Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Matematika

Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Matematika 
Membangun karakter bagi generasi dewasa ini memang sangat mendesak. Hal tersebut melihat fenomena-fenomena yang terjadi dan tantangan masa depan yang dihadapi semakin kompleks. Karakter-karakter umum seperti jujur, disiplin, taat aturan, atau bertanggung jawab sudah semakin hilang. Sebagai bukti adalah maraknya upaya-upaya mencontek ataupun plagiasi di lingkungan pendidikan menunjukkan kurangnya kesadaran untuk berlaku jujur. Belum lagi peningkatan kasus-kasus korupsi yang santer diberitakan oleh media massa memberikan pertanda semakin pudarnya sikap jujur. Fenomena lain seperti budaya antre, tertib berlalu lintas, maupun membuang sampah pada tempatnya masih sulit dilakukan secara sadar dan bertanggungjawab. Kita masih sering melanggar aturan-aturan tersebut. Kedisiplinan dan tanggungjawab kita kadangkala hanya muncul ketika diawasi dan diancam dengan hukuman saja bukan melekat sebagai bagian karakter kita. 

Masa depan yang lebih menantang memerlukan generasi handal yang dibekali kebiasaan-kebiasaan positif. McElmeel (2002) memberikan alasan pengembangan pendidikan karakter di sekolah karena kebutuhan dunia kerja yang memerlukan nilai-nilai karakter seperti (1) proaktif, yaitu memiliki inisiatif dalam menghadapi tantangan dan mencapai tujuan-tujuan, (2) membangun konsensus dalam penentuan suatu tujuan, (3) memiliki prioritas yang didasarkan melalui pemikiran-pemikiran mendalam, (4) berpikir dengan kreatif, mencari solusi dan prosedur yang saling menguntungkan, (5) mencari pemahaman terhadap masalah-masalah agar mendapatkan keberhasilan dalam pemecahan masalah, (6) sinergi, yaitu melakukan kerjasama dengan berbagai kelompok, dan (7) ketajaman penglihatan untuk mendorong perbaikan terus menerus. 

Pendidikan matematika sebagai bagian dari pendidikan memiliki tanggungjawab yang sama dengan mata pelajaran lain untuk mengembangkan karakter siswa sebagai calon generasi masa depan. Cara yang utama adalah melalui pembelajaran di kelas yang secara konsisten menanamkan kebiasaan-kebiasaan dan perilaku yang berkarakter. 

Pengertian Karakter 
Karakter dapat dipandang sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas dari setiap individu untuk hidup, bergaul, dan bekerjasama di lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara (Samani & Hariyanto, 2011). Karakter yang baik ditunjukkan dengan akhlak, budi pekerti, dan perilaku yang terpuji dan menjadi teladan di tengah keluarga, masyarakat, maupun bangsa. Samani & Hariyanto (2011) mengartikan karakter sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan yang membedakan dengan orang lain serta diwujudkan dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Simpulan ini menekankan bahwa karakter adalah suatu nilai-nilai yang mendasar yang terdapat pada diri individu. 

Arthur (2003) membedakan pengertian karakter dalam beberapa hal. Pertama, karakter dipandang sebagai suatu jalinan nilai-nilai kepribadian yang mengarah pada sesuatu yang normal. Karakter itu tentang siapa kita dan menjadi apa kita, hal baik dan buruk. Kedua, karakter bukan sesuatu yang tetap dan dengan mudah diukur atau dimodifikasi. Ketiga, karakter merupakan pilihan-pilihan tentang pengarahan tindakan dan pemikiran yang benar atau salah. Arthur meyakini bahwa seseorang dapat aktif dalam membentuk karakter dirinya sendiri dan orang lain. Pendidikan karakter dipandang sebagai suatu pendekatan khusus dari pendidikan moral. Pendidikan karakter bukan penyederhanaan dari pencapaian keterampilan-keterampilan sosial tetapi tentang bagaimana seseorang siswa akan tumbuh. Dengan demikian karakter yang dikembangkan melalui pendidikan sifatnya bukan hanya dikaitkan dengan keterampilan sosial tetapi integratif diarahkan untuk perkembangan siswa. 

Berkowitz (2002) menjelaskan bahwa karakter dapat dipandang sebagai suatu ukuran atau sarana mengukur kebaikan atau keeksentrikan seorang individu yang berkaitan moralitas. Selain itu, juga dapat berkaitan non moralitas (seperti fungsi-fungsi kognitif). Berkowitz mendefinisikan karakter sebagai “an individual’s set of physchological characteristics that affect that person’s ability and inclination to function morally”. Artinya karakter adalah suatu kumpulan karakteristik psikologis individu yang memberi dampak terhadap kemampuan seseorang dan peningkatan fungsi-fungsi moralitas. Dengan demikian makna karakter dapat diartikan sebagai tabiat, watak, atau aspek-aspek psikologi lain yang melekat pada seorang individu. Karakter membimbing dan mengarahkan seseorang untuk menilai sesuatu yang dilakukan baik atau buruk. Fungsi-fungsi moral menurut Berkowitz (2002) tersebut dinamakan moral anatomy yang meliputi (1) moral behaviour (perilaku moral), (2) moral values (nilai-nilai moral), (3) moral personality (personalitas moral), (4) moral emotion (emosi moral), (5) moral reasoning (penalaran moral), (6) moral identity (identitas moral), dan (7) foundational characteristics (karakteristik-karakteristik dasar). Fungsi-fungsi tersebut memberi gambaran bahwa karakter merupakan suatu konsep psikologi yang kompleks. Karakter meliputi kemampuan berpikir membedakan yang baik dan benar, mengalami emosi-emosi moral (bersalah, empati, sadar diri), melibatkan diri dalam tindakan-tindakan (berbagi, berderma, berbuat jujur), meyakini moralitas yang beradab dan bermartabat, dan menunjukkan kejujuran, kebaikan hati, dan tanggung jawab.

McElmeel (2002) dalam bukunya memfokuskan nilai-nilai karakter terdiri dari peduli, percaya diri, tertantang, ingin tahu, fleksibel, kebersamaan (friendship), terencana (goalsetting), hormat (humility), ceria (humor), inisiatif, integritas, sabar, tekun, sikap positif, pemecah masalah, disiplin, dan kerjasama (teamwork). Nilai-nilai tersebut diperlukan dalam menghadapi dunia kerja dan saling terkait dengan nilai-nilai yang lain. 

Tim Pengembang, Depdiknas (2010) menuliskan bahwa karakter merupakan perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Orang yang perilakunya sesuai dengan norma-norma disebut insan berkarakter mulia. Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, dan nilai-nilai lainnya. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. 

Kementrian Pendidikan Nasional dalam “Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa” (2010) menyebutkan bahwa karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olahpikir, olahhati, olahrasa dan olahkarsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Pengertian ini secara lengkap menggabungkan karakter sebagai nilai-nilai, kemampuan, kapasitas moral, keyakinan, dan tindakan. 

Berdasar pembahasan sebelumnya dapat dikatakan bahwa karakter merupakan suatu kumpulan karakteristik individu yang khas dalam berpikir, berperilaku, dan bertindak dalam hidup, bergaul, bekerjasama, maupun memecahkan masalah di lingkungannya. Karakteristik tersebut dapat berkaitan dengan aspek psikologis (seperti bawaan, emosi, kepribadian, budi pekerti, sifat, tabiat, temperamen, atau watak), aspek moral (berupa nilai-nilai yang disadari dan diyakini), dan aspek kognitif (gaya berpikir, penalaran, ataupun berbahasan). Dengan demikian, karakter sebenarnya tidak hanya berupa nilai-nilai, tetapi juga kemampuan, keyakinan, moralitas, pengendalian emosi dan pengarahannya, serta perwujudan perilaku yang sebenarnya. 

Untuk menanamkan karakter tersebut dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan yang mengarahkan dan menanamkan karakter tersebut dinamakan pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Kemendiknas, 2010).

Samani & Hariyanto (2011) merumuskan pengertian bahwa pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia yang seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir, mengambil keputusan baik-buruk, memelihara dan menjaga yang baik, serta mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari. 

Pendidikan karakter dalam lingkup pembelajaran di kelas dapat diartikan sebagai upaya merancang dan melaksanakan suatu strategi atau model-model pembelajaran yang bertujuan mengembangkan kemampuan akademik dan membangun karakter. Tujuan membangun karakter harus didesain dengan sengaja (by design) bukan sebagai akibat samping (dampak pengiring). Karakter-karakter itu harus tergambar secara eksplisit pada langkah-langkah pembelajaran yang dirancang. Karakter tersebut berupa nilai-nilai, kemampuan, keyakinan, moralitas, pengendalian emosi, dan perilaku yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan karakteristik dan sifat alami dari mata pelajaran tersebut. Ketika belajar Bahasa Indonesia mungkin saja ditekankan nilai-nilai dan etika berbahasa yang baik, sedang ketika belajar matematika diajarkan nilai-nilai yang berkaitan dengan penalaran. Dengan demikian, seorang guru perlu mengetahui karakteristik dari ilmu yang akan diajarkan dan mengaitkan dengan tujuan-tujuan pengembangan karakter peserta didik. 

Matematika dan Karakter
Matematika sebagai ilmu memiliki ciri, yaitu (1) memiliki objek abstrak, (2) bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola pikir deduktif, (4) memiliki simbol-simbol yang kosong arti, (5) memperhatikan semesta pembicaraan, dan (6) konsisten dalam sistemnya (Soedjadi, 2000). 

Objek abstrak langsung dari matematika meliputi fakta, konsep, operasi, dan prinsip. Objek-objek tersebut didasarkan pada kesepakatan yang mengacu pola pikir deduktif, yaitu dimulai dari sesuatu yang umum menuju ke khusus. Matematika berkecimpung dengan simbol-simbol kosong arti yang tidak tergantung pada satu objek tertentu. Kondisi ini memungkinkan matematika diterapkan pada berbagai bidang ilmu yang relevan. Struktur matematika memperhatikan semesta pembicaraan dalam suatu sistem yang konsisten. 

Berdasarkan sifat matematika itu sendiri sebenarnya melekat nilai-nilai yang dapat membangun karakter siswa. Karena objeknya yang abstrak, matematika melatih seseorang untuk menggunakan daya pikirnya secara cerdas merepresentasikan hal-hal yang abstrak tersebut. Kesepakatan dalam matematika memberikan arah kesadaran tentang berbagai kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kesepakatan tersebut seseorang dilatih bertanggung jawab dan menerima konskuensi-konskuensi yang terjadi. Pola pikir yang deduktif mendorong seseorang untuk mencari suatu keputusan-keputusan yang dapat diterima secara umum. Sedang matematika memiliki simbol yang kosong arti memberi arah pada pemikiran yang terbuka, kreatif, inovatif, dan produktif. Matematika memperhatikan semesta pembicaraan juga mendorong munculnya nilai tentang sifat kesemestaan seperti baik-buruk tatanan nilai kadang kala berlaku setempat dan bergantung tata nilai yang berlaku pada budaya seseorang. Selanjutnya, matematika konsisten dalam sistemnya melahirkan sikap konsisten dan taat aturan, serta bertanggungjawab. Karakteristik dalam matematika secara tidak langsung mengajarkan cara berpikir dan bertindak yang cerdas, bertanggungjawab, terbuka, kreatif, inovatif, produktif, berpikir keumuman, dan konsisten (taat aturan). 

Matematika kaitannya dengan sifat sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah (matematika sekolah) juga memiliki nilai-nilai yang melekat. Nilai-nilai itu dengan kesadaran penuh seorang guru akan muncul ketika siswa belajar matematika di sekolahnya. Karakteristik matematika sekolah didasarkan pada penyajiannya yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Berikutnya matematika sekolah menggunakan pola pikir induktif maupun deduktif, serta memiliki keterbatasan semesta. Tingkat keabstrakan materi tersebut berbeda untuk tiap tingkat satuan pendidikan. Nilai-nilai yang muncul terkait dengan matematika sekolah adalah empati, adaptasi disesuaikan dengan kondisi siswa sebenarnya, bertanggungjawab, gigih, dan tangguh. 

Dalam situasi pembelajaran di kelas, karakter yang baik juga dapat muncul karena strategi pembelajaran yang dipilih, seperti kooperatif yang menekankan kerjasama, pembelajaran langsung yang menekankan pada teladan-teladan dalam mengajar pengetahuan deklaratif dan prosedural setahap demi setahap. Pemilihan strategi atau model pembelajaran yang tepat dapat memadukan tujuan pengembangan pendidikan karakter dalam pembelajaran matematika. 

Pembelajaran Matematika yang Membangun Karakter
Pembelajaran matematika selama ini masih didominasi oleh pengenalan rumus-rumus serta konsep-konsep secara verbal, tanpa ada perhatian yang cukup terhadap pemahaman siswa. Selain itu, proses belajar mengajar hampir selalu berlangsung dengan metode ceramah yang mekanistik, dengan guru menjadi pusat dari seluruh kegiatan di kelas. Siswa mendengarkan, meniru atau mencontoh dengan persis sama cara yang diberikan guru tanpa inisiatif. Siswa tidak dibiarkan atau didorong mengoptimalkan potensi dirinya, mengembangkan penalaran maupun kreativitasnya. Pembelajaran matematika juga seolah-olah dianggap lepas untuk mengembangkan kepribadian siswa. Pembelajaran matematika dianggap hanya menekankan faktor kognitif saja, padahal pengembangan kepribadian sebagai bagian dari kecakapan hidup merupakan tugas semua mata pelajaran di sekolah. Pembelajaran yang demikian menjauhkan siswa dari sifat kemanusiaannya. Siswa seolah-olah dipandang sebagai robot atau benda/alat yang dipersiapkan untuk mengerjakan atau menghasilkan sesuatu. 

Guru melakukan demikian karena beberapa alasan, seperti diungkapkan Haglund (tanpa tahun), antara lain guru matematika tersebut tidak menyukai matematika dan sulit mengadaptasi strategi-strategi baru, guru memandang matematika sebagai hierarkhis yang harus diajarkan sesuai urutan kurikulum dan tidak perlu menambahkan tujuan lain, dan waktu yang digunakan dapat lebih cepat. 

Menghadapi kondisi itu, pembelajaran matematika harus mengubah citra dari pembelajaran yang mekanistis menjadi humanistik yang berkarakter. Pembelajaran yang dulunya memasung kreativitas siswa menjadi yang membuka kran kreativitas. Pembelajaran yang dulu berkutat pada aspek kognitif menjadi yang berkubang pada semua aspek termasuk kepribadian dan sosial. Pembelajaran matematika harus mengubah pandangan dari “as tool” menjadi “as human activity”. 

Matematika humanistik bukanlah hal baru dalam matematika, sebab para matematikawan terdahulu seperti Plato, Euclid, atau Mandelbrot telah mengaitkan matematika dengan keindahan, kreativitas, atau imajinasi dalam matematika. Pada dasarnya matematika humanistik melibatkan pengajaran yang isinya humanistik (humanistic content) dengan menggunakan pendidikan humanistik (humanistic pedagogy) dalam keyakinan bahwa kekurangan motivasi siswa merupakan akar penyebab dari masalah-masalah sikap dan literasi dalam pendidikan matematika. Gerakannya adalah mencari kembali proses-proses pendidikan yang menyenangkan (excitement) dan menantang (wonderment) dengan kegiatan-kegiatan penemuan (discovery) dan kreasi/karyacipta (Haglund, tanpa tahun). Dengan demikian matematika humanistik mengarahkan pada pembelajaran yang memberikan keleluasaan siswa untuk belajar secara aktif yang menyenangkan dan memberikan kebebasan siswa untuk tertantang melakukan kreasi-kreasi sehingga mendorong kreativitasnya. 

White (dalam Susilo, 2004) menjelaskan bahwa matematika humanistik mencakup dua aspek pembelajaran, yaitu pembelajaran matematika secara manusiawi dan pembelajaran matematika yang manusiawi. Aspek pertama berkaitan dengan proses pembelajaran matematika yang menempatkan siswa sebagai subjek untuk membangun pengetahuannya dengan memahami kondisi-kondisi, baik dalam diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Pengetahuan matematika tidak terbentuk dengan menerima atau menghafal rumus-rumus dan prosedur-prosedur, tetapi dengan membangun makna dari apa yang sedang dipelajari. Siswa aktif mencari, menyelidiki, merumuskan, membuktikan, mengaplikasikan apa yang dipelajari. Siswa juga mungkin melakukan kesalahan dan dapat belajar dari kesalahan tanpa takut untuk berbuat salah dengan melakukan ujicoba atau eksperimen. Guru berperan sebagai fasilitator dan motivator. Guru menumbuhkan motivasi dalam diri siswa untuk mempelajari dan memahami matematika secara bermakna serta memberikan dorongan dan fasilitas untuk belajar mandiri maupun kelompok. Proses pembelajaran tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga intuisi dan kreativitas siswa. Pembelajaran matematika secara manusiawi akan membentuk nilai-nilai kemanusiaan dalam diri siswa. Selain memahami dan menguasai konsep matematika, siswa akan terlatih bekerja mandiri maupun bekerjasama dalam kelompok, bersikap kritis, kreatif, konsisten, berpikir logis, sistematis, menghargai pendapat, jujur, percaya diri, dan bertanggung jawab. Pada aspek ini kreativitas guru untuk memfasilitasi kegiatan belajar siswa dengan berbagai metode dan kreativitas siswa untuk menemukan atau membangun pengetahuannya sendiri saling terpadu dan menunjang bagi keberhasilan tujuan belajar siswa. 

Pembelajaran matematika yang manusiawi berkaitan dengan usaha merekonstruksi kurikulum matematika sekolah, sehingga matematika dapat dipelajari dan dialami sebagai bagian kehidupan manusia. Kaitan matematika dan dunia nyata atau mata pelajaran lain perlu dijabarkan secara konkrit. Brown (2002) menyebutkan beberapa topik yang dapat dikaitkan dengan dunia nyata atau mata pelajaran lainnya, misalkan seni (simetri, perspektif, representasi spasial, dan pola (termasuk fraktal) untuk menciptakan karya-karya artistik), biologi (penggunaan skala untuk mengidentifikasi faktor pertumbuhan bermacam organisme), bisnis (optimasasi dari suatu jaringan komunikasi), industri (penggunaan matematika untuk mendesain objek-objek tiga dimensi seperti bangunan), pengobatan (pemodelan suntikan untuk mengeliminasi infeksi penyakit), fisika (penggunaan vektor untuk memodelkan gaya). Siswono & Lastiningsih (2007) juga menunjukkan keterkaitan topik-topik matematika untuk siswa kelas VII yang sesuai dengan Kurikulum 2007 (KTSP) dengan dunia nyata atau mata pelajaran lain, seperti bilangan bulat (suhu planet, suhu kota), bilangan pecahan (kemasan obat, kandungan bahan, dosis minum, resep, laporan survei di koran, iklan), aljabar (masalah perdagangan, untung-rugi, pajak, sejarah), persamaan dan pertidaksamaan (dosis minum obat, lalu lintas, fisika), perbandingan (skala, denah, arsitektur, resep, frekuensi radio), himpunan (polling atau survei), garis dan sudut (seni, arsitektur), segitiga dan segiempat (seni, arsitektur, parkir, geografi). 

Berdasar pandangan di atas, maka dapat dijabarkan beberapa ciri umum dari pembelajaran matematika humanistik, seperti disebutkan oleh Haglund (tanpa tahun) yaitu:
1. Menempatkan siswa sebagai penemu (inquirer) bukan hanya penerima fakta-fakta dan prosedur-prosedur;
2. Memberi kesempatan siswa untuk saling membantu dalam memahami masalah dan pemecahannya yang lebih mendalam;
3. Belajar berbagai macam cara untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya dengan pendekatan aljabar;
4. Menunjukkan latar belakang sejarah bahwa matematika sebagai suatu penemuan atau usaha keras (endeavor) dari seorang manusia;
5. Menggunakan masalah-masalah yang menarik dan pertanyaan terbuka (open-ended) tidak hanya latihan-latihan;
6. Menggunakan berbagai teknik penilaian tidak hanya menilai siswa berdasar pada kemampuan mengingat prosedur-prosedur saja;
7. Mengembangkan suatu pemahaman dan apresiasi terhadap ide-ide besar matematika yang membentuk sejarah dan budaya;
8. Membantu siswa melihat matematika sebagai studi terhadap pola-pola, termasuk aspek keindahan dan kreativitas;
9. Membantu siswa mengembangkan sikap-sikap percaya diri, mandiri, dan penasaran (curiosity);
10. Mengajarkan materi-materi yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam sains, bisnis, ekonomi, atau teknik. 

Beberapa ciri yang diungkapkan Haglund tersebut sebenarnya mengarah pada ciri-ciri pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai karakter. Nilai tersebut seperti ingin tahu, suka menolong, pemecah masalah, kerja keras, tertantang, apresiatif, kreativitas, percaya diri, dan mandiri. 
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson