Pendidikan Ips Yang Powerful Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi

Pendidikan Ips Yang Powerful Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi 
Sejalan dengan kebijakan pemerintah, khususnya Depdiknas, dalam upaya implementasi kurikulum 2004 berbasis kompetensi, Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng telah mensosialisasikan dan menghimbau sekolah-sekolah (dari tingkat SD hingga SMP dan SMA/SMK) untuk melaksanakan kurikulum tahun 2004 yang lazim disebut kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dalam pelaksanaan program pendidikan mereka. Dua sekolah, yaitu SMA Negeri 1 Singaraja dan SMP negeri 1 Singaraja, bahkan telah melaksanakan pilot project untuk penerapan KBKini sejak tahun ajaran 2002/2003.

Sebagai bagian integral dari program-program pendidikan dan pengajaran, penerapan KBK diharapkan meliputi seluruh mata pelajaran yang ada di sekolah sesuai dengan aturan yang berlaku. Mata pelajaran rumpun IPS juga tidak terlepas dari penerapan kurikulum ini. Ini berarti bahwa untuk mata pelajaran rumpun IPS tidak tertutup kemungkinan, bahkan wajib, harus menerapkan kurikulum baru ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan dan pengajarannya.

Sesuai dengan misi yang hendak dicapai dalam pembaharuan pelaksanaan kurikulum di Indonesia ini, visi, misi, dan tujuan Pendidikan IPS di sekolah juga mengalami proses transformasi. Pada dasarnya pembaharuan ini diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia yang kini kondisinya sangat terpuruk. Bagi Pendidikan IPS setidak-tidaknya melalui KBK ini diharapkan dapat menjadi wahana pendidikan demokrasi yang lebih substansial, dalam arti learning democracy, in democracy, and for democracy tanpa harus meninggalkan karakteristik utamanya sebagai upaya nation and character building (Winataputra, 2001).

Masalahnya, masih banyak kalangan ilmuwan dan praktisi Pendidikan IPS yang salah dalam menginterpretasikan makna pembaharuan kurikulum Pendidikan IPS berbasis kompetensi ini. Dalam berbagai kesempatan seminar dan kegiatan sosialisasi KBK Pendidikan IPS ke sekolah-sekolah, masih banyak teman sejawat dosen dan guru-guru yang menilai perubahan yang terjadi dari Kurikulum IPS Tahun 1994 ke Kurikulum IPS Tahun 2004 berbasis kompetensi hanyalah perubahan yang bersifat redaksional belaka. Alasannya, perubahan yang ditunjukkan dalam dokumen kurikulum intinya, di samping hanya menyederhanakan jumlah pokok materi yang termuat dalam satuan kelas, juga hanya mengubah redaksi tujuan pembelajaran menjadi bentuk-bentuk kompetensi yang harus dicapai dalam bahasa standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator hasil belajar. Perubahan seperti ini menurut banyak praktisi Pendidikan IPS hanyalah mengubah tujuan belajar menjadi kompetensi belajar, sedangkan inti dan maknanya sama saja. Atas latar belakang inilah artikel ini perlu menjelaskan kembali hakikat Pendidikan IPS yang powerful dalam kurikulum berbasis kompetensi. 

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Sekolah
Munculnya kebijakan pengembangan dan pelaksanaan KBK secara umum dapat dikatakan dilatarbelakangi oleh, antara lain: perkembangan iptek yang sangat pesat, pengaruh globalisasi, pengaruh perkembangan demokrasi dan HAM, perubahan budaya dan pola hidup, kemerosotan mutu pendidikan di Indonesia, dan akhirnya krisis multidimensi yang dihadapi Indonesia. Atas dasar latar belakang seperti ini maka sebagai upaya mengatasi masalah keterbelakangan pendidikan dan mutu sumber daya manusia Indonesia dalam pembangunan di era global, dikembangkanlah paradigma baru pendidikan Indonesia abad ke-21 dengan paradigma Broad-based Education (Depdiknas, 2001). Untuk mendukung paradigma ini, maka substansi baru pendidikan juga perlu dikembangkan yang lebih sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat Indonesia dalam percaturan pesaingan internasional dewasa ini, yaitu substansi pendidikan kecakapan hidup (life skill) dengan orientasi pada pengembangan keterampilan hidup yang meliputi pengembangan keterampilan personal, sosial, intelektual, akademis, dan vokasional. Kurikulum yang diyakini bisa menjamin pencapaian penguasaan substansi life skills ini adalah kurikulum berbais kompetensi yang dalam pelaksanaannya di sekolah atau di kelas akan diatur dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah dan masyarakat (Suryadi, 2002). Jadi, untuk memahami makna KBK sesungguhnya tidaklah bisa dipisahkan dari latar belakang yang mendasari keseluruhan kebijakan pendidikan di atas. Tentu sangatlah fatal salahnya kalau hanya menafsirkannya dengan sekadar perubahan nama atau bentuknya saja tanpa ada perubahan isi atau maknanya. 

Mengapa kurikulum berbasis kompetensi dan apa yang salah dengan kurikulum 1994 yang beroriantasi tujuan? Kurikulum berorientasi tujuan cenderung mengutamakan tujuan pengajaran dari pada pemberdayaan siswa; cenderung sentralistik dalam amnajemen; mengutamakan penguasaan keilmuan dan informasi dalam substansi; sarana pedoman untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi; padat dengan materi pengetahuan yang tidak bermakna (artificial); membatasi kreativitas guru dan siswa baik dalam proses maupun produk belajar; berorientasi pada penilaian aspek kognisi belaka; serta kurang mengakomodasi kebutuhan dan keragaman daerah, masyarakat, sekolah, dan siswa dalam perancangan pembelajaran dan belajar siswa. Sebaliknya, KBK diharapkan bertujuan pada pemberdayaan dan pengembangan kompetensi kecakapan-kecakapan hidup; desentralistik dalam manajemen; berorientasi pada penguasaan kompetensi life skills untuk kehidupan di masyarakat tanpa mengabaikan bobot keilmuan dan informasi dalam substansi; sarana pedoman pencapaian kompetensi untuk bekal hidup dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi; mengandung pokok-pokok materi keilmuan dan pengembangan life skills yang berguna (meaningful); mengembangkan kreativitas guru dan siswa baik dalam proses maupun produk belajar; berorientasi keterpaduan penilaian aspek kognisi, disposisi nilai-nilai dan sikap, komitmen, serta keterampilan praktik profesional; mengakomodasi kebutuhan dan keragaman daerah, masyarakat, sekolah, dan siswa dalam pengembangan proses dan hasil belajar; serta berorientasi pada proses belajar, learning output dan learning outcome. Perubahan dari kurikulum 1994 ke kurikulum berbasis kompetensi, karena itu, diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan sekolah melalui penguasaan baik kompetensi keilmuan maupun kompetensi life skills oleh peserta didik yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan di era kemajuan iptek seperti sekarang.

Ada beberapa implikasi KBK sesuai dengan karakteristik seperti di atas. Pertama, kurikulum kompetensi menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal. Ini berarti program pendidikan dan pembelajaran di sekolah haruslah dapat membantu siswa baik secara individual maupun klasikal mencapai pembentukan dan pengembangan kompetensi dasarnya (minimal) yang mencakup kompetensi standar rumpun mata pelajaran, kompetensi lintas kurikulum, dan kompetensi tamatan. Dengan ketercapaian kompetensi ini sekurang-kurangnya siswa dapat menguasai pengetahuan, memiliki nilai-nilai dan sikap, serta keterampilan dasar pokok yang dibutuhkan minimal untuk bekal hidup yang harmonis di masyarakat maupun untuk kepentingan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Kedua, KBK berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman. Ini berarti bahwa pembelajaran berdasarkan KBK haruslah mampu mencapai hasil belajar minimal yang diinginkan berupa pencapaian kompetensi dasar. KBK juga menjamin keberagaman dalam belajar dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa, kondisi dukungan lingkungan alam dan budaya, potensi sekolah dan masyarakat, dan sebagainya. Di sini ada prinsip keseragaman dalam kebijakan tetapi beragam dalam pelaksanaan. Artinya, KBK memberikan pedoman program yang sama dalam pencapaian standar minimal kompetensi yang harus dicapai tiap-tiap individu siswa, kelas, sekolah, atau daerah, tetapi dalam pelaksanaannya, tiap daerah, sekolah, kelas, atau individu siswa dapat mengembangkan sendiri strategi, media, sarana, sumber, dan tingkat pencapaiannya, yang penting kompetensi dasar minimalnya dapat tercapai.

Ketiga, penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi. Kompetensi standar yang harus dicapai yang ditetapkan dalam KBK sama untuk semua daerah atau sekolah atau siswa, tetapi guru dan siswa diberikan kesempatan untuk dan harus dapat berkreativitas mengembangkan pendekatan dan metode pembelajaran yang bervariasi untuk dapat mencapai kompetensi standar yang telah ditetapkan.

Keempat, guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi siswa. Karena itu, guru tidaklah harus berperan sebagai pengajar semata-mata yang memberikan sumber informasi kepada siswa. Guru dapat dan harus berperan sebagai koordinator, fasilitator, dan motivator bagi upaya belajar siswa dalam menggunakan berbagai sumber belajar yang dapat dikembangkan bersama antara guru dan siswa. Beberapa sumber belajar yang bersifat edukatif selain guru dapat saja digunakan siswa sebagai sumber belajar, seperti orang tua, tokoh masyarakat, para ahli, profesionalisme, perpustakaan, media massa, pejabat pemerintahan, dan sebagainya.

Kelima, penilaian dilakukan berbasis kelas yang memadukan penilaian proses dan hasil belajar secara berkelanjutan. Ini berarti penilaian terhadap keberhasilan pembelajaran dan belajar siswa haruslah merupakan keterpaduan dengan seluruh kegiatan belajar di kelas baik yang mencakup penilaian terhadap proses belajar maupun produk belajar dengan menggunakan berbagai teknik penilaian proses dan hasil belajar yang bersifat autentik.

Keenam, dengan berorientasi pada kompetensi maka KBK mensyaratkan penerapan prinsip belajar tuntas dalam pencapaian kompetensi dasar minimal. KBK akan tetap sia-sia jika siswa tidak dapat mencapai ketuntasan belajarnya. 

Pendidikan Ilmu-ilmu Siswa (IPS) yang Powerful
Hakikat pendidikan ilmu-ilmu sosial dalam KBK dijelaskan bahwa mata pelajaran rumpun ilmu-ilmu sosial dengan menggunakan dimensi-dimensi ruang, waktu, dan nilai-nilai/norma dalam mengkaji dan memahami fenomena sosial serta kehidupan manusia secara keseluruhan berupaya memberikan pengetahuan dan mengembangkan sikap dan keterampilan sosial siswa untuk dapat dijadikan dasar dalam mengembangkan kemampuannya untuk beradaptasi sebagai upaya memperjuangkan kelangsungan hidup yang harmonis, sejahtera, dan damai (Depdiknas, 2002). Dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk pemahaman akan dimensi ruang dalam ilmu sosial dimanfaatkanlah fakta, konsep, dan generalisasi dalam ilmu geografi. Untuk pemahaman dimensi waktu dimanfaatkan pula fakta, konsep, dan generalisasi ilmu sejarah. Sedangkan untuk pemahaman dimensi nilai-nilai/norma, dimanfaatkan fakta-fakta, konsep, dan generasilisasi ekonomi, sosiologi, dan antropologi. Dengan tegas dinyatakan dalam KBK ini bahwa tidak seperti kelima ilmu bidang sosial di atas, ilmu-ilmu sosial seperti hukum, politik, dan psikologi tidak diberikan secara tersendiri dalam mata pelajaran ilmu sosial kecuali untuk membantu beberapa kajian yang relevan. Dengan hakikat seperti itu, ruang lingkup substansi IPS dalam KBK ditentukan mencakup: sistem sosial (Sosiologi); gejala alam dan kehidupan (Geografi); sumber daya dan kesejahteraan (Ekonomi); kebudayaan (Antropologi); waktu, kesinambungan, dan perubahan (Sejarah); serta perubahan masyarakat (Sosiologi dan Antropologi) (Depdiknas, 2002).

Bagaimanakah ciri Pendidikan IPS yang powerful? NCSS (2000:11-13) menjelaskan bahwa IPS yang powerful memiliki lima prinsip dalam aplikasinya yang dapat berimplikasi pada apa yang harus diketahui guru, apa yang harus dilakukannya, dan disposisi apa yang harus dimilikinya. Kelima prinsip itu adalah belajar dan pembelajaran IPS haruslah bermakna (meaningful), integratif, berbasis nilai-nilai (value-based), menantang (challenging), dan belajar yang aktif (learning is active). KBK IPS dapat memenuhi persyaratan pengembangan pembelajaran yang powerful.

Pembelajaran IPS dikatakan bermakna apabila siswa belajar IPS dapat mengintegrasikan seluruh pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan keterampilan sosial dan kewarganegaraannya yang dapat bermanfaat langsung baik untuk diri pribadinya, kehidupannya di masyarakat, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta untuk kepentingan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk ini pembelajaran IPS haruslah menekankan pendalaman perkembangan ide-ide penting dalam cakupan topik yang cukup esensial dalam pembelajaran ide-ide penting ini, sehingga mampu meningkatkan pemahaman, apresiasi, dan kemampuan siswa mengaplikasikannya dalam kehidupan. Kebermaknaannya akan tergantung pula bagaimana content pelajaran dipelajari oleh siswa dan bagaimana aktivitas siswa dapat ditingkatkan. Untuk ini tidaklah diperlukan materi yang banyak tetapi bersifat artifisial, melainkan cukup yang esensial saja tetapi bermakna. Guru perlu melakukan refleksi secara terus menerus untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai belajar dan pembelajaran IPS.

Belajar dan pembelajaran IPS, selanjutnya dikatakan integratif apabila pembelajaran IPS dapat dilakukan melalui topik-topik dengan pendekatan bersifat multdisciplinei, interdiscipline, dan crossdiscipline dengan memadukan pula pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai dan sikap, dan keterampilan sosial menjadi kompetensi untuk bertindak. Materi pelajaran IPS juga mencakup materi lintas waktu, lintas ruang, lintas nilai-nilai atau norma, dan lintas kurikulum.

Belajar dan pembelajaran IPS dikatakan berbasis nilai (value-based) apabila pembelajaran IPS tidak hanya concern pada fakta-fakta, peristiwa, konsep, dan generalisasi IPS semata, melainkan lebih memfokuskan pada etika di balik topik-topik yang dikaji yang memungkinkan peserta didik membahas isu-isu kontroversial yang menyediakan arena untuk refleksi bagi pengembangan kebajikan dan nilai-nilai sosial. Belajar IPS berbasis nilai seperti ini menyadarkan siswa akan potensi pembelajaran pada implikasi kebijakan sosial yang dengan demikian melatih siswa berpikir kritis dan membuat keputusan terhadap beberapa isu-isu sosial. Dengan berbasis nilai juga berati bahwa pembelajaran IPS tidaklah harus mengajarkan keyakinan atau pandangan personal, politik, atau sekte tertentu, melainkan dapat menyadarkan siswa pada kompleks dan dilema nilai pada satu isu, mempertimbangkan keuntungan dan biaya yang mungkin terjadi pada individu atau kelompok yang potensial dalam mengambil tindakan, dan mengembangkan pertimbangan yang bernalar, yang konsisten dengan nilai-nilai sosial politik yang demokratis. Guru harus mendorong terhadap pengakuan atas adanya pandangan yang beroposisi, respek terhadap pandangan yang rasional dengan dukungan data yang memadai, sensitif terhadap persamaan dan perbedaan budaya, dan komitmen terhadap tanggung jawab sosial.

Belajar dan pembelajaran IPS akan bersifat menantang apabila siswa terpancing rasa ingin tahunya untuk mencapai tujuan belajar baik secara individual, group, maupun klasikal; guru mencontohkan semangat untuk mencapai tujuan belajar dan berwawasan luas dalam melakukan inkuiri, dan menggunakan strategi pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk menunjukkan kualitas yang sama dengan guru; dan guru harus menunjukkan minat dan respek terhadap pemikiran siswa serta meminta argumentasi siswa yang bernalar dengan baik dan penuh komitmen. 

Akhirnya, pembelajaran IPS haruslah dapat membuat siswa belajar aktif di mana terjadi proses berpikir reflektif dalam pengambilan keputusan; siswa mengembangkan pemahaman baru melalui proses konstruksi pengetahuan secara aktif; terjadi wacana yang interaktif yang memfasilitasi pengkonstruksian makna yang diperlukan untuk mengembangkan pemahaman sosial yang penting; serta secara gradual guru dapat memodifikasi peran dari semula bersifat memberi contoh, menjelaskan, dan menyediakan informasi ke arah pembelajaran secara kooperatif, partisipatif, dan mandiri, sehingga siswa dapat belajar secara autentik.

Pengembangan Kompetensi Hasil Belajar dalam Pembelajaran IPS Berbasis Kompetensi
Sesungguhnya tidak ada kesepakatan di antara para ahli dan praktisi pendidikan IPS tentang materi apa dan bagaimana mengajarkannya dalam pembelajaran IPS. Namun demikian, semua sepakat bahwa IPS mestilah dapat berkontribusi pada pembentukan warga masyarakat dan warga negara yang baik yang dicirikan oleh pemilikan pengetahuan, komitman, keterampilan dan partisipasi sosial dalam mengambil keputusan masalah-masalah sosial baik di tingkat lokal, daerah, nasional, maupun global secara cerdas dan bertanggung jawab. Karena itu, pengembangan kompetensi hasil belajar dalam pembelajaran IPS mestilah merujuk kepada tujuan-tujuan tersebut. 

Remy (1980) menjelaskan bahwa kompetensi dasar dalam IPS itu hendaklah memiliki karakteristik bersifat esensial dan terbatas; universal dalam kepentingan tugas-tugas kemasyarakatan dan kewarganegaraan; bersifat generik, dalam arti dapat diaplikasikan dalam berbagai ranah kehidupan di mana individu melatih kewarganegaraannya; harus dapat diajarkan secara kontinu pada semua level pendidikan; berbasis pada nilai-nilai tertinggi yang dijunjung tiap-tiap individu sebagai warga negara; dan merupakan nilai bagi masyarakat untuk melestarikan kebudayaan dan mengembangkan dirinya. Ada tujuh kompetensi dasar yang layak dikembangkan dalam IPS, yakni: memperoleh dan menggunakan informasi, menilai keterlibatan, membuat keputusan dan pertimbangan, berkomunikasi, bekerja sama, dan memajukan kepentingan-kepentingan. Selanjutnya, Bar, et al. Sebagai dikutip oleh Wahab (2002), menjelaskan bahwa social studies itu haruslah dapat mencapai tujuan dalam mengembangkan kompetensi warga negara untuk memiliki pengetahuan tentang pengalaman manusia di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan; mengembangkan keterampilan memproses informasi; mengembangkan keyakinan dan nilai-nilai yang benar; dan mengembangkan partisipasi sosial. NCSS (2000) dalam mengembangkan kompetensi standar untuk social studies di Amerika menggolongkan menjadi kompetensi standar tematik dan bidang keilmuan. Dalam standar tematik dikembangkan kompetensi untuk peningkatan pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, sikap, keterampilan sosial dan kewarganegaraan yang berkkaitan dengan tema-tema seperti: budaya dan keragamannya; waktu, kontinuitas, dan perubahan; manusia, tempat, dan lingkungan; individu, perkembangan dan identitas; individu, kelompok, dan pranata sosial; kekuasaan, kewenangan, dan pemerintahan; produksi, distribusi, dan konsumsi; sains, teknologi, dan masyarakat; hubungan global; serta cita-cita dan praktik kewarganegaraan. Dalam standar keilmuan dikembangkan penguasaan keilmuan, sikap, nilai-nilai, dan keterampilan sosial yang sesuai dengan bidang keilmuan sejarah, geografi, civics dan pemerintahan, ekonomi, dan psikologi. Dalam pengembangan standar-standar ini pula apa yang menjadi harapan guru dan siswa dalam penguasaan pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, komitmen, dan keterampilan sosial terpadu yang harus berkembang pada siswa menjadi pedoman utama. 

Kurikulum IPS berbasis kompetensi mengembangkan kompetensinya dari visi IPS sebagai mata pelajaran terpadu ilmu-ilmu sosial yang mencakup geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik, hukum dan psikologi yang diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, dan keterampilan sosial dan kewarganegaraan untuk memahami dan menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungannya. Sayangnya, pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan tujuan seperti di atas lebih dilihat dari penguasaan konsep, peristiwa, dan generalisasi bidang keilmuan dari pada melihatnya dalam tema-tema isu sosial yang integratif sehingga dapat mengembangkan kemampuan, kepribadian, dan tindakan yang utuh, integratif, dan komprehensif pula. Tidak mengherankan jika dalam pengembangan kompetensi dasar dan keilmuan dan indikatornya yang digunakan untuk penguasaan ruang lingkup IPS ke dalam lima bidangnya (sistem sosial dan budaya; manusia, tempat, dan lingkungan; perilaku ekonomi dan kesejahteraan; waktu, keberlanjutan, dan perubahan; dan sistem berbangsa dan bernegara) tetap seperti kurikulum sebelumnya (1975, 1986, 1994) sangat strik menekankan kemampuan mendeskripsikan konsep, peristiwa, dan generalisasi bidang keilmuan pendukungnya. Sebagai contoh pengembangan hubungan antara standar kompetensi mata pelajaran dengan kompetensi dasar tiap aspek pembelajaran keilmuan, indikator, dan materi pokoknya pada level kelas VII adalah sebagai berikut.

Standar Kompetensi I. Kemampuan memahami proses pembentukan kepribadian manusia
Kompetensi Dasar
Indikator
Materi Pokok
1.1Kemampuan mendeskripsikan proses sosialisasi
* Membedakan pengertian peran dan status sosial
* Mendeskripsikan fungsi sosialisasi dalam pembentukan peran dan status sosial
* Mengidentifikasi fungsi nilai dan norma sosial sebagai orientasi perilaku sosial dalam memenuhi kebutuhan kehidupan
Proses Sosialisasi
1.2 Kemampuan men-deskripsikan ber-bagai penyimpa-ngan sosial dalam keluarga dan ma-syarakat
* Mengidentifikasi penyimpangan sosial di keluarga dan masyarakat
* Mengembangkan sikap simpati terhadap pelaku penyimpangan sosial
* Memberikan gagasan tentang upaya-upaya pengendalian sosial
Penyimpangan Sosial
Pengembangan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, dan materi pokok IPS seperti ini, walau telah memberikan kebebasan kepada guru untuk mengembangkan dan melaksanakannya di sekolah, kurikulum seperti ini dapat menjebak guru tetap menganggap KBK tidak banyak membuat perubahan dibandingkan dengan pelaksanaan kurikulum sebelumnya. Banyak guru menilai perubahan yang terjadi hanya berupa penyederhanaan dan perubahan beberapa pokok materi pelajaran. Hal ini karena standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang dikembangkan tidak lebih dari tujuan kurikuler, tujuan umum, dan tujuan khusus pembelajaran IPS sebelumnya. 

Di sinilah sesungguhnya diperlukan kemampuan dan sensitivitas guru untuk memehami dan menyikapi perubahan yang dimaksud oleh KBK IPS secara menyeluruh bahwa dengan KBK IPS, perubahan kurikulum tidaklah sekadar perubahan redaksi tujuan pembelajaran menjadi kompetensi hasil belajar sebagaimana tertulis dalam dokumen standar kopetensi dan dokumen kurikulum dan hasil belajar mata pelajaran IPS. Perubahan yang diinginkan dalam KBK IPS sesungguhnya mencakup perubahan paradigma kita terhadap status IPS yang tercermin dalam visi, misi, fungsi, tujuan, ruang lingkup pencapaian kompetensi lintas kurikulum, standar kompetensi mata pelajaran, kompetensi dasar sebagai hasil belajar serta materi pokoknya yang baru sebagai satu kesatuan. Dengan paradigmaseperti ini diharapkan dapat mempengaruhi kebijakan pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran IPS di sekolah oleh guru dan siswa ke arah pembelajaran IPS dan pemberdayaan guru dan siswa yang lebih powerful dalam tradisi pembelajaran IPS sebagai pendidikan kewarganegaran, pendidikan ilmu sosial, pendidikan inkuiri reflektif, pendidikan pembelajaran terpadu, dan pendidikan partisipasi sosial.

Sebagai pendidikan kewarganegaraan, IPS haruslah mampu mengembangkan kompetensi warga negara menjadi warga negara yang baik dalam kehidupan masyarakat yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dicirikan oleh kemampuan membuat keputusan secara cerdas dan bernalar dan berpartisipasi dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan publik baik di tingkat lokal, daerah, nasional, maupun global. Sebagai pendidikan ilmu sosial, IPS haruslah mampu mengembangkan kompetensi warga negara untuk memahami konsep-konsep dasar, generalisasi, dan teori-teori ilmu sosial, memiliki sikap dan keterampilan kerja para ilmuwan sosial, serta mampu menerapkan konsep-konsep dasar ilmu-ilmu sosial itu dalam interaksi sosial di amsyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Sebagai pendidikan inkuri reflektif, IPS haruslah mampu mengembangkan kompetensi peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, dan keterampilan sosialnya sendiri melalui kegiatan inkuiri sosial secara reflektif, sehingga peserta didik dapat hidup mandiri secara sosial serta bersama-sama mengembangkan rekayasa sosial masyarakat. Sebagai pendidikan dan pembelajaran terpadu, IPS juga haruslah mampu mengembangkan kompetensi peserta didik untuk secara aktif memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat dengan pendekatan cross, multi, dan interdisiplin. Akhirnya, sebagai pendidikan partispasi sosial, IPS haruslah mampu mengembangkan kompetensi peserta didik untuk mampu berpartisipasi sosial dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai tingkatan kehidupan masyarakat, baik dalam memahami dan mengkritisi masalah-masalah sosial yang ada, memecahkan masalah dan membuat keputusan, mengembangkan dan mengusulkan alternatif kebijakan, membuat rencana tindakan, dan melaksanakan tindakan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kontribusi yang bisa diberikan kepada masyarakat. Seluruh tradisi program pendidikan IPS ini mestilah dapat dilaksanakan secara integral, uituh, komprehensif, berkelanjutan, dan bermakna.

5. Pendekatan Konstruktivisme dalam Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran IPS oleh Guru
Dalam dokumen kebijakan umum KBK (Depdiknas, 2001) dijelaskan bahwa salah satu prinsip pengembangan dan penerapan KBK adalah berpusat pada anak sebagai pembangun pengetahuan. Prinsip ini jelas merupakan aplikasi pandangan konstruktivisme dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran berbasis kompetensi. Karena itu, penerapan pendekatan konstruktivisme ini tampaknya perlu dikuasai oleh guru dan praktisi pendidikan di daerah yang akan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik daerah, sekolah, kelas, dan kebutuhan siswa masing-masing.

Prinsip-prinsip berikut perlu diperhatikan oleh guru dalam pengembangan dan pelaksanaan KBK IPS di sekolah, yaitu: pengetahuan sosial dibangun siswa secara aktif, tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa, mengajar adalah membantu siswa belajar, tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil akhir semata, kurikulum menenkankan partisipasi siswa, dan guru adalah fasilitator (Suparno, 1997).

Dalam pengembangan kurikulum IPS oleh guru dalam bentuk silabus, guru perlu bekerja sama dengan ahli bidang studi dan pendidikan atau ahli pendidikan bidang studi dan seluruh kelompok guru IPS dalam menginterpretasi makna, ruang lingkup, dan tujuan KBK IPS; mengenali sumber-sumber belajar yang dapat dikembangkan di sekolah atau di suatu daerah tertentu yang dapat digunakan bersama mengenali muatan materi lokal yang dapat diintegrasikan dalam KBK IPS; dan mengenali latar belakang, karakteristik, minat, dan kebutuhan siswa. Kerja sama ini dengan didukung oleh semua unsur terkait seperti dinas propinsi, dinas kabupaten, komite sekolah, kepala sekolah, dan LPTK, dapat digunakan untuk pengembangan silabus, pengembangan sumber dan media pembelajaran, pengembangan strategi belajar dan pembelajaran IPS, serta pengembangan teknik dan instrumen penilaian. 

Guru dan siswa, selanjutnya, bersama dengan pakar pendidikan bidang studi dengan masih didukung oleh seluruh unsur terkait membuat komitmen bersama untuk melaksanakan dan melakukan uji coba kurikulum yang telah dikembangkan ke dalam proses pembelajaran IPS di kelas. Dalam hal ini pendekatan pembelajaran kontruktivisme sosial dapat dijadikan landasan pengembangan pembelajaran, baik dalam belajar pengetahuan sosial yang lebih bersifat teoritis maupun dalam praktik belajar pengetahuan sosial walau sesungguhnya hal ini tidak perlu dibedakan. Pengembangan belajar secar mandiri, partisipastif, dan kooperatif mutlak diperlukan dalam penerapan kurikulum IPS berbasis kompetensi. Ini bukanlah selektif sifatnya, melainkan wajib. 

Dalam proses pembelajaran IPS prinsip-prinsip pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme sosial berikut perlu dilakukan, antara lain: (1) perlunya menciptakan situasi yang aktif terkait dengan tujuan-tujuan siswa; (2) memajukan interaksi sosial yang berpusat pada aktivitas akademis; (3) membangkitkan kebutuhan siswa untuk berkomunikasi dan keinginan untuk berkolaborasi; (4) mengembangkan aktivitas akademis dalam konteks moral; (5) mendorong penalaran siswa mulai dari apa yang diketahui siswa, menghormati kesalahan siswa, dan mengajar dsesuaikan dengan jenis pengetahuan (fisik, logika, dan sosial) yang ingin dibangun dan dikembangkan; dan (6) berikan waktu yang cukup untuk proses konstruksi pengetahuan sosial (DeVries dan Zan, 1994). Sementara itu dalam praktik belajar pengetahuan sosial mengintegrasikan model belajar mandiri, partisipatif dan kooperatif dalam langkah-langkah pembelajaran IPS berbasis kebijakan publik dapat dilakukan, antara lain: (1) orientasi kebijakan publik; (2) mengidentifikasi masalah-masalah sosial di lingkungan sekitar; (3) menggali informasi dari berbagai sumber belajar; (4) mengembangkan alternatif kebijakan; (5) mengusulkan kebijakan kelas; (6) mengembangkan rencana tindakan; (7) mengembangkan portofolio kelas dan dokumentasinya; (8) presentasi portofolio; dan (9) melakukan refleksi pengalaman belajar (Sukadi, 2002, 2003). Atau dengan berbasis pengembangan penelitian sosial dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (1) mengidentifikasi dan memformulasikan masalah; (2) mengembangkan kerangka berpikir dan hipotesis kerja; (3) mengembangkan metodologi penelitian sosial meliputi: (a) menentukan kancah dan setting penelitian, (b) menentukan informan, (c) mengumpulkan data dengan peneliti sebagai isntrumen yang didukung dengan teknik-teknik wawancara, observasi, tes, kuesioner, dan sebagainya, (d) menganalisis data; (4) melakukan verifikasi/membuat simpulan; (5) mengajukan saran/usul kebijakan; (6) membuat laoran penelitian; (7) presentasi hasil penelitian; dan (8) refleksi pengalaman belajar.

Selanjutnya penilaian belajar berbasis konstruktivisme dapat dilakukan dengan pendekatan proses dan hasil belajar. Penilaian terhadap proses belajar dapat dilakukan dengan teknik-teknik dan instrumen seperti observasi dengan pedoman dan catatan peristiwa dan catatan anekdotnya, wawancara dengan pedoman wawancaranya, pemberian kueasioner, pemberian inventori nilai dan skala sikap, daftar bakat dan minat, sosiometri dengan sosiogramnya, dan penilaian proses berbasis portofolio. Sementara penilaian hasil belajar juga dapat dilakukan dengan wawancara/tes lisan, tes essay, kuesioner, inventori nilai, skala sikap, tes objektif, dan penilaian hasil berbasis portofolio.

6. Penutup
Agar KBK IPS tidak menjadi menyesatkan seperti pelaksanaan program CBSA pada awalnya, mewujudkan IPS yang powerful berdasarkan KBK merupakan conditio sine qua non. IPS yang powerful itu adalah yang bermakna, integratif, berbasis nilai, menantang, dan membuat siswa belajar aktif. Kompetensi dalam KBK IPS, karena itu, perlu diinterpretasi dalam keutuhan dan keseluruhan status visi dan misi IPS dalam tardisi sebagai pendidikan kewarganegaraan, pendidikan ilmu sosial, pendidikan inquiri reflektif, pembelajaran terpadu, dan pendidikan partisipasi sosial. Perwujudannya dalam kurikulum, pembelajaran, dan penilaian yang dikembangkan oleh guru perlu mempertimbangkan penerapan prinsip-prinsip konstruktivisme sosial yang berasumsi bahwa pembangun pengetahuan sosial dalam proses belajar IPS yang autentik sesungguhnya adalah siswa itu sendiri. Namun, dalam pengembangannya guru IPS tentu tidak perlu bekerja sendiri. Ia dapat bekerja sama dengan teman sejawat, siswa, orang tua siswa, pakar pendidikan bidang studi, kepala sekolah, komite sekolah, dan pembina dari dinas pendidikan kabupaten dan propinsi. Hanya dengan mensinergikan semua potensi pendukung secara optimal, tampaknya guru IPS dapat diharapkan mencapai tujuan KBK IPS menjadi IPS yang powerful.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi mata Pelajaran Pengetahuan Sosial Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.
................... 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar Rumpun belajar Ilmu Sosial. Jakarta: Depdiknas.
.................... 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kebijakan Umum Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
DeVries, Rheta, dan B. Zan. 1994. Moral Classroom, Moral Children: Creating a Constructivist Atmosphere in Early Education. New York and London: Teachers College Press.
NCSS. 2000. National Standards for Social Studies Teachers: National Standards for Social Studies Teaching, Vol. 1. Washington, DC: NCSS.
Remy, R C. 1980. Handbook of Basic Citizenship Competencies. Virginia: ASCD.
Somantri, M.N. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: UPI dan Rosda karya.
Stanley, W B. 1985. Review of Research in Social Studies Education. Washington, DC: NCSS.
Sukadi, 2003. Implementasi odel Konstruktivis dalam Pembelajaran IPS: Model Praktik Belajar Kewarganegaraan pada Pembelajaran PPKn Tingkat SLTP. Laporan Penelitian. Singaraja: IKIP negeri Singaraja.
Suparno, Paul. 1997.Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius 
Supratna, N. Dan P. Waterworth. 1997. Tantangan dalam Kurikulum IPS. Mimbar Pendidikan, Jurnal Pendidikan No. 2 Tahun XVI, 1997. hal: 31-37.
Suryadi, A. (2002). Memahami Life Skills. Media Indonesia, 14 April 2002.
Wahab, A.A. 2002. Guru Profesional dan PIPS yang Kuat. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari IPS, FPIPS IKIP Negeri Singaraja Tanggal 10 Agustus 2002.
 

Contoh Contoh Proposal Copyright © 2011-2012 | Powered by Erikson