Pengembangan Pendidikan Dalam Rangka Desentralisasi Dan Otonomi Daerah

Pengembangan Pendidikan Dalam Rangka Desentralisasi Dan Otonomi Daerah 
Kebijakan otonomi daerah memberi implikasi bagi penyelenggaraan pendidikan di daerah. Sebelum reformasi digulirkan, mainstream politik pendidikan yang berjalan adalah sentralisasi. Kebijakan sentralisasi pendidikan meskipun memiliki banyak keunggulan, tetapi telah terbukti membuat dunia pendidikan di Indonesia tidak demokratis dan kurang dapat memberdayakan masyarakat secara maksimal. Kebijakan yang top down, berdampak pada tidak teraktualisasinya potensi masyarakat di daerah yang hanya menunggu kebijakan dari pemerintah pusat. Akibatnya masyarakat di daerah tidak kreatif, inovatif, dan dinamis dalam mengembangkan pendidikan di daerah. 

Adanya kebijakan otonomi daerah, membuka kran demokratisasi pendidikan. Kebijakan pendidikan tidak lagi top down yang semuanya ditentukan oleh pemerintah pusat. Kebijakan pendidikan telah bergeser menjadi button up, dalam artian bahwa meskipun pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam penanganan penyelenggaraan pendidikan, tetapi kewenangannya hanya dalam skala makro. Pemerintah daerah diberikan kesempatan yang sebesar-besarnya menentukan dan merumuskan kebijakan teknis pendidikan di daerah. Pemerintah daerah diberikan keleluasaan sepenuhnya untuk memberdayakan dan memajukan pendidikan di daerah melalui terobosan-terobosan baru. Dengan demikian, kreatifitas dengan sendirinya muncul seiring desentralisasi pendidikan yang memberi kewenangan sepenuhnya kepada pemerintah daerah 

A. Pengertian dan Subtansi Kebijakan Otonomi daerah 
J. Kaloh (2002 : 3) bahwa tonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Daerah diberikan beberapa kewenangan tertentu untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan. Istilah otonomi daerah tidak dapat dipisahkan dari desentralisasi. J. Green dan Baron (Hasan, 2003 : 175) bahwa istilah desentralisasi mengandung makna proses pendelegasian atau pelimpahan kekuasaan atau wewenang dari pimpinan atau atasan ke tingkat bawahan dalam organisasi. Sedangkan Bray (Sirozi, 2005 : 232) mendefinisikan desentralisasi adalah proses ketika tingkat-tingkat hierarki di bawahnya diberi wewenang oleh badan yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan tentang penggunaan sumber daya organisasi. Desentralisasi adalah pemberian kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerah sebagai daerah otonom. Proses pendelegasian atau pemberian wewenang tersebut dinamakan dengan desentralisasi, sedangkan hak wewenang daerah untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan di daerah disebut dengan otonomi daerah. 

Dalam UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia. Di dalam UU tersebut disebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup semua kewenangan kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama. Sedangkan pendidikan merupakan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Dengan demikian, desentralisasi pendidikan adalah penyerahan wewenang pemerintah pusat dalam bidang pendidikan kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom. Pemerintah daerah memiliki hak kewenangan yang seluas-luasnya dalam merumuskan dan menyelenggarakan pendidikan di daerah.

B. Kewajiban Pemerintah Daerah di Bidang Pendidikan 
Kewenangan pemerintah daerah yang memiliki hak otonom dalam penyelenggaraan pendidikan, tersirat dalam undang-undang sistem pendidikan nasional. Anwar Arifin (2003 : 26-28) kewenangan tersebut diantaranya adalah ;
1. Mengatur dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
2. Kewajiban memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
3. Menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warganegara
4. Menfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu
5. Menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
6. Kewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan
7. Kewajiban membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat
8. Mengalokasikan dana minimal 20 % dar APBD 
9. Kewajiban mengelola satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

C. Kriteria dan Upaya Pengembangan Pendidikan Bermutu
Pendidikan bermutu mempunyai standar tertentu. Menurut Sallis (Sudarwan Danim, 2003:79), mutu dapat diartikan sebagai derajat kepuasan luar biasa yang diterima oleh kostumer sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Sedangkan mutu pendidikan di sekolah menurut Achmad (Sudarwan Danim, 2003:79) adalah kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efesien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma atau standar yang berlaku. 

Klarifikasi mengenai standar mutu lulusan lembaga pendidikan antara lain dapat dilakukan dengan jmenjabarkan konsep link and match antara output pendidikan dengan dunia kerja atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ukuran mutu pendidikan juga dapat diakses dari tercapai tidaknya tujuan institusional lembaga itu, yaitu atas dasar persentase lulusan yang dapat diterima pada jenjang pendidikan diatasnya.

Sedangkan Engkoswara melihat mutu atau keberhasilan pendidikan dari tiga sisi yaitu prestasi suasana dan ekonomi. Sallis (Sudarwan Danim, 2003:79) mengemukakan bahwa ada dua standar utama untuk mengukur mutu, yaitu standar hasil dan pelayanan serta standar kostumer. Lebih lanjut dijelaskan bahwa indikator yang termasuk ke dalam standar hasil dan pelayanan adalah spesifikasi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperoleh oleh anak didik, hasil pendidikan itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat atau dunia kerja, tingkat kesalahan kecil, bekerja benar dari awal dan benar untuk pekerjaan berikutnya. Sedangkan standar kostumer mencakup mencakup terpenuhinya kepuasan, harapan, dan pencerahan hidup bagi kostumer tersebut. 

Untuk mewujudkan pendidikan bermutu, Mastuhu (2003: 66-23) memberikan gagasan tentang paradigma akademik, tata among, demokrasi pendidikan, otonom, akuntabilitas, evaluasi diri, akreditasi, kompetensi, kecerdasan, kurikulum, metodologi pembelajaran, SDM, dana, perpustakaan dan laboratorium serta alat pembelajaran, lingkungan akademik serta kerja jaringan. 

Lebih lanjut dijelaskan bahwa paradigma akademik harus jelas mengenai visi, misi, orientasi, sasaran, tujuan serta strategi. Sedangkan Tata pamong meliputi susunan dan struktur organisasi, lengkap dengan unit-unit kerja, posisi, peran dan otoritas kewenangan masing-masing serta mekanisme kerjanya. Kerja tata pamong menjangkau kepemimpinan, perencanaan, implementasi program, pengawasan, evaluasi networking dengan berbagai pihak dan interaksi akademik. Intinya adalah manajemen. Sebuah lembaga pendidikan akan efektif di dalam mencapai tujuan institusionalnya jika seluruh komponen secara terpadu melaksanakan tugasnya masing-masing dengan penuh rasa tanggung jawab dibawah kendali seorang pimpinan yang punya potensi manajerial yang baik. 

Syarat demokrasi pendidikan sangat membantu mewujudkan pendidikan yang bermutu, karena tanpa demokrasi maka otonomi pendidikan sebagai salah satu paradigma baru penyelenggaraan pendidikan, sangat sulit untuk diwujudkan. Dengan demokrasi dan otonomi pendidikan, maka penyelenggara pendidikan dapat mengelola komponen pendidikan secara maksimal secara bertanggungjawab kepada masyarakat. Penyelenggara pendidikan dapat melaksanakan pendidikan secara terbuka dan bertanggungjawab akan mutunya kepada siswa, orangtua, pemerintah maupun masyarakat pengguna jasa.

Dalam melaksanakan pendidikan, diperlukan juga evaluasi diri lembaga pendidikan untuk melihat kinerja dan penampilan kerja secara komprehensif. Evaluasi ini dilakukan dengan tujuan untuk menyiapkan perencanaan perbaikan dan pengembangan lembaga sebagai persiapan penilaian oleh pihak luar atau pengguna jasa pendidikan.

Kurikulum juga merupakan bagian dari syarat pendidikan bermutu. Kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat yang selalu mengalami perubahan, akan sangat bermakna ketika disajikan kepada peserta didik sebagai bekal untuk melanjutkan studi pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, atau ketika memasuki dunia kerja. Kurikulum pendidikan mesti diberikan dengan metodologi pembelajaran yang mapan agar peserta didik akan kreatif, inovatif dan mandiri yang mampu mengembangkan materi pelajaran tanpa menggantungkan diri pada orang lain.

Sumber daya pendidikan berupa guru, pimpinan dan seluruh tenaga kependidikan merupakan faktor determinan bagi peningkatan pendidikan yang bermutu. Karena itu, guru dan tenaga kependidikan harus profesional. Demikian pula pimpinan harus mempunyai kemampuan manajerial yang baik. Karena kemampuan dan profesionalisme pendidikan, akan sangat menentukan bagi terwujudnya pendidikan yang bermutu.

Persoalan dana juga penentu kualitas pendidikan. Anggaran pendidikan yang besar akan sangat menentukan optimalisasi pelaksanaan pendidikan. Dengan adanya dana yang memadai, maka seluruh kebutuhan-kebutuhan komponen pendidikan dapat disediakan guna menunjang kegiatan pembelajaran. Untuk masalah dana ini, di dalam Undang-undang Sisdiknas no. 20 tahun 2003 telah ditetapkan bahwa anggaran pendidikan dialokasikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD. Jika pemerintah komitmen dengan ketentuan itu, maka prospek pendidikan akan lebih baik dan bermutu. 

Lingkungan pendidikan juga sangat mendukung bagi terwujudnya pendidikan yang bermutu. Sarana dan prasarana baik gedung sekolah maupun perangkat-perangkatnya infrastruktur lainnya seperti perpustakaan, akan berperan secara maksimal bagi proses pendidikan jika keberadaannya dapat dimanfaatkan secara efektif dan nyaman dalam mendukung tugas guru dan peserta didik. 

D. Konsep Umum Desentralisasi dan Daerah Otonomi
Pada akhir tahun 1970-an, pemerintahan yang sentralis mendapatkan tanggapan, terbentuknya infrastruktur nasional dikelilingi keluhan-keluhan dari lokalitas. Pemecahan yang direkomendasikan adalah mendesentralisasi- kan banyak tanggung jawab kepada pemerintah lokal dalam infra struktur lokal dan manajemen pembangunan perkotaan. Pengurusan oleh pemerintah lokal dipandang lebih baik dan lebih menguntungkan untuk menginformasi-kan kebutuhan akan daerah tersebut, mengenai investasi daerah dan mobilisasi sumber daya.

Dillinger (1994:84) menjelaskan lebih dari 75 negara berkembang dan negara transisi dengan populasi lebih dari 5 juta, mengklaim bahwa pengalihan kekuatan politik berada pada unit pemerintah lokal. Di beberapa negara mendukung adanya devolusi (desentralisasi), yang motivasinya adalah bahwa tidak ada kerancuan prinsip dan tendensi politik. Di negara-negara lain para pemimpin nasional tetap mempertahankan prinsip sentralis tetapi perluasan pertumbuhan pemilihan mayoritas tetap berlaku. 

Secara filosofis-ideologis, desentralisasi (otonomi daerah) dapat dipandang sebagai suatu asas atau cara pemberian kesempatan yang relatif luas bagi tumbunya partisipasi masyarakat, serta mendorong daerah untuk dapat membuat keputusan secara mandiri tanpa harus bergantung kepada pusat.

Menurut Rondinelli (1981:34) desentralisasi adalah The transfer or delegation of legal and political authority to plan, make decision and manage public fuctions from the control governmented, its agencies to field organization of those agencies, sub ordinate unit’s of government, semi autonoms public corporations, area wide or region development authorities; fuction authorities; autonom local governments or non governmental organizations (desentralisasi adalah pemberian, penyerahan atau pendelegasian yang resmi berdasarkan ketentuan yang berlaku dari kekuasaan politik meliputi lembaga, hubungan antar lembaga, pemberian atau penyerahan kekuasaan/kewenangan untuk merencanakan, membuat dan memanage fungsi umum pemerintahan (pemerintah pusat) dan unit-unit organisasi yang ada dilapangan dari beberapa bagian yang merupakan sub ordinat pemerintah pusat, sebagaian/setengah berdiri sendiri dari kelompok pemerintah dalam wilayah yang luas atau kewenangan pembangunan wilayah (regional), fungsi kewenangan, kewenangan pemerintahan wilayah atau daerah atau organisasi-organisasi non pemerintah)

Sedangkan Mawhood (1983:109) mendefinisikan desentralisasi adalah A word that hal been used by different people to mean a good many different things, most of us and most of government like the idea of decentralization. It suggest the hope of craking open the blockage of an inivit central bureaneracy, curing managerial constipation, giving more direct acces for the people, simulating the whole nation to participate in national developments plants

Jadi desentralisasi adalah suatu istilah yang digunakan oleh orang-orang yang beraneka ragam pola pikirnya untuk memahami tentang sesuatu hal yang bermanfaat dan penafsirannya pun berbeda-beda pula. Sebagian kecil para pemikir dan sebagian besar dari pemerintah, karena mempunyai suatu harapan pemilahan yang dapat membuka blokade pemerintah pusat serta memberikan langsung akses dari masyarakat kepada pemerintah dan pemerintah kepada masyarakat secara keseluruhan dalam merangsang partisipasi masyarakat secara keseluruhan dalam pelaksanaan pembangunan daerah.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada hakekatnya desentralisasi yang mengarah ke political desentralization memiliki tiga aspek yaitu :

a. Otonomi Lokal;
1) Pemerintah pusat masih memiliki manuver politik dan memiliki pengaruh terhadap penguasa lokal atau daerah;
2) Pemerintah pusat masih mempunyai kewenangan untuk “standarisasi”, sehingga kewenangan pengawasan masih ada;
3) Pemerintah pusat tidak ikut bersusah payah, tetapi dapat menikmati hasilnya;

b. Demokrasi dalam arti partisipasi lokal;
1) Freedom of something tetapi freedom to do something, kebebasan terhadap sesuatu hal masih tergantung pada pemerintah pusat;
2) Local Leadership, yang berakar dari daerah bisa tumbuh pesat, namun hal ini tidak disenangi oleh pemerintah pusat;
3) Tidak mungkin ad “local shelf government”

c. Efisiensi 
1) Membangun sesuatu, dominasi pemerintah pusat menonjol, sehingga tidak efisien karena tidak ada “policy local”;
2) Jangan sampai terjadi “spending blindy” dalam arti pada saat akhir anggaran (tahun anggaran), repot membelanjakan/menghabiskan anggaran;

Pada tingkat yang lebih pragmatis, desentralisasi/pemberian otonomi merupakan salah satu strategi dalam suatu proses pembangunan guna mangatasi berbagai hambatan institusional fisik maupun hambatan-hambatan administrasi. Dengan demikian desentralisasi/pemberian otonomi merupakan strategi untuk mendemokratisasikan sistem politik. Sejalan dengan pandangan ini, otonomi dapat dipandang sebagai kebebasan bagi masyarakat setempat untuk mengatasi masalahanya sendiri yang bersifat lokalitas. Meskipun harus dipahami bahwa desentralisasi/pemberian otonomi, bukan merupakan penyerahan kemerdekaan sepenuhnya, melainkan kebebasan dalam ikatan kesatuan yang lebih besar, sehingga otonomi hanyalah merupakan subsistem dari sistem kesatuan yang lebih besar.

Rondinelli (1981:42-46) mengemukakan bahwa ada sembilan manfaat desentralisasi yaitu desentralisasi adalah saran untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang diakibatkan oleh perencanaan nasional yang tersentral;
a. Desentralisasi adalah sarana untuk memangkas sejumlah besar red tabe dan prosedur yang terlalu kaku yang biasanya menjadi ciri dari perencanaan pembangunan di negara-negara sedang berkembang sebagai akibat dari terlalu menumpuknya kekuasaan, kewenangan-kewenangan dan sumber-sumber pada pemerintahan pusat;
b. Dengan mendesentralisasikan fungsi-fungsi dan menugaskan pejabat-pejabat pemerintah pusat ke daerah, maka pengetahuan dan kepekaan mereka terhadap masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan daerah akan meningkat. Kontak yang dekat antar pejabat pemerintah dengan penduduk setempat akan memungkinkan debutuhan-kebutuhan daerah akan meningkat. Kontak yang dekat dengan antar pejabat-pejabat pemerintah dengan penduduk setempat akan memungkinkan keduanya memperoleh 
c. informasi yang lebih baik sehingga dapat dimanfaatkan untuk merumuskan perencanaan bagi proyek dan program yang lebih realistis;
d. Desentralisasi akan memungkinkan penetrasi politik dan administrasi atas kebijakan-kebijakan pemerintah nasional/pusat sehingga masuk ke daerah-daerah pelosok/terpencil, dimana rencana-rencana pemerintah pusat sering tidak diketahui atau diabaikan oleh orang-orang desa atau direbut (digerogoti) oleh elit-elit setempat dan dimana dukungan terhadap rencana pembangunan nasional sering amat lemah;
e. Desentralisasi memungkinkan terwujudnya berbagai kelompok politik, keagamaan, kesukuan/etnis dalam proses pembuatan keputusan pembangunan sehingga membe
f. ri peluang terciptanya keadilan dalam alokasi sumber-sumber dan inventasi pemerintah;
g. Desentralisasi akan memberikan peluang yang kian besar bagi berkembangnya kemajuan administratif di kalangan pejabat pemerintah daerah dan lembaga-lembaga swasta diseluruh wilayah dan propinsi, sehingga dengan demikian memperluas jangkauan kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi-fungsi tertentu yang biasanya tidak begitu baik jika dilaksanakan departermen-departemen pusat, misalnya pemeliharaan jalan, inventasi infrastruktur di daerah-daerah pelosok. Hal ini juga memberi peluang bagi pejabat-pejabat daerah untuk mengembangkan kemampuan manajerial dan teknisnya;
h. Efisiensi pemerintah pusat dapat ditingkatkan melalui desentralisasi dengan cara membebaskan pejabat-pejabat manajemen puncak dari tugas-tugas rutin yang sebenarnya akan lebih efektif jika dilaksanakan oleh staf lapangan atau pejabat-pejabat daerah setempat. Terbebasnya dari tugas-tugas rutin itu akan memberikan waktu yang lebih banyak bagi pimpinan-pimpinan politik dan administrasi untuk memikirkan penyusunan rencana secara lebih matang dan mengawasi implementasi kebijakan-kebijakan pembangunan secara lebih baik;
i. Desentralisasi dapat pula berperan menyediakan sebuah struktur melalui aktivitas-aktivitas dari departemen dan badan-badan pemerintah yang terlibat dalam pembangunan dikoordinasi secara lebih efektif. Demikian aktivitas-aktivitas dari tokoh-tokoh/elit lokal dan organisasi politik dari berbagai daerah di wilayah yang sama;
j. Untuk melembagakan partisipasi rakyat dalam perencanaan dan manajemen pembangunan, struktur pemerintah perlu didesentralisasi.

Arti pentingnya desentralisasi ini juga dikemukakan Kenichi Ohmae (1995:103). Menurutnya, ada 4 (empat) faktor yang dapat menembus batas-batas negara bangsa tanpa rintangan, yaitu : investment, individual consumers, industry dan information. Untuk sebagai tindak lanjut dari penerapan sistem desentralisasi, maka dibentuklah daerah-daerah otonom yang berhak dan berkewajiban untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Seperti didefinisikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 1, tentang pemerintah daerah sebagai berikut : “daerah otonom yang selanjutnya disebut sebagai adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwewenang mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Selanjutnya Kaho (1982:14) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Mula-mula otonomi atau berotonomi berarti mempunyai peraturan sendiri atau mempunyai hak/kekuasaan/wewenang pengaturan atau legislatif sendiri. Pemerintahan itu sendiri meliputi pengaturan atau perudang-undangan sendiri, pelaksanaan dan kepolisain sendiri. Jadi daerah otonom adalah yang diberi wewenang atau kekuasaan oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah atau isi otonomi daerah.

E. Konsep Otonomi Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Secara konseptual, otonomi daerah dipahami sebagai suatu hak dan wewenang daerah untuk mengatur dirinya secara mandiri. Menurut Vincent Lemieux (1986:4) otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri, baik keputusan politik maupun keputusan administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 1 tentang pemerintahan daerah mengatakan bahwa pengertian otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah asas desentralisasi, dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan.

Adanya pemerintah daerah yang besifat otonom, adalah sebagai konsekuensi dilaksanakannya asas desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara yuridis formal, pelaksanaan otonomi dilaksanakan pada otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Pernyataan ini sebagaimana diungkapkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai berikut : “ …….. Pemberian kewenangan otonomi kepada daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab” (UU No. 22 Tahun 1999 : 65).

Dengan wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab mengandung pengertian bahwa kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Di samping itu keleluasaan otonomi mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu secara nyata yang diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang baik antar pemerintah daerah dengan pusat, antar pemerintah daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 22 tahun 1999:66).

Kemudian penyelenggaraan pemerintah daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan;
b. Penyelenggaraan desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di daerah Kabupaten dan kota, dan
c. Asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di daerah propinsi, Daerah Kabupaten, Daerah Kota dan Desa.

Atas dasar pemikiran di atas prinsip-prinsip otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah;
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab;
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh dilaksanakan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas;
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah;
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom dan karenanya daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina pemerintah atau pihak lain seperti bada otoritas, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku peraturan daerah otonom;
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peraturan dan fungsi dari badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah;
g. Pelaksanaan asas dekonsentrasi ditekankan pada daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur dan wakil pemerintah;
h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembagian sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya (UU No. 22 Tahun 1999 : 67).

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab tidak lagi menekankan bahwa otonomi lebih merupakan kewajiban dari pada hak, tetapi memberikan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota kepada asas desentralisasi saja.

Peletakan otonomi kepada daerah kabupaten dan daerah kota bermanfaat untuk meningkatkan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataan daerah kabupaten dan daerah kota lebih langsung kepada masyarakat, sehingga daerah kabupaten dan kota lebih mengetahui keinginan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat dibandingkan dengan daerah propinsi. Dengan demikian prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab akan lebih mudah dan cepat diwujudkannya.

Secara teoritis pendapat tersebut sejajar dengan apa yang dikemukakan oleh Samuel Hume dan Eiken Martin. Keduanya mengatakan bahwa di negara-negara yang pemerintahan daerahnya terdiri dari beberapa tingkat, penyelenggaraan pemerintah daerah akan lebih memuaskan apabila berada pada tingkat yang lebih dekat dengan rakyat dan yang kegiatan-kegiatannya dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh rakyat. Dengan semakin akrabnya hubungan antara pemerintahan dengan rakyatnya maka akan saling mendorong timbulnya pengertian dan pada gilirannya nanti akan menimbulkan tumbuhnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam segala kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terutama sekali dalam pelaksanaan pembangunan (Humes dan Martin, 1991:19).

Pendapat tersebut diperkuat pula oleh Arthur Maes dan Jakson. Mereka mengatakan bahwa agar tingkatan pemerintah setempat (teers of local government) itu tidak terlalu banyak, khusus yang berkaitan dengan otonomi daerah, karena apabila daerah otonom terlalu banyak tingkatannya, maka kewenangan akan lebih banyak pada tingkat atas dan semakin ke bawah akan semakin sedikit. Makin sedikit kewenangan sampai ke bawah, maka semakin sedikit pula pelayanan yang sampai ke rakyat. Kemudian semakin banyak tingkatan daerah otonom semakin menyulitkan penentuan sumber keinginan (financial resources), misalnya menentukan pajak daerah (Humes dan Martin, 1991:20).

Pendapat beberapa sarjana Indonesia banyak yang menghendaki diperkecilnya jumlah tingkatan daerah otonom, seperti yang dinyatakan oleh Hatta (1991:21) bahwa cita-cita otonomi akan lebih nampak apabila titik beratnya diletakkan di kabupaten, maka akan mendekati demokrasi yang mendekati rakyat, melaksanakan cita-cita rakyat yang tertanam dalam pengertian dari pemerintahan dari yang diperintah.

Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila susunan otonomi terlalu banyak lapisnya, maka kekuasaan mengurus terlalu banyak tersangkut di atas dan sedikit yang sampai ke bawah. Dalam keadaan semacam ini, otonomi kabupaten bisa terjepit, otonomi desa tidak akan hidup dan lambat laun orang di daerah memandang propinsi itu sebagai suatu konsentrasi kekuasaan yang begitu hebat sehingga berbagai bagiannya ingin menjadi propinsi sendiri (Hatta, 1991:21).

Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penyederhanaan daerah otonom dengan lebih kepada daerah Kabupaten dan Kota, paling tidak mempunyai alasan sebagai berikut :
a. Pemerintah Daerah Tingkat II langsung berhubungan dengan rakyat, karena itu lebih mengetahui keinginan, aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya;
b. Jika otonomi lebih diberikan dari satu tingkatan akan menimbulkan kesulitan pada financial resources (sumber keuangan) kepada tingkat-tingkat pemerintah tersebut. Misalnya pajak berganda yang pada gilirannya akan memberatkan masyarakat;
c. Jika otonomi pada banyak tingkatan pemerintahan kewenangan cenderung mengumpul ke atas, semakin ke bawah semakin mengecil yang pada gilirannya kewenangan yang sedikit akan menyebabkan semakin sedikitnya pelanggaran terhadap masyarakat;
d. Dari sudut keamanan dan integrasi nasional akan lebih aman jika diberikan kepada Daerah Tingkat II, ketimbang Tingkat I karena peluang separatis lebih besar terjadi pada Tingkat I.

Dengan demikian peletakan otonomi lebih kepada daerah kabupaten dan daerah kota adalah dalam rangka mewujudkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson