Pembangunan Berbasis Nilai Menurut Para Ahli

Pembangunan Berbasis Nilai Menurut Para Ahli 
Mc Iver pakar sosiologi politik pernah mengatakan:“Manusia adalah mahluk yang dijerat oleh jaring-jaring yang dirajutnya sendiri”. Jaring-jaring itu adalah kebudayaan. Mc Iver ingin mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diciptakan oleh masyarakat (socially constructed) tetapi pada gilirannya merupakan suatu kekuatan yang mengatur bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan “pola tertentu”. Kebudayaan bahkan bukan hanya merupakan kekuatan dari luar diri manusia tetapi bisa tertanam dalam kepribadian individu (internalized). Dengan demikian kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia dari luar dan dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah nilai-nilai (values) yang merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika) serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari system nilai inilah kemudian tumbuh norma yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia di dalam bermasyarakat. 

Jelas dari uraian diatas bahwa kebudayaan merupakan unsur paling dasar (basic) dari suatu masyarakat, sehingga sampai sekarang sebagian sosiolog dan antropolog masih menganut faham cultural determinism yaitu bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya. Lawrence Harrison dalam bukunya “Culture Matters” menggambarkan bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia (Harrison, 2000). Samuel Huntington memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tigapuluh tahun kemudian Korea telah menjadi negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun dan saat ini GNP per capitanya hanya seperlimabelas Korea Selatan. Ini disebabkan (terutama) karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti: hemat, kerja keras, disiplin dsb. Semua tidak dimiliki masyarakat Ghana.

Perbandingan yang sama bisa juga kita lakukan antara Indonesia dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut merdeka pada tahun yang sama, keduanya sama-sama pernah dijajah oleh Jepang. Sekarang ekonomi dan kebudayaan Indonesia jauh tertinggal dari Korea Selatan. Malaysia yang sama-sama berkebangsaan melayu dan merdeka jauh setelah Indonesia, sekarang juga telah meninggalkan kita.Hal itu belum seberapai bila kita membandingkan diri dengan Singapore. Dalam hal ini tidak berlebihan bila kita menyebut kebudayaan Indonesia sebagai “kebudayaan yang terkalahkan” (defeated culture).

Apakah benar kita merupakan masyarakat dan bangsa yang ditakdirkan untuk terbelakang? Apakah ada yang salah pada kebudayaan kita? Apakah kita harus percaya pada cultural determinism? Pada derajat tertentu faham itu mungkin benar, karena banyak pakar telah menggambarkan bahwa bangsa kita memang memiliki kemiskinan budaya (cultural deficiency) seperti antroplog terkenal Koentjaraningrat serta budayawan terkenal Mochtar Lubis pernah mengupasnya sekitar tahun 70-an. Lalu, apakah kita harus berputus asa?. Apakah kebudayaan merupakan sesuatu yang melekat (inherent) pada suatu masyarakat?, apakah kebudayaan tidak mungkin dirubah atau dibangun?. Tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah:”Apakah kita memang telah membangun budaya kita selama ini?”. Apakah pembangunan kita yang pernah dijuluki sebagai salahsatu dari “the Asian miracle” ini telah membangun juga unsur-unsur budaya?, atau hanya sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata?. Tulisan ini bertujuan untuk melihat lebih jauh masalah pembangunan nilai-nilai di Indonesia serta mencoba untuk mencari format pembangunan yang lebih mengindahkan nilai-nilai. 

I. Analisis situasi Perkembangan Budaya Masyarakat Indonesia.
Bila kita bertanya apa hasil pembangunan di masa orde baru hingga sekarang, maka kita akan mendapatkan berbagai angka-angka perkembangan ekonomi dan daftar panjang sejumlah sarana-prasarana fisik yang telah dibangun. Bagaimana dengan perkembangan sosial budaya kita? Beribu-ribu sekolah, perumahan, Rumah Sakit dan rumah ibadah telah dibangun, tetapi mampukah kita menjawab secara terukur perkembangan kwalitas kehidupan sosial atau budaya kita? Misalnya: ”Apakah masyarakat Indonesia semakin rukun?, semakin mandiri?, semakin peduli?. Sebagian besar orang pasti akan menjawab “tidak”, tetapi tak seorangpun bisa menentukan sejauhmana kemerosotan itu?, karena semua itu memang tidak pernah diukur. Beberapa gejala menonjol dari proses perkembangan nilai-nilai di Indonesia saat ini adalah:

Jurang antara Nilai ideal dan nilai aktual
Apakah masyarakat Indonesia tidak memiliki nilai-nilai luhur?, nilai-nilai adiluhung?, tentu saja punya!, sebut saja Pancasila yang dikagumi banyak bangsa lain, setiap daerah juga punya nilai tradisional yang dibanggakan. Tetapi kita tahu bahwa semua itu hanya merupakan “nilai ideal” (ideal values) sementara itu kehidupan kita sehari-hari dikendalikan dan diarahkan oleh seperangkat nilai-nilai lain seperti materialisme, pragmatisme, egoisme (baik pada tingkat individu, kelompok, daerah, sektor dsb.), hedonisme, permissiveness, opportunisme, primordialisme, dogmatisme. Nilai-nilai inilah yang kita anggap sesuai untuk mempertahankan “survival” di masyarakat modern saat ini. Ini semua adalah real atau actual values. Bangsa lain pasti juga mengalami kesenjangan antara nilai ideal dengan actual, tetapi pada masyarakat kita kesenjangan ini terasa amat dalam bahkan diametral, sehingga kita merasa menjadi bangsa yang munafik atau hipokrit. Pada masa Orde Baru kita menggalakkan penanaman Pancasila tetapi pada saat yang sama pimpinan negara sampai rakyatnya melanggar semua nilai-nilai itu. Di masa reformasi bangsa ini bertekad membasmi KKN, tetapi data menunjukkan bahwa korupsi di masa ini malah lebih merata daripada dimasa Orde Baru. Bangsa ini berteriak anti militerisme, tetapi budaya kekerasan dikalangan sipil semakin marak (semua parpol bangga dengan laskar-laskar sipilnya, budaya perpeloncoan yang sarat “kekerasan dan penyiksaan” terus bertahan di Universitas bahkan menjalar ke sekolah menengah dsb.). 

Inkonsistensi antar agen sosialisasi
Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami krisis nilai, situasi amat anomic karena adanya inkonsistensi yang tinggi antara nilai-nilai yang di sosialisasikan oleh suatu pranata sosial dengan pranata sosial lainnya. Nilai yang diajarkan orangtua di keluarga (yang kebanyakan berbasis agama dan adat) berbeda dengan nilai di sekolah (yang berbasis pada kebijakan pemerintah atau kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah). Nilai yang diajarkan disekolah juga tidak sama dengan nilai yang berlaku ditempat kerja yang saat ini nampaknya lebih di dominasi oleh nilai-nilai KKN (semua orang tahu bahwa korupsi di Indonesia adalah korupsi yang dilakukan bersama-sama secara sistemik, sering disebut sebagai “grouped corruption”). Media komunikasi massa (TV, internet, radio dsb.) yang semakin menjadi “primadona” di jaman revolusi informasi ini nampak semakin bebas membawa masyarakat pada system nilai yang amat pragmatis dan hedonis. Berbagai kekuatan agent of socialization ini bertemu dalam ruang publik yang “tak bertuan” (karena tidak ada pihak yang melindungi atau mengaturnya termasuk pemerintah). Akhirnya yang kuat akan meng-hegemoni yang lain, maka nilai-nilai yang paling pragmatis, materialistis dan mengagungkan kenikmatan (hedonistic)-lah yang nampaknya akan menang!.

Institusionalisasi tanpa internalisasi 
Sejak memasuki masa Reformasi, bangsa Indonesia ingin melakukan perombakan nilai-nilai Orde Baru yang dianggap “busuk” dan menggantinya dengan nilai-nilai baru. Dalam periode yang relatif singkat, parlemen (nasional maupun lokal) meluncurkan produk-produk hukum yang baru. Akan tetapi pelembagaan (institusionalisasi) hukum ini ternyata tidak diikuti secara seimbang oleh proses penanaman nilai-nilai yang melandasi norma baru tersebut (proses internalisasi). Misalnya UU Politik yang demokratis tidak diikuti oleh penanaman nilai-nilai demokrasi pada masyarakat luas baik melalui kehidupan di keluarga, komunitas, sekolah, media massa dsb. Maka terjadilah suatu gejala “institusionalisasi tanpa internalisasi”, akibatnya aturan dijalankan tanpa dilandasi penghayatan nilai-nilai. Melakukan pemilu tanpa nilai demokratis, menjalankan supremasi hukum tanpa menjiwai nilai keadilan. Hukum yang tidak didukung oleh system nilai masyarakat akan tumpul, individu-individu tidak akan memiliki rasa bersalah bila melanggarnya (tidak ada “inner control” ). Disamping hilangnya rasa bersalah, masyarakat kita juga mulai kehilangan rasa malu terhadap sesamanya, ini disebabkan karena kekuatan “kontrol sosial” mulai memudar dikalangan masyarakat. Bahkan sekarang masyarakat kita sering melakukan pelanggaran norma secara bersama-sama (misalnya korupsi “berjamaah”). Orang mengatakan kita sudah kehilangan budaya malu. Dalam situasi ini satu-satunya “rem” yang bisa menghambat orang melanggar peraturan adalah rasa takut misalnya terhadap hukuman atau takut terhadap petugas. Akan tetapi akhir-akhir ini kita melihat gejala bahwa banyak orang kehilangan rasa takutnya pada hukum, karena hukum dapat dibeli, dan “diatur”. Bila ketiga “rasa” tadi sudah memudar, darimanakah kita akan memulai penegakan hukum kita?

Pembangunan Budaya.
Perdebatan tentang mana yang lebih penting pembangunan ekonomi dan fisik atau pembangunan sosial-budaya merupakan perdebatan klasik yang tiada hentinya. Walaupun pembangunan ekonomi dan fisik pada kenyataannya lebih dominan dan menjadi prioritas, pemerintah selalu menyatakan bahwa pembangunan sosial-budaya tidak diabaikan, tetapi pembangunan sosial-budaya seperti apa?. Pembangunan budaya yang telah dilakukan pemerintah pada dasarnya memiliki beberapa pengertian yaitu:
1) Pembangunan sosial budaya diartikan sebagai “pembangunan sektor sosial-budaya” (yaitu sector yang outputnya bukan uang atau barang tetapi peningkatan kwalitas manusia atau kesejahteraan sosial) misalnya: sektor pendidikan, kesehatan, agama dsb. Hal ini memang penting sekali, tetapi secara sosiologis terdapat pertanyaan yang lebih mendalam yaitu: apakah pembangunan sektor sosial tsb. telah mengembangkan kwalitas interaksi sosial atau nilai-nilai budaya masyarakat secara keseluruhannya?. Misalnya apakah pembangunan sektor pendidikan kita saat ini mampu mengembangkan kreativitas ilmiah atau kemandirian manusia Indonesia?, apakah pembangunan sektor kesehatan mampu mengembangkan pola perilaku sehat?, apakah pembangunan sektor agama dapat mengembangkan nilai kerukunan?. Pada kenyataannya pembangunan sosial dalam pengertian ini masih belum mencukupi, karena belum mencakup pembangunan budaya atau nilai-nilai dalam arti yang sebenarnya. 

2) Pembangunan sosial budaya diasumsikan akan terjadi dengan sendirinya sebagai akibat dari pembangunan ekonomi (misalnya terjadi peningkatan etos kerja, profesionalisme, menghargai waktu dsb.) Asumsi ini sebagian benar, tetapi pemerintah perlu juga mewaspadai bahwa pembangunan juga dapat menghasilkan dampak sosial-budaya negatif (pemerintah sering menganggap hal ini sebagai social cost yang wajar dan harus diterima, tidak perlu dilawan dengan “pembangunan nilai-nilai”) misalnya berkembangnya nilai-nilai hedonisme, individualisme, dehumanisasi dsb.

3) Pembangunan budaya sering juga diartikan sebagai upaya konservasi (sekedar mengawetkan budaya lama). Kegiatan ini sering hanya dilandasi . Secara politis sering berfungsi sebagai aksesoris yaitu untuk memberi kesan bahwa regim yang sedang berkuasa cukup mempunyai “penghargaan” terhadap produk budaya klasik. Pembangunan bidang ini biasanya tidak memperoleh dana yang besar kecuali jika konservasi tersebut dikaitkan dengan investasi kepariwisataan.

4) Pembangunan budaya diartikan sebagai pembangunan nilai yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan ekonomi, jadi tujuan pembangunan yang utama adalah ekonomi. Nilai-nilai yang dikembangkan hanya untuk menopang pembangunan ekonomi. (mis. entrepreneurship, sikap partisipatif dsb.)

5) Pembangunan nilai sebagai tujuan utama dari pembangunan kwalitas manusia dan interaksi manusia misalnya pengembangan nilai-nilai keadilan (fairness), kerukunan (inclusiveness, brotherhood, communitarian), kepedulian (social responsibility, care), kemandirian (self reliance, independence bukan egoistic individualism), kejujuran (trustablity, honesty, sincerety), sinergi (maju bersama dengan prinsip win-win solution dan synthetic energy bukan sekedar kompromi, koalisi atau kolusi). Pembangunan budaya (nilai-nilai) jenis inilah yang terutama akan dibahas dalam tulisan ini, karena tujuannya adalah meningkatkan kwalitas interaksi, sikap dan perilaku manusia yang dapat mengarah pada suatu bentuk masyarakat adab.

Jadi, pembangunan budaya mungkin sudah dilakukan oleh semua negara atau bangsa, tetapi kita perlu melihat lebih jauh pembangunan budaya yang seperti apa? Dari 5 jenis pembangunan kebudayaan yang ada, sebaiknya kita tidak memilih salahsatu daripadanya, tetapi semuanya dan semangatnya harus bermuara pada yang terakhir (nomer 5).

Pembangunan budaya sendiri masih mengalami berbagai hambatan karena terdapat berbagai persepsi atau anggapan yang berbeda, misalnya sering dianggap alam merupakan faktor penentu dari terbentuknya budaya (misalnya daerah tropik menciptakan budaya santai dsb.). Kini banyak bangsa atau negara di daerah tropik yang punya budaya dinamis seperti negara non tropis. Kekuatan yang dapat merubah budaya adalah sense of direction dari masyarakat bersangkutan (seperti Singapore sebagai suatu negara kecil yang hanya bisa mengandalkan manusia dan budaya). Menurut faham cultural relativism tidak ada budaya yang buruk atau baik. Budaya Amerika baik untuk masyarakat amerika bukan untuk masyarakat Indonesia, itu mungkin benar, tetapi faham ini tidak boleh menjadi alasan untuk menghindari usaha memperbaiki degradasi system nilai yang terjadi di masyarakat kita. Unsur-unsur kebudayaan kita yang buruk perlu kita rubah dan kita buang dan unsur budaya lain yang baik bisa kita pelajari dan adopsi. Kontroversi mengenai cultural engineering sampai saat ini masih berlanjut. Sebagian orang mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang mengalir secara alamiah seperti sungai mencari jalannya sendiri. Tidak seorangpun termasuk pemerintah, berhak merekayasa kebudayaan kearah tertentu. Menciptakan suatu “blue print” budaya bagi seluruh masyarakat adalah tidak etis dan tidak sesuai dengan HAM. Memang benar kebudayaan merupakan hasil negosiasi sehari-hari dari berbagai kekuatan sosial dan factor-faktor lingkungan lain yang mempengaruhi kehidupan manusia:”social order is a negotiated order”, tetapi dalam kenyataan, ternyata kekuatan dari berbagai factor itu berbeda-beda, sehingga hampir semua kebudayaan di dunia ini jatuh dalam suatu scenario yang diciptakan secara sepihak oleh “pihak yang berkuasa” (hegemon). Pada jaman modern ini kaum kapitalis raksasa mencengkeram dan menyeret kebudayaan umat manusia kedalam jebakannya melalui kekuatan iklan dan gaya hidup konsumtivisme yang amat kuat dan merajalela (overwhelming). Pendekatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan yang telah menghasilkan 3 krisis besar didunia yakni: “kekerasan, kemiskinan dan kehancuran lingkungan” adalah hasil dari kekuatan rekayasa itu. Jadi sebenarnya cultural engineering sudah terjadi dalam kehidupan manusia. Apakah manusia akan menyerah pada kekuatan itu, ataukah akan melawan? Tidakkah mungkin masyarakat umum (civil society) bersama pemerintah merancang suatu scenario tandingan yang mampu mengembalikan manusia dari gejala “dehumanisasi” ini ? 

Pembangunan National Character?
Hal ini memang perlu, tetapi bukan untuk sekeder menyeragamkan daerah atau mengembangkan chauvinisme (fanatisme budaya nasional), tetapi yang lebih penting adalah membangun system nilai yang secara universal dapat menjembatani hubungan antar daerah bahkan antar negara secara adil, menghargai perbedaan, egaliter, tidak hegemonic, tidak primordialistis atau sectarian. Perlu ada tekad nasional untuk menciptakan suatu konsistensi nilai-nilai didalam proses sosialisasi. Jadi perlu ada nilai (universal) yang dikembangkan secara nasional, tetapi daerah tetap memiliki ruang untuk bisa mempertahan karakternya masing-masing. Tidak boleh terjadi misalnya suatu daerah menerapkan suatu hukum adat tertentu yang dapat menghambat kerjasama antar daerah (sektarianisme, eklusivisme).

Pembangunan Berbasis Nilai.
Rejim Orba pernah melakukan usaha pembangunan nilai-nilai Pancasila melalui P4. Ini merupakan suatu contoh cultural engineering yang gagal. Ini boleh disebut cultural engineering karena nilai-nilai yang akan ditanamkan telah ditentukan, diolah secara rapih dari atas, metodenyapun telah dirancang secara baku. Tidak ada yang boleh keluar dari pakem yang telah ditentukan. Tingkat paksaan (koersinya) cukup tinggi, bahkan dengan nuansa sakralisasi yang kental, sehingga Pancasila dapat menjadi label dari orang yang baik atau tidak baik (berbahaya). Nilai-nilai itu amat mutlak tidak dapat ditawar dan sebagian terbesar digunakan untuk meningkatkan konformitas dogmatis terhadap rejim, sehingga ini boleh disebut sebagai indoktrinasi. Sebagai proses pelembagaan (institusionalisasi) P4 boleh dibilang sukses, tetapi tingkat internalisasi (menjadi darah daging dan kepribadian) pada warganegara sangat tipis. Sebagai ekses dari kegagalan P4 sekarang justru nilai-nilai pancasila yang masih amat berguna bagi bangsa ini menjadi korban ketidak percayaan masyarakat. Kegagalan pembangunan nilai-nilai dengan P4 ini tidak boleh dijadikan alasan bahwa bangsa ini tidak perlu lagi melakukan pembangunan nilai-nilai. 

Bangsa Korea dibawah Park Chung Hee pernah melakukan suatu gerakan pengembangan nilai-nilai untuk membangkitkan kembali bangsa Korea dari keterpurukan mental dari penjajahan Jepang. Gerakan Semaul Undong itu difokuskan pada pengembangan tiga nilai yang dianggap paling strategis bagi bangsa Korea pada saat itu yaitu: diligence (kerajinan atau kerja keras), self reliance (kemandirian) dan cooperation (kerjasama atau gotong royong). Ini semua bukan nilai dasar (ultimate values), tetapi nilai instrumental yang sifatnya strategis untuk dikembanghkan pada masa itu. Gerakan Semaul Undong adalah gerakan yang didukung sepenuhnya oleh pimpinan nasional dilakukan secara sistematis dan konsisten. Keberhasilan semua program pembangunan (termasuk ekonomi dan fisik) dikaitkan dengan pengembangan ketiga nilai tersebut. Karena komitmen yang tinggi dari semua komponen bangsa, maka gerakan itu bisa dibilang berhasil dan merupakan salah satu faktor yang membentuk bangsa Korea menjadi seperti sekarang ini.

Melihat keberhasiln Korea dalam membangun nilai-nilai, maka kita harus merasa optimis untuk dapat melakukan hal serupa. Kita semua menyadari bahwa dalam proses melakukan pembangunan nasional, kondisi budaya kita justru terus mengalami kemerosotan. Kita perlu melakukan suatu pengembangan orientasi budaya yang baru dan ini tidak cukup hanya dengan merumuskan suatu strategi kebudayaan, kita harus lebih jauh lagi melakukan suatu perencanaan pembangunan sosial budaya yang lebih konkrit.

Pembangunan Berbasis Nilai adalah suatu pembangunan seluruh aspek kehidupan bangsa (ekonomi, politik fisik, sosial dan budaya) yang dilandasi oleh nilai tertentu. Keberhasilan pembangunan ini bukan hanya dilihat dari pencapaian kwantitatif setiap bidang atau sektor pembangunan, tetapi terutama tertanamnya nilai-nilai strategis yang telah ditargetkan. Dengan demikian pembangunan ini tidak hanya bersifat “growth oriented”, tetapi berbasis nilai atau “value based”. Pembangunan nilai-nilai itu tidak boleh direduksi kedalam pembangunan sektoral misalnya “sektor budaya”. Pembangunan nilai disini menjadi bersifat sosietal (mencakup seluruh bidang kehidupan).
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson