1990 (Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan MUI 19-21 Agustus 1990) MUI sudah memilih bahwa bunga bank itu memang haram. Karena itu MUI mengeluarkan bank tanpa bunga (Bank Muamalat Indonesia, didirikan tahun 1992). Perbedaan yang muncul sampai saat ini adalah apakah keharamannya mutlak atau tidak. Ada yang mengharamkannya mutlak, tetapi pendapat yang berkembang di MUI memilih bahwa keharamannya tidak mutlak, yaitu masih membolehkan bunga bank karena darurat (keterpaksaan). Ini dikarenakan bank syariah belum dapat membuka layanan di seluruh daerah di Indonesia. 

B. Karakteristik Bank Syariah
Prinsip syariah Islam dalam pengelolaan harta menekankan pada keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan lembaga perantara yang menyambungkan masyarakat (pemilik dana) dan pengusaha yang memerlukan dana (pengelola dana). Salah satu bentuk lembaga perantara tersebut adalah bank yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Bank syariah adalah bank yang berasaskan antara lain, pada asas kemitraan, keadilan, transparansi, dan bersifat universal, serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah. Bank syariah beroperasi atas dasar konsep bagi hasil. Bank syariah tidak membedakan antara sektor moneter dan sektor rill sehingga dalam kegiatan usahanya dapat melakukan transaksi-transaksi sektor rill, seperti jual beli dan sewa-menyewa. Bank syariah juga dapat memperoleh imbalan atas jasa perbankan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan adanya pelarangan bunga pada transaksi perbankan, maka bank syariah dalam menjalankan kegiatan operasionalnya menggunakan sistem bagi hasil yang bebas dari sistem bunga.

Dalam menjalankan transaksinya bank syariah memiliki prinsip-prinsip umum yang harus diikuti, yaitu: pertama, larangan riba dalam bentuk transaksinya. Kedua, melakukan kegiatan usaha dan perdagangan berdasarkan perolehan keuntungan yang sah. Ketiga, memberikan zakat. Bank syariah memiliki fungsi dan peran sebagai manager investasi yang mengelola investasi atas dana nasabah, investor yang menanamkan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan, penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, dan pelaksana kegiatan sosial yang merupakan ciri melekat pada entitas keuangan Islam (zakat, infak, qardhul hasan). Hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya, baik sebagai investor maupun pelaksana dari investasi, merupakan hubungan kemitraan.

C. Kinerja Bank
Penilaian prestasi dan kondisi keuangan pada suatu perusahaan membutuhkan ukuran-ukuran tertentu, yang biasanya digunakan analisis rasio untuk menunjukkan antara dua data keuangan. Penggunaan rasio keuangan merupakan cara yang paling umum dan mudah, sehingga banyak digunakan dalam pengukuran kinerja suatu bank. Begitu pula halnya bank syariah di Indonesia, hingga saat ini analisis rasio keuangan bank syariah masih menggunakan aturan yang berlaku di bank konvensional.

Kinerja menunjukkan sesuatu yang berhubungan dengan kekuatan dan kelemahan perusahaan. Kekuatan tersebut dipahami agar dapat dimanfaatkan dan kelemahan pun harus diketahui agar dapat dilakukan langkah-langkah perbaikan. Dengan mengadakan perbandingan kinerja perusahaan terhadap standar yang ditetapkan atau dengan periode-periode sebelumnya maka akan dapat diketahui apakah suatu perusahaan mencapai kemajuan atau sebaliknya, yaitu mengalami kemunduran.

Menurut Samad dan Hassan (2000), dan Muhammad (2005) ada dua metode untuk membandingkan kinerja suatu bank yaitu : 

Inter-temporal perfomance analysis (Perbandingan Internal) 
Metode ini digunakan untuk membandingkan rasio periode sekarang dengan periode lalu dan yang akan datang untuk perusahaan yang sama. Periode dibagi menjadi dua, misalnya periode awal dan periode akhir. Masing-masing variabel dari kedua periode tersebut dibandingkan menggunakan uji statistik, misalnya t-test atau alat uji statistik lainnya. 

Inter-bank perfomance analysis (Perbandingan Eksternal) 
Metode ini digunakan untuk membandingkan rasio perusahaan dengan perusahaan lain yang sejenis dengan rata-rata industri pada suatu variabel yang sama. Masing-masing variabel dari kedua kelompok bank tersebut dibandingkan menggunakan alat uji statistik, misalnya normalitas data, homogenitas data, independent t-test, atau lainnya. Berdasarkan dua metode tersebut, pada penelitian ini peneliti menggunakan metode Inter-temporal perfomance analysis, untuk membandingkan kinerja BMI dengan menggunakan metode CAMEL pada pada periode sebelum dan sesudah ada pesaing.

C. Metode CAMEL
Kesehatan atau kondisi keuangan dan non keuangan bank berdasarkan prinsip syariah merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik manajemen bank, masyarakat pengguna jasa bank. Dalam melakukan penilaian terhadap kinerja bank, metode CAMEL adalah metode standar yang digunakan oleh bank sentral hampir di seluruh dunia. Bank sentral mempunyai kewajiban dan wewenang untuk menjaga dan mengendalikan bank-bank yang ada didalam industri perbankannya. Untuk melakukan kontrol terhadap kinerja maka bank sentral mewajibkan bank-bank untuk mengirimkan laporan keuangan secara berkala baik berupa laporan mingguan, triwulan, semester, maupun laporan tahunan. Ukuran untuk penilaian kesehatan bank syariah telah ditentukan oleh Bank Indonesia. Diantaranya terdapat pada Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia (2002:10). Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang tentang perbankan dan peraturan yang terdapat pada Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor : 9/1/PBI/2007 yang mengatur tentang sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum berdasarkan prinsip syariah. 

Dapat disimpulkan bahwa metode penilaian tingkat kesehatan bank menurut standar Bank Indonesia menggunakan lima aspek, yaitu : Capital, Assets Quality, Management, Earnings, dan Liquidity atau lebih dikenal dengan istilah CAMEL. Oleh karena hal tersebut, dalam penelitian ini peneliti menggunakan rasio keuangan dengan metode CAMEL sesuai dengan peraturan Bank Indonesia. Karena variabel aspek manajemen sulit dilakukan pengukurannya secara langsung, maka pengukuran untuk variabel tersebut dilakukan menggunakan proksi. Pada penelitian ini menggunakan data laporan keuangan bank yang dipublikasikan. Telah diketahui bahwa laporan keuangan bank tidak memberikan data yang lengkap sehingga penelitian ini tidak menggunakan analisis manajemen, dan hanya mencakup 5 variabel yaitu CAR, NPF, ROA, ROE, dan FDR. Berikut ini penjelasan dari masing-masing variabel : 

a. Rasio Modal (Capital)
Modal merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan dan kemajuan bank serta upaya untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat. Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter menetapkan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum yang harus selalu dipertahankan setiap bank. Ketentuan pemenuhan permodalan minimum bank disebut juga Capital Adequacy Ratio (CAR), ketentuan CAR adalah 8%. Kecuali pada saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998, ketentuan CAR diturunkan menjadi 4%. Penurunan nilai CAR tersebut dimaksudkan untuk membantu kinerja tingkat kesehatan bank. Angka ini merupakan penyesuaian dari ketentuan yang berlaku secara internasional berdasarkan standar Bank for International Settlement (BIS), agar perbankan Indonesia dapat berkembang secara sehat dan memiliki kemampuan bersaing dengan bank-bank internasional. 

b. Rasio Kualitas Aktiva Produktif (Assets Quality)
Pada aspek kualitas aktiva produktif ini merupakan penilaian jenis-jenis aktiva yang dimiliki oleh bank, yaitu dengan cara membandingkan antara aktiva produktif yang diklasifikasikan dengan aktiva produktif. Aktiva produktif dinilai kualitasnya meliputi penanaman dana baik dalam rupiah maupun valuta asing, dalam bentuk kredit/pembiayaan dan surat berharga. Aktiva produktif lainnya, seperti penanaman dana dalam bentuk penyertaan dan penempatan dana pada bank lain tidak dilakukan penilaian kualitasnya oleh Bank Indonesia. Pengertian kualitas dimaksudkan sebagai keadaan pembayaran pokok/ angsuran dan margin pembiayaan oleh nasabah serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali yang ditanamkan dalam surat-surat berharga.

Kelangsungan kegiatan operasi bank sangat dipengaruhi pada kesiapan bank menanggung kemungkinan timbulnya risiko kerugian dalam kegiatan menanamkan dana ke dalam berbagai alternatif investasi khususnya dalam aktiva produktif. Untuk mengantisipasi terjadinya risiko kerugian, bank perlu membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP).Apabila ternyata jumlah PPAP lebih kecil dari yang seharusnya dibentuk, maka jumlah kekurangan tersebut diperhitungkan sebagai pengurang modal inti dalam perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum bank. Besarnya nilai kualitas aktiva produktif, dapat menggunakan.

c. Rasio Manajemen (Management)
Unsur-unsur penilaian dalam kualitas manajemen adalah manejemen permodalan, manajemen aktiva, manajemen umum, manajemen rentabilitas dan manajemen likuiditas, yang didasarkan atas jawaban dari 100 pertanyaan yang diajukan. Penilaian terhadap faktor-faktor manajemen, meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
a. Kualitas manajemen umum, penerapan manajemen risiko terutama pemahaman manajemen atas risiko Bank Umum atau UUS.
b. Kepatuhan Bank Umum atau UUS terhadap ketentuan yang berlaku, komitmen kepada Bank Indonesia maupun pihak lain, dan kepatuhan terhadap prinsip syariah termasuk edukasi pada masyarakat, pelaksana fungsi sosial.

Untuk menilai kesehatan bank dalam aspek manajemen ini, biasanya dilakukan melalui kuesioner yang ditujukan bagi pihak manajemen bank. Akan tetapi pengukuran tersebut sulit dilakukan karena akan terkait dengan unsur kerahasiaan bank, maka dalam penelitian ini aspek manejemen tidak penulis masukkan. Dalam hal ini diasumsikan manajemen kedua bank adalah baik.

d. Rasio Rentabilitas (Earning)
Aspek rentabilitas ini yang dilihat adalah kemampuan bank dalam meningkatkan laba dan efisiensi usaha yang dicapai. Penilaian terhadap faktor rentabilitas meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
a. Kemampuan dalam menghasilkan laba, kemampuan laba mendukung ekspansi dan menutupi risiko, serta tingkat efisiensi.
b. Diversifikasi pendapatan termasuk kemampuan bank untuk mendapatkan fee based income, dan diversifikasi penanaman dana, serta penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya.

Metode penilaiannya dapat dilakukan dengan :
1. Return on Assets (ROA)
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan posisi bank dari segi penggunaan asset juga semakin baik. 

2. Return on Equity (ROE)
Rasio ini digunakan untuk mengukur untuk mengukur kinerja manajemen bank dalam mengelola modal yang tersedia untuk menghasilkan laba setelah pajak. Semakin besar ROE, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. 

e. Rasio Likuiditas (Liquidity)
Pada aspek likuiditas ini penilaian didasarkan atas kemampuan bank dalam membayar semua hutang-hutangnya terutama simpanan tabungan, giro dan deposito pada saat ditagih dan dapat memenuhi semua permohonan kredit yang layak untuk disetujui. Suatu bank dikatakan likuid apabila bank tersebut dapat memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendaknya dan dapat membayar kembali semua deposannya serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan tanpa terjadi panangguhan. Oleh karena itu, bank harus memperhatikan seakurat mungkin kebutuhan likuiditas untuk suatu jangka waktu tertentu. Perkiraan kebutuhan likuiditas tersebut sangat dipengaruhi oleh perilaku penarikan nasabah, sifat dan jenis sumber dana yang dikelola bank. Rasio yang sering digunakan untuk menilai tingkat likuiditas adalah Financing to Deposit Ratio (FDR). Rasio ini memberikan gambaran mengenai jumlah dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit/pembiayaan. Rasio yang tinggi memberikan gambaran kurang baiknya posisi likuiditas bank. 

ANALISIS DESKRIPTIF
Untuk menguji apakah benar kinerja keuangan Bank Muamalat Indonesia (BMI) mengalami perubahan/tidak, sesudah memiliki pesaing, jika dibandingkan dengan kinerja sebelum adanya pesaing. Maka salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan melakukan perbandingan kinerja secara langsung serta deskriptif. Dengan menggunakan rata-rata kinerja selama dua periode, yaitu sebelum ada pesaing (tahun 1992 - 1998) dengan sesudah adanya pesaing (tahun 1999 - 2006).

1. Capital (Permodalan)
Faktor permodalan dihitung melalui rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) atau yang lebih dikenal dengan perhitungan Capital Adequacy Ratio (CAR). 

Sumber : Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia 1992-2006 (data diolah)

Penilaian terhadap kondisi faktor permodalan bertujuan untuk mengetahui kemampuan permodalan BMI dalam menutup risiko kerugian yang mungkin timbul dari penanaman modal dalam aktiva produktif yang mengandung risiko. Ketentuan CAR adalah 8%, akan tetapi pada saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998 diturunkan menjadi 4%. Penurunan nilai CAR tersebut dimaksudkan untuk membantu kinerja tingkat kesehatan bank .

Pada gambar terlihat bahwa BMI sesudah ada pesaing mempunyai rata-rata (mean) rasio CAR sebesar 12,39%, lebih kecil jika dibandingkan mean sebelum ada pesaing, yaitu 48,83%. Hal ini menunjukkan selama tahun 1992 –1998 CAR BMI mempunyai nilai yang relatif lebih baik dibandingkan dengan tahun 1999 – 2006. Namun demikian jika mengacu pada ketentuan Bank Indonesia (BI) No. 7/13/PBI/2005 tanggal 10 Juni 2006 tentang “kewajiban penyediaan Modal Minimum Bank Umum berdasarkan prinsip syariah” dinyatakan bahwa Bank Umum Syariah wajib memenuhi CAR minimum sebasar 8%, semakin besar semakin baik kinerja suatu bank, maka CAR BMI selama tahun 1992 – 2006 dalam kategori bank yang berkinerja baik / sehat karena nilainya selalu diatas ketentuan BI. Apabila ketentuan batas rasio kecukupan modal yang ditetapkan BI tidak dapat dipenuhi. Maka Bank tidak dapat meningkatkan penyaluran pembiayaan yang mengakibatkan pendapatan tidak dapat meningkat.

Kondisi CAR pada masa sebelum adanya pesaing dilihat dari segi rata-rata lebih baik, tapi jika diperhatikan kondisinya tidak stabil. Pada akhir tahun 1992, Rasio antara modal dengan aktiva beresiko atau CAR telah mencapai 143% jauh lebih tinggi di atas ketentuan Bank Indonesia. Tingginya nilai CAR tersebut disebabkan oleh dukungan modal yang sangat tinggi dari masyarakat, namun dana tersebut belum dapat disalurkan melalui pembiayaan. Karena BMI belum cukup berani mengambil risiko, mengingat tahun 1992 merupakan tahun awal berdiri BMI. Pada tahun ke-3 tingkat CAR baru mulai mengalami kestabilan. Hal ini menunjukkan BMI telah mampu manyalurkan dananya malalui pembiayaan, terlihat di tahun berikutnya kondisi CAR semakin menurun dikarenakan semakin tingginya tingkat aktiva beresiko (ATMR). Pada tahun 1998, CAR BMI mengalami penurunan 1.63 kali dibandingkan tahun 1997 yaitu 17,79% . Rasio Kewajiban Modal Minimum Bank (CAR) pada tahun 1998 adalah 6,67%, penurunan rasio ini diakibatkan oleh pembentukan PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif) yang cukup besar pada akhir tahun 1998. Namun, angka ini pun masih berada jauh di atas persyaratan minimal, yang pada tahun tersebut terjadi krisis moneter sehingga ketentuan CAR diubah bank sentral dari 8% menjadi hanya 4%. Pemerintah dan bank sentral saat itu meluncurkan program rekapitulisasi perbankan nasional. Namun BMI tidak mendapat program rekapitulisasi (suntikan modal pemerintah), karena dianggap cukup sehat. Bahkan CAR BMI melonjak lagi menjadi 15,29% di tahun 1999.

Walaupun kondisi CAR pada masa sesudah adanya pesaing dilihat dari segi rata-rata jauh lebih kecil dibandingkan sebelum adanya pesaing, akan tetapi pada periode tersebut CAR yang dimiliki lebih stabil. Oleh karena itu dapat dilihat pada tahun 1999 hingga 2006 CAR BMI berjalan normal selalu berada di atas ketentuan BI. Hal ini berarti keberadaan bank syariah baru lainnya (pesaing) tidak terlalu mempengaruhi tingkat permodalan BMI. Oleh karena itu pihak manajemen tetap harus manjalankan prinsip kehati-hatian dalam setiap keputusan yang dibuat pada setiap faktor yang mempengaruhi CAR. Dalam penilaian tingkat kesehatan bank, faktor permodalan/CAR adalah faktor yang paling penting dan menentukan, karena CAR memiliki bobot penilaian paling tinggi dari beberapa rasio penilaian yang ada. Hal ini berarti keberadaan bank syariah baru lainnya (pesaing) tidak terlalu mempengaruhi tingkat permodalan BMI. 

2. Assets (Kualitas Aktiva Produktif)
Aktiva produktif adalah aset yang membutuhkan pengelolaan yang cermat. Kualitas aktiva produktif mencerminkan kemampuan bank dalam mengelola aktiva yang dimilikinya. Mengelola aktiva haruslah berhati-hati karena sangat berhubungan dengan pendapatan yang akan diterima oleh bank. 

Sumber : Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia 1992-2006 (data diolah)

Apabila kualitas aktiva produktif yang dimiliki banyak mengandung risiko, maka hal tersebut akan mengancam pendapatan dan laba yang akan diterima oleh bank. Pemberian pembiayaan oleh BMI dilandasi dengan prinsip kehati-hatian, mengikuti ketentuan BI, sesuai kaidah fikih darul mafasid muqaddam’ ala jabbal mashalih (mendahulukan mencegah kehancuran daripada menarik manfaat). Aktiva produktif dinilai kualitasnya meliputi penanaman dana baik dalam rupiah maupun valuta asing, dalam bentuk kredit/pembiayaan dan surat berharga. Kelangsungan kegiatan operasi bank sangat dipengaruhi pada kesiapan bank menanggung kemungkinan timbulnya risiko kerugian dalam kegiatan menanamkan dana ke dalam berbagai alternatif investasi khususnya dalam aktiva produktif. Untuk mengukur besarnya nilai kualitas aktiva produktif, penulis menggunakan rasio Non Performing Finance (NPF). 

Terlihat bahwa BMI sesudah ada pesaing mempunyai rata-rata (mean) rasio Non Performing Finance (NPF) sebesar 12,10% lebih kecil jika dibandingkan mean sebelum ada pesaing, yaitu 12,11%. Ketentuan BI menyatakan bahwa semakin kecil nilai NPF maka semakin baik kinerja suatu bank. Hal ini menunjukkan perhitungan rata-rata selama tahun 1999 - 2006 NPF BMI mempunyai nilai yang relatif lebih baik dibandingkan dengan NPF tahun 1992 - 1998. Namun demikian jika mengacu pada ketentuan BI No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 yang menetapkan NPF maksimum 5%, maka rata-rata kinerja BMI selama tahun 1992 - 1998 dan 1999 - 2006 dalam kategori bank yang berkinerja baik / sehat karena nilainya dibawah ketentuan BI. 

Pada posisi awal tahun berdiri BMI belum menyalurkan dana, oleh karena itu nilai NPF masih 0,00. Mulai tahun 1993 BMI mulai menyalurkan pembiayaan, dan masyarakat juga sudah mulai memberikan kepercayaan kepada BMI. Akhir tahun 1994 tingkat pembiayaan bermasalah BMI adalah 1,35% berada pada tingkat yang lebih rendah dari rata-rata perbankan nasional (12,12% - sumber; Hasil rapat kerja Gubernur BI dengan DPR tanggal 2 Februari 1995). Pada tahun 1997 jumlah total pembiayaan mengalami suatu peningkatan yang relatif besar (47,11%) dibanding tahun sebelumnya, pertumbuhan itu pun jauh di atas tingkat pertumbuhan 1995 – 1996 yang hanya sebesar 8,15%. Pada tahun 1998 rasio pembiayaan non performing terhadap total pembiayaan adalah 65,61% mengalami kenaikan dari 7,99% pada tahun sebelumnya, hal ini disebabkan krisis moneter dan berlakunya ketentuan tentang PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif) yang mulai berlaku 31 Desember 1998. 

Pada periode sesudah ada pesaing tahun 1999 berangsur membaik, terlihat dari mulai menurunnya tingkat pembiayaan bermasalah. Kemudian pada tahun 2000 dan 2001 terlihat penurunan yang cukup besar, sehingga pada tahun 2002 dan seterusnya tingkat NPF dapat stabil kembali. Hal ini diakibatkan juga karena prinsip kehati-hatian BMI dalam mengelola kegiatan pembiayaannya yang semakin meningkat. Sebagaimana terlihat pada semakin menurunnya porsi pembiayaan bermasalah. Situasi persaingan dengan lembaga keuangan syariah sudah mulai terlihat, dengan bertambahnya bank umum syariah dan unit usaha syariah. Namun jika dilihat dari peningkatan kinerja, kegiatan usaha BMI berlangsung tanpa guncangan sedikit pun sehingga kinerjanya tidak terpengaruh. 

3. Earning (Rentabilitas)
Besar kecilnya tingkat rentabilitas bank mencerminkan keberhasilan atau kegagalan bank dalam mengelola dan menanamkan dana yang tersedia pada aktiva yang dimiliki bank untuk memperoleh pendapatan serta bagaimana bank mengelola/mengatur pembiayaan atas beban-beban yang harus dikeluarkan untuk menunjang operasional bank. Dengan kata lain analisa atas faktor rentabilitas ini berguna untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas bank dalam menghasilkan laba selama periode tertentu. Kemampuan bank dalam menghasilkan laba dapat diukur dengan menggunakan rasio Return On Asset (ROA) dan Return On Equity (ROE).

a. ROA (Return On Asset)
Untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan, maka rasio yang digunakan adalah Return on Assets (ROA). Rasio ini memberi informasi seberapa efisien suatu bank dalam melakukan kegiatan usahanya, karena rasio ini mengidentifikasikan besarnya rata-rata keuntungan yang dapat diperoleh terhadap setiap rupiah asetnya. 

Sumber : Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia 1992-2006 (data diolah)

Pada gambar, terlihat bahwa BMI sesudah ada pesaing mempunyai rata-rata (mean) ROA sebesar 1,91%, lebih besar jika dibandingkan mean sebelum ada pesaing, yaitu -1,70%. Hal ini menunjukkan selama tahun 1999 - 2005 sesudah ada pesaing mempunyai nilai relatif lebih baik dibandingkan dengan periode sebelum ada pesaing tahun 1992 - 1998. Semakin besar tingkat rasio ROA suatu bank, berarti semakin baik kinerja suatu bank karena semakin besar juga profitabilitas dari pengelolaan modal yang dimiliki. Begitu halnya jika mengacu pada ketentuan BI No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 yang menetapkan ROA berkisar antara 0,5%-1,25%, maka ROA BMI termasuk kategori bank yang memiliki kinerja baik / sehat karena nilai ROA kedua periode jauh di atas ketentuan BI. 

BMI sebagai bank yang termasuk pendatang baru, sejak tahun awal berdiri telah dinilai oleh bank Indonesia sebagai bank yang sehat atas pengoperasian dan perjalanan usahanya. Bahkan dalam satu tahun beroperasi, BMI telah mendapat peringkat ke 15 sebagai bank yang memiliki ROA tertinggi tingkat perbankan nasional (Infobank, April 2003). Selanjutnya periode sebelum ada pesaing yaitu 1993 - 1997 kondisi ROA kurang stabil, tetapi nilainya tetap selalu di atas ketentuan BI dan masih dapat dikatakan kondisinya stabil. Pada tahun 1996 terjadi penurunan ROA, disebabkan oleh penurunan laba bersih BMI sebagai akibat peningkatan imbalan bonus dan bagi hasil yang lebih pesat dibandingkan dengan pendapatan margin dan bagi hasil selama tahun tersebut. Dan terjadi penurunan juga pada tahun 1998 ROA berada pada posisi sangat buruk yang diakibatkan dampak dari krisis perekonomian negara. Rasio Laba terhadap Volume Usaha (ROA) adalah -23,94% mengalami penurunan drastis dibandingkan tahun 1997 adalah 1,28%. Namun dibandingkan rata-rata perbankan nasional, apa yang diperoleh BMI pada tahun 1998 itu masih lebih baik. Karena pendapatan pos margin dan bagi hasil tetap positif yaitu sebesar Rp. 2,557 miliar. BMI masih bisa mendapatkan pendapatan bersih dari pos pembiayaan sebesar 0,55% dari total dana yang disalurkan, atau jauh lebih baik dibandingkan rata-rata kelompok bank swasta yang mengalami kerugian 13,63%. ini bisa terjadi karena dengan prinsip bagi hasil, biaya yang harus ditanggung BMI tidak membengkak setajam konvensional.

Kondisi ROA sesudah ada pesaing yaitu tahun 1999 - 2006 manunjukkan keadaan sehat. Pada tahun 2001 terjadi kenaikan nilai rasio ROA yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan adanya kenaikan pada laba sebelum pajak sekitar 5 kali lipat (500%) dibandingkan tahun sebelumnya. Sebaliknya kenaikan yang terjadi pada rata-rata volume usaha sebagai faktor pembagi dalam rasio ini hanya sekitar 38%. Keadaan ini pada akhirnya menjadikan hasil akhir perhitungan rasio ROA untuk tahun 2001 meningkat jauh. Pada tahun 2002 terjadi penurunan ROA, hal ini dikarenakan kenaikan yang terjadi pada rata-rata volume usaha (sebagai pembagi) tidak diikuti dengan kenaikan pada penghasilan sebelum pajak. Yang terjadi justru penurunan penghasilan sebelum pajak karena pendapatan bank mengalami penurunan yang cukup signifikan. Akan tetapi walaupun terjadi penurunan nilai rasio ini, predikat “sehat” untuk rasio ROA tetap dimiliki oleh BMI. 

b. ROE (Return On Equity)
Untuk mengukur kinerja manajemen bank dalam mengelola modal yang tersedia untuk menghasilkan laba setelah pajak, maka digunakan rasio Return on Equity (ROE). Bagi pemilik bank, rasio ini digunakan untuk mangukur berapa besar kemampuan bank memperoleh keuntungan terhadap modal yang diinvestasikan pada bank tersebut. Semakin besar ROE, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil.

Sumber : Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia 1992-2006 (data diolah)

Pada gambar, terlihat bahwa BMI sesudah ada pesaing mempunyai rata-rata (mean) rasio Return On Equity (ROE) sebesar 20.46%, lebih besar jika dibandingkan mean sebelum ada pesaing, yaitu -34.50%. Hal ini menunjukkan selama tahun 1999 - 2006 sesudah ada pesaing mempunyai nilai relatif lebih baik dibandingkan dengan tahun 1992 - 1998 sebelum ada pesaing, semakin tinggi ROE semakin bagus karena perolehan laba yang dihasilkan pada bank tersebut semakin besar. Begitu halnya jika mengacu pada ketentuan BI No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 yang menetapkan ROE berkisar antara 5% - 12,2%, maka ROE BMI termasuk kategori bank yang memiliki kinerja baik / sehat karena hampir disetiap tahun nilai ROE diatas ketentuan BI.

Pada periode sebelum ada pesaing tahun 1993 laba operasi turun 16% dari Rp. 4,4 milyar menjadi Rp.3,7 milyar, sebagai akibat dari pertambahan biaya mencapai dua setengah kali dari biaya tahun 1992 untuk pengeluaran biaya dalam pendirian kantor-kantor cabang dan penambahan personalia. Pada tahun 1994 dan 1995 ROE meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Tapi pada tahun 1996 ekuitas BMI menurun sebesar 1.33%, disebabkan oleh penurunan laba bersih BMI sebagai akibat peningkatan imbalan bonus dan bagi hasil yang lebih pesat dibandingkan dengan pendapatan margin dan bagi hasil selama tahun tersebut. Pada tahun 1998 terjadi penurunan drastis ROE hingga negatif yaitu -271.94%. Hal ini disebabkan pada tahun 1998 terjadinya krisis multidimensi yang mangakibatkan hampir diseluruh sektor perbankan yang ada mengalami kerugian, Sehingga BMI pun mengalami kerugian yang cukup besar pada tahun tersebut. Walaupun pada tahun 1998 ROE BMI mengalami penurunan yang sangat tajam, hal ini dapat segera diatasi sehingga pada tahun 1999 ROE BMI dapat kembali positif yaitu 3.98%. 

Di tahun 1999 kondisi BMI dengan sistem syariahnya, berhasil menunjukkan kestabilan dan menampilkan gejala perbaikan kinerja. Pada saat bank-bank konvensional terpuruk akibat dampak krisis ekonomi dan besarnya negative spread, bank syariah justru membuktikan keandalannya dengan berhasil mencapai sejumlah keuntungan. Mulai munculnya bank umum syariah baru (pesaing) tidak mempegaruhi rasio ROE. Tahun 2001 terjadi peningkatan pada rasio ROE yang cukup tajam. Hal ini disebabkan dengan membaiknya kondisi pembiayaan yang diberikan sehingga memberikan pendapatan margin dan bagi hasil yang semakin besar. Tahun 2002 ROE kembali menurun, karena adanya penurunan pada laba bersih dan meningkatnya ekuitas BMI. Pada tahun 2003 s.d. 2006 kondisi ROE mangalami kenaikan di setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan ROE BMI semakin membaik/besar, berarti kemungkinan BMI manghadapi kondisi bermasalah semakin kecil.

4. Liquidity (Likuiditas)
Likuiditas bank adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya terutama kewajiban jangka pendek. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh asset menjadi bentuk tunai (cash). Sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas. Untuk mengukur tingkat rasio likuiditas, dapat menggunakan Financing to Deposit Ratio (FDR). FDR adalah rasio antara besarnya volume pembiayaan yang disalurkan oleh bank dan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber. 

Rasio ini menggambarkan jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dsalurkan dalam bentuk pembiayaan atau dengan kata lain rasio ini menunjukkan kemampuan likuiditas bank untuk menjadikan pembiayaan sebagai sumber likuiditasnya. Pada aspek likuiditas 1ini penilaian didasarkan atas kemampuan bank dalam membayar semua hutang-hutangnya terutama simpanan tabungan, giro dan deposito pada saat ditagih dan dapat memenuhi semua permohonan kredit/pembiayaan yang layak untuk disetujui. Suatu bank dikatakan likuid apabila bank tersebut dapat memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya dan dapat membayar kembali semua deposannya serta dapat memenuhi permintaan pembiayaan yang diajukan tanpa terjadi panangguhan.

Sumber : Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia 1992-2006 (data diolah)

Pada gambar, terlihat bahwa BMI sesudah ada pesaing mempunyai rata-rata (mean) rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) sebesar 84.77%, lebih besar jika dibandingkan mean sebelum ada pesaing, yaitu 71.65%. Hal ini menunjukkan selama tahun 1999-2006 sesudah ada pesaing mempunyai nilai relatif lebih baik dibandingkan dengan tahun 1992-1998 sebelum ada pesaing, semakin tinggi FDR berarti semakin meningkatnya ekspansi pembiayaan bank. Namun jika tidak diimbangi dengan pengumpulan dana pihak ketiga, atau dari sisi lain berarti dana pihak ketiga yang dikumpulkan bank menurun, jika nilai FDR terlalu tinggi juga tidak bagus karena menggambarkan kurang baiknya posisi likuiditas bank. Bank Indonesia menetapkan FDR berkisar antara 85%-100%.

Pada tahun 1992 posisi Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai Rp. 20,709 juta dengan jumlah porsi terbesar di jakarta dan sekitar. Perkembangan DPK dalam tiga tahun terakhir ini menunjukkan peningkatan dalam jumlah yang cukup besar yaitu naik sekitar 120% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 1996 juga cenderung menurun jauh dibawah ketentuan FDR maksimal BI yaitu 110%. Tahun 1997 mulai memburuknya kondisi ekonomi di Indonesia. Puncaknya pada tahun 1998, perkembangan BMI kurang menggembirakan. Rasio pembiayaan terhadap dana yang diterima oleh Bank (FDR) pada tahun 1998 adalah 107,15% (melebihi batas maksimal FDR, yang ditetapkan BI) mengalami kenaikan dari 79,53% (di bawah batas manimal FDR, yang ditetapkan BI) pada tahun 1997, hal ini disebabkan adanya penurunan dana pihak ke-3 dan modal bank akibat pembentukan PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif). 

Pada periode sesudah ada pesaing tahun 1999 nilai FDR turun drastis yaitu 68,07% jika dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai tersebut jauh dibawah ketetapan BI untuk FDR minimal 85%, karena kondisi keuangan negara masih terkena dampak krisis moneter. Pada tahun 2000 nilai rasio FDR BMI adalah 97,90% meningkat cukup drastis. Keadaan ini dapat dikategorikan sebagai keadaan yang baik dimana BMI tetap melakukan investasi dalam bentuk pembiayaan yang memperkuat peranannya sebagai lembaga intermediasi dan mendapatkan bagi hasil atau margin sebagai kompensasi tanpa mengesampingkan masalah likuiditas. Hingga akhir tahun 2006 kondisi FDR BMI telah kembali stabil, nilainya berada sesuai dengan ketetapan BI. Hal ini berarti masyarakat telah memberikan kepercayaan pada BMI untuk mengelola dananya, dan pihak manajemen BMI dapat mengelola DPK untuk disalurkan pada pembiayaan.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson